“Jadi kamu telah menjual rumah itu kepada Ghazanvar?” Paman Rukmana tampak kecewa.
Naraya menganggukan kepalanya.
“Maaf Paman …,” ucapnya kemudian dengan ekspresi wajah menyesal.
Menyesal karena telah membohongi paman Rukmana dan menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima lamaran Ghazanvar dari pada menikah dengan Surawijaya.
Meski begitu, Naraya merasa beruntung karena dihadapkan dengan dua pilihan menikah dengan seorang pria yang salah satunya justru menguntungkan baginya.
Naraya akui kalau menikah dengan Ghazanvar adalah sebuah keberuntungan mengingat pria itu selain tampan juga kaya raya jika dilihat dari apa yang melekat di tubuhnya serta kendaraan yang dikemudikannya.
Sampai di sini Naraya belum tahu percis siapa Ghazanvar sesungguhnya.
“Terus kamu mau tinggal di mana?” Paman Rukmana menatap iba pada Naraya.
“Nay ‘kan ngekos, Paman … sambil nanti Nay cari kerja.”
Atas instruksi mami Zara, selain Naraya harus mengatakan kalau dia telah menjual rumah itu kepada Ghazanvar—Naraya juga tidak diperbolehkan cerita kepada siapapun perihal rencana pernikahannya agar tidak ada yang curiga.
Naraya mengeluarkan keresek dari dalam tas.
“Paman … ini ada sedikit uang dari sisa penjualan rumah, lumayan buat tambah-tambah biaya kampanye Paman agar bisa terpilih kembali jadi Lurah.” Naraya memberikan keresek berisi beberapa gepok uang.
Mata paman Rukmana seketika memerah menampung buliran kristal.
“Nay … Paman tahu penjualan rumah ini enggak cukup untuk membayar hutang ke Surawijaya karena dirongrong dua paman kamu juga … sekarang kamu mau kasih uang ke Paman segala … Paman enggak mau Nay, dari mana kamu pinjem uang itu? Kamu pinjam ke rentenir ya? Nay … jangan berbuat bodoh, kembalikan uang ini.” Paman Rukmana bicara sambil menangis.
Beliau dorong keresek berisi uang yang disodorkan kepadanya.
Melihat paman Rukmana menangis, Naraya jadi ikut menangis.
“Abang Ghaza beli rumah ini diatas harga pasar kok Paman … jadi masih ada lebihnya buat Paman, Paman terima ya … sebagai tanda sayang Nay sama Paman.”
Paman Rukmana malah menangis meraung memeluk Naraya, beliau terharu karena ditengah kesulitannya, sang keponakan masih berusaha untuk membantunya.
“Enggak Nay, Paman enggak mau … kalau memang benar apa yang kamu katakan, gunakan uang ini untuk biaya kuliah dan hidup kamu di Jakarta … Paman enggak bisa membiayai kamu untuk sekarang karena mau masuk masa kampanye … tapi mungkin nanti Paman bisa bantu sedikit-sedikit biaya hidup dan kuliah kamu.” Paman telah mengurai pelukan, dia usap matanya yang basah berulang kali menggunakan punggung tangan.
Paman Rukmana adalah satu-satunya keluarga yang paling baik dan tulus, kasih sayangnya telah Naraya rasakan semenjak kecil karena hanya paman Rukmana yang selalu memberikan hadiah saat ulang tahun.
Beliau kemudian pamit karena harus pergi bekerja setelah berpesan kepada Naraya agar bisa menjaga diri selama tinggal sendiri di Jakarta dan mengabarinya jika mengalami kesulitan.
Mobil Ghazanvar masuk ke halaman rumah Naraya tidak lama setelah kepergian paman Rukmana.
Naraya memasukan uang itu ke dalam tas kemudian keluar rumah tidak lupa mengunci pintu.
Ghazanvar yang sudah melihat Naraya berjalan mendekat tidak jadi turun dari mobil.
Naraya naik ke dalam mobil dengan bantuan Ghazanvar yang menatapnya curiga karena meski sudah menundukan kepalanya tapi Ghazanvar masih bisa menangkap jejak air mata di wajah Naraya.
“Kamu enggak apa-apa, Nay?”
“Enggak apa-apa, Bang ….” Naraya memasang seatbelt lantas mengeluarkan gepokan uang tadi dari dalam tas.
“Paman Rukmana enggak mau nerima uang ini, Bang … jadi Nay kembaliin sama Abang.”
Tadi subuh Naraya sampai harus ke ATM meminjam sepeda tetangga untuk mengambil uang tunai yang akan diberikan kepada paman Rukmana.
Dan saat itu Naraya sudah tidak melihat kedua paman dan istri mereka di rumah, mungkin mereka pergi tadi malam.
“Buat kamu aja, buat jajan.” Ghazanvar membalas enteng sembari memutar strinya membawa mobil keluar halaman.
“Hah? Ini kebanyakan,” kata Naraya meraih tangan Ghazanvar untuk dia simpan uang itu ke tangan Ghazanvar tapi sang kekasih malah meletakan lagi tangannya pada kemudi.
“Enggak apa-apa, Nay … sebagai pacar kamu, aku ‘kan harus nafkahin kamu.”
“Ah masa masih pacaran udah nafkahin?” Naraya menggerutu.
“Coba tanya teman-teman kamu di kampus yang punya pacar … cowoknya pasti nafkahin lahir bathin.”
Naraya tampak berpikir tapi kemudian dia membelalakan mata dengan mulut sedikit terbuka saat menoleh kepada Ghazanvar.
“Nay enggak mau ah, nanti aja Abang ngasih nafkah lahir bathinnya.” Naraya terus memaksa mengembalikan uang itu kepada Ghazanvar lantaran kata-kata Ghazanvar menyiratkan kalau setelah dia mendapat uang itu maka dia harus melayani Ghazanvar sebagaimana seorang istri di atas ranjang.
Ghazanvar sontak tertawa karena Naraya menyadari makna tersirat dalam kalimatnya barusan.
“Becanda, Nay … serius banget sih!”
“Enggak ah, Abang bohong … ‘kan Nay udah bilang pelan-pelan aja.” Naraya menekuk wajahnya kesal.
“Iya, pelan-pelan kok dimasukinnya biar enggak sakit … kamu masih perawan, kan?” Ghazanvar belum selesai menggoda Naraya.
“Aaaarrrggghhh! Enggak! Enggak, Nay enggak mau denger! Abang m***m!” Naraya menutup telinganya menggunakan kedua telapak tangan.
Sekarang Ghazanvar bukan tertawa lagi tapi tergelak mendapat respon Naraya yang menurutnya lucu dan menggemaskan.
Naraya lantas menatap tajam penuh curiga dan antipati kepada Ghazanvar, padahal barus saja Naraya berpikir kalau dia beruntung memiliki pilihan menikah dengan Ghazanvar.
“Becanda Nay.” Ghazanvar mengusap wajah Naraya menggunakan telapak tangannya yang besar.
Naraya tidak lagi menatap Ghazanvar tapi kini tatapannya kosong ke depan membuat Ghazanvar khawatir.
“Nay, aku becanda … sumpah! Kamu pegang aja uang itu dan gunakan untuk foya-foya, nanti kalau habis aku kasih lagi … dan aku janji enggak akan nyentuh kamu sampai kita menikah, setelah menikah pun aku akan nyentuh kamu kalau kamu ijinin … kita akan pelan-pelan, Nay … seumur hidup masih lama, kan?”
Ghazanvar sampai harus berpuitis agar Naraya mempercayainya.
“Bener ya janji ….” Mata Naraya memicing skeptis.
“Janji …..” Tangan Ghazanvar terulur untuk mengusap kepala Naraya namun akhirnya hanya menggantung di udara.
“Eh … maaf, lupa.” Ghazanvar menarik lagi tangannya.
“Kalau pegang kepala aja enggak apa-apa …,” kata Naraya menarik kembali tangan Ghazanvar lalu dia simpan di puncak kepalanya.
“Terakhir kali kepala Nay dielus-elus sama ibu dan bapak saat mau pulang dari kontrakan Nay … sebelum meninggal, bapak ambil cuti dan ajak ibu menginap hampir seminggu di rumah kontrakan Nay.” Suara Naraya mengecil di akhir kalimat.
Detik berikutnya tangan Ghazanvar bergerak mengusap-ngusap kepala Naraya.
“Aku yang akan gantiin ngelus-ngelus kepala kamu, Nay.” Ghazanvar membatin.