Tidak Pantas

1136 Kata
Beberapa jam kemudian mereka sampai di rumah Surawijaya. “Abang tunggu di sini ya, Nay aja yang turun.” “Masa gitu, aku juga harus turun.” Ghazanvar langsung turun dari mobil tidak mengindahkan ucapan Naraya. Pria itu memutar setengah bagian mobil lantas membuka pintu mobil bagian penumpang. “Abang … nanti pak Surawijaya cerita sama paman Eka terus paman Eka jadi curiga,” kata Naraya setelah pintu dibuka oleh Ghazanvar. “Biarin … bodo amat, memangnya mereka mau apa?” Ghazanvar mengulurkan tangannya bermaksud membantu Naraya turun. “Kata mami jangan sampai ada yang tahu kalau kita mau nikah ….” Naraya tidak bergerak dari kursi penumpang. “Naaay, enggak mungkin aku biarin kamu masuk sendirian ke rumah pria yang kalau ngeliat kamu sampe ileran gitu … nanti kamu diapa-apain gimana?” Naraya terpekur menatap Ghazanvar, pria itu ternyata berpikir jauh ke depan. “Ya udah,” putus Naraya menuruti Ghazanvar dari pada terjadi sesuatu dengannya di dalam sana. Ghazanvar membalikan badan setelah berhasil membantu Naraya turun, tangannya terulur ke belakang meminta tangan Naraya dan refleks Naraya memberikan tangannya. Rumah Surawijaya tampak sepi, tidak ada bel jadi Naraya mengetuk pintu Tidak lama kemudian pintu dibuka dari dalam, sosok wanita paruh baya menyambut mereka. “Pak Surawijaya ada? Nay mau bayar hutang,” kata Ghazanvar tanpa berbasa-basi. Naraya yang tubuhnya terhalang Ghazanvar kemudian melongokan kepala ke samping memperlihatkan wajahnya. Tangan mereka masih dalam posisi saling menggenggam di belakang punggung Ghazanvar. “Masuk!” Wanita itu berujar ketus. Ghazanvar masuk duluan diikuti Naraya lalu duduk di kursi menunggu wanita paruh baya tadi memanggil Surawijaya. “Bang, lepasin ….” Naraya berbisik sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggangam Ghazanvar. “Nay!” seru Surawijaya membuat Naraya segera menarik tangannya dan menyimpannya di atas pangkuan. “Pak … Nay mau bayar hutang, Nay minta nomor rekening Bapak.” Surawijaya malah tertawa hingga tubuhnya terguncang sementara itu Naraya dan Ghazanvar menunjukkan tampang datar setengah kesal. “Kata paman kamu, laki-laki ini yang membeli rumah kamu.” Surawijaya menunjuk Ghazanvar. “Iya … Nay enggak bisa cepet-cepet jual rumah bapak ke orang lain karena terkendala proses pencairan asuransi untuk membayar hutang bapak ke Bank memakan waktu sampai sepuluh hari kerja … cuma dia yang mau beli rumah itu atas dasar kepercayaan.” Naraya menjelaskan. Surawijaya mengangguk-anggukan kepalanya. “Jadi kamu lebih milih dia Nay dari pada saya?” Maksud Surawijaya adalah menjual rumah kepada Ghazanvar dari pada menikah dengan pria itu. “Ya iyalah, masa dia mau sama pria yang seusia mendiang bapaknya.” Ghazanvar yang menjawab. “Lalu kamu, kenapa mau membantu Nay? Apa karena merasa bersa—“ “Karena Naraya cantik,” sela Ghazanvar menghentikan kalimat Surawijaya sebab Ghazanvar tahu kalau pria tua itu akan melontarkan tuduhan. “Saya suka sama Nay karena Nay cantik jadi saya mau bantu dia … puas?” Ghazanvar mengatakannya dengan nada rendah dan santai bahkan sambil menopang satu kaki di kaki lainnya. Naraya membulatkan matanya menatap Ghazanvar dari samping. Debar jantungnya mulai ribut di dalam sana dengan pipi yang telah memanas. Surawijaya kembali terkekeh, dia nampaknya tidak percaya. “Mau dibayar enggak hutangnya? Kami harus segera kembali ke Jakarta … Nay harus kuliah dan saya harus kerja.” Meski rendah namun ada penegasan dan sedikit ancaman dalam kalimat Ghazanvar barusan. Surawijaya menatap remeh Ghazanvar kemudian meraih sebuah kertas dari meja kecil di samping sofa yang dia duduki setelah itu meraih pena dan mulai menuliskan angka sejumlah yang harus Naraya transfer ke rekeningnya. “Transfer ke sini!” titah Surawijaya memberikan secarik kertas tadi. Naraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu mengambil alih kertas yang sudah berpindah tangan ke Ghazanvar. Dia membuka aplikasi Mobile banking untuk kemudian melakukan transfer. “Udah ya, Pak ….” Naraya memperlihatkan layar ponselnya. “Saya harap kita enggak pernah bertemu dan berurusan lagi,” kata Naraya sembari berdiri. “Ayo Bang.” Naraya merendahkan intonasi suara ketika bicara dengan Ghazanvar. Gadis itu lantas pergi tanpa pamit diikuti Ghazanvar. Lega rasanya setelah menyelesaikan urusan dengan para orang jahat itu, tinggal urusannya dengan Ghazanvar yang Naraya percaya kalau pria itu sebaik kedua orang tua dan keluarganya jadi semestinya Naraya tidak akan mengalami kesulitan. Naraya cuma harus menikah dan hidup bahagia serba berkecukupan seperti yang dikatakan sang paman beserta istri mereka ketika mempengaruhinya untuk menikahi pria tua bernama Surawijaya. Hanya saja Naraya menikahnya bukan dengan pria tua dan menjadi istri kedua tapi dengan pria muda dan tampan tapi yang Naraya tidak tahu kalau Ghazanvar belum benar-benar move on dari Zaviya. *** “Tadi Abang bilang sama pak Surawijaya kalau Abang harus kerja … Abang kerja apa? Terus memangnya masih keburu masuk kerja kalau sampe Jakarta sudah sore?” Naraya sedang mengulik kehidupan Ghazanvar, sebagai kekasih dan calon istri tentu dia harus tentang Ghazanvar. Yang baru Naraya tahu adalah Ghazanvar memiliki ibu seorang dokter dan Direktur sebuah rumah sakit swasta terbaik di Jakarta. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dengan kemacetan parah di pintu masuk Jakarta. “Aku kerja di perusahaan milik keluarga dari papi, jadi bisa sesuka hati masuk kerjanya.” “Oooh … perusahaan apa?” Naraya bertanya lagi. Ghazanvar menunjuk sebuah billboard besar tidak jauh di depan mobil mereka. “Itu salah satu iklan perusahaan kami,” kata Ghazanvar. Kepala Naraya meneleng menatap lekat bilboard besar di depan sana. “Perusahaan transportasi?” Naraya menebak. “Salah satunya.” Ghazanvar masih main tebak-tebakan. “Kalau perusahaan itu salah satunya berarti banyak donk perusahaannya?” “Iya.” Ghazanvar menjawab sambil tertawa. Mobil yang dikemudikan Ghazanvar semakin mendekati billboard sehingga Naraya bisa melihat tulisan kecil bertuliskan nama induk dari perusahaan yang memasang iklan di billboard. “AG Group ….” Naraya bergumam membaca tulisan kecil tersebut. “Itu kamu tahu nama perusahaannya.” Ghazanvar berujar seraya menoleh pada Naraya. Jantung Naraya tiba-tiba berdetak kencang sekali, matanya membola menatap ngeri Ghazanvar. “Enggak mungkin … Abang enggak mungkin Gunadhya.” Naraya menggelengkan kepala. Marga keluarga Ghazanvar dari pihak papinya memang terkenal sebagai Konglomerat Negri ini. Ghazanvar mengulurkan tangan untuk membuka laci dashboard. Dia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam sana lalu memberikannya kepada Naraya. Pelan-pelan Naraya membaca kartu nama yang bertuliskan nama Ghazanvar beserta gelar pendidikan yang dia pernah raih dan jabatannya di anak perusahaan AG Group. Mata Naraya mengerjap dengan sering bersama detak jantung menggila, mulutnya yang menganga dia tutup menggunakan tangan. Naraya akan menikah dengan cucu Konglomerat sedangkan dirinya hanyalah butiran debu. “Kenalin … Ghazanvar Nawasena Gunadhya,” kata Ghazanvar mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Bang … Nay turun di sini aja ….” Suara Naraya kecil sekali terdengar insecure membuat Ghazanvar tertawa. “Kenapa? Rumah kontrakan kamu masih jauh, kan?” “Enggak ah, Nay enggak jadi nikah sama Abang.” “Lho kenapa?” Ghazanvar bingung tapi dia tertawa juga karena melihat kepanikan di wajah Naraya. “Nay enggak pantes jadi istri Abang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN