Persiapan Perform

838 Kata
“Nay!” Suara bas seorang pria memanggil membuat Naraya menoleh ke belakang. “Mas Khafi ….” Naraya menghentikan langkahnya menunggu Khafi. “Mau ke Aula, kan?” Pria muda itu bertanya. “Iya … kirain Mas Khafi udah duluan.” Khafi membawa senyum manisnya mendekat lalu mereka berjalan beriringan menuju Aula tempat berkumpulnya penari yang akan perform di Istana Negara. “Aku tadi meeting dulu sama anak BEM.” Khafi memberi alasan. Lalu hening selama beberapa saat, Khafi menoleh ke samping. “Nay … aku turut berduka cita ya.” Khafi berujar kemudian. “Iya Mas makasih … Mas Khafi ‘kan udah pernah mengucapkannya lewat chat.” “Enggak afdol kalau enggak ngomong langsung.” Naraya tertawa pelan merespon kelakar Khafi. “Kamu pasti bisa lewatin ini, Nay … aku yakin kamu bisa.” Sorot mata Khafi tampak serius. Naraya masih tersenyum saat bersitatap dengan Khafi tapi kemudian senyumnya pudar setelah memutus tatap menundukan pandangan agar tidak tersandung. “Kamu bisa hubungi aku kalau butuh apa-apa,” kata sang kakak tingkat tampan itu. “Terimakasih, Mas …,” ucap Naraya tulus. Masalah besar Naraya telah selesai berkat bantuan Ghazanvar dan keluarganya, tinggal menikah dengan Ghazanvar tapi itu bukan masalah malah bisa dibilang mukjizat. “Kapan aja kamu bisa hubungin aku, Nay.” Khafi berujar kembali untuk meyakinkan Naraya. “Iya Mas … makasih.” Naraya menjawab dengan kalimat yang sama sambil tersenyum lebar agar Khafi yakin kalau dia baik-baik saja. Beberapa langkah kemudian mereka tiba di Aula. Ada sebuah mini bus terparkir di depan Aula diperuntukan mengangkut mereka. Satu persatu mahasiswa Universitas Seni yang lulus seleksi untuk perform di Istana Negara pun naik ke dalam bus. Ada sekitar lima belas orang yang nantinya bergantian menampilkan lima tarian tradisional Indonesia. Naraya mengambil tempat duduk baris kedua dari belakang. Dia simpan tasnya di kursi di sampingnya agar tidak ada yang duduk di sana mengingat jumlah mereka adalah lima belas orang ditambah seorang dosen dan orang dari Yayasan sedangkan jumlah kursi sebanyak tiga puluh dua jadi masih banyak kursi kosong selain di sampingnya. Naraya sedang ingin melamun sendiri. Pandangan Naraya diarahkan keluar jendela saat bus mulai melaju. Tidak ada perasaan gugup apalagi cemas karena penampilan ini bukan untuk yang pertama kali baginya. Dalam penampilan ini juga Naraya tidak perlu memikirkan kostum dan make up, semuanya sudah disiapkan pihak penyelenggara. Dulu Naraya selalu antusias bila diajak tampil di acara pemerintah lantaran bayarannya cukup besar. Namun sekarang rasanya biasa saja, Naraya tidak sedang membutuhkan uang, uang yang Ghazanvar berikan padanya yang tadinya untuk paman Rukmana sangat banyak bahkan sampai harus dia setorkan dulu ke Bank yang kebetulan buka Cabang di area kampusnya. Ingatan Naraya lantas ditarik mundur saat kedua orang tuanya berkunjung untuk yang terakhir kali ke rumah kontrakan Naraya. Saat itu bapak Agus dan ibu Hernita bangga sekali mengetahui Naraya akan tampil di depan Presiden meski tahu kali ini bukan kali pertama. “Bapak boleh nonton enggak, Nay?” “Nanti Ibu minta fotonya yang sama bapak Presiden, mau Ibu pajang di status WA.” Bibir Naraya tersenyum disertai buliran kristal yang tidak terbendung jatuh ke pipinya. “Ibu … Bapak … Nay baru dapet duit nih hasil perform, Ibu sama Bapak mau makan apa? Ayo Nay traktir.” Dan ingatan itu membuat Naraya tidak kuasa menahan isak tangis. Sekarang berapapun uang yang dia dapatkan dari keahliannya dalam olah vokal atau menari tidak berarti apa-apa karena bapak dan ibu telah tiada. Apalagi dia akan dipinang anak Konglomerat, uang yang dia dapat yang tidak seberapa itu bagi suaminya nanti semakin tidak ada artinya. “Kenapa Tuhan memanggil bapak dan ibu disaat Nay belum bisa membalas budi? Padahal Nay ingin sekali membahagiakan bapak dan ibu.” Naraya membatin. Kalimat pertanyaan yang dia tujukan kepada Tuhan itu cukup sering terngiang dalam benaknya. Memang tidak ada yang bisa mengetahui apa arti dari takdir yang telah Tuhan tuliskan untuk umatnya tapi yang pasti takdir itu adalah takdir terbaik untuk umatnya. Naraya mengusap air mata di pipi, dia hirup kembali air yang nyaris mengucur dari lubang hidung. Tanpa terasa akhirnya perjalanan mereka telah sampai. Seseorang berseragam paspampers masuk ke dalam bus memberitahu peraturan dan instruksi yang harus dipatuhi para peserta selama berada di Istana Negara. Salah satunya adalah peraturan dilarang memakai celana jeans tapi itu sudah diumumkan sebelumnya jadi hari ini Naraya menggunakan Dress hingga bawah lutut berlengan pendek dengan bukaan kancing depan guna memudahkannya berganti baju setelah make up. “Nay … nanti ‘kan kamu tampil pertama lalu terakhir ya jadi ada waktu buat ganti baju.” Ibu Veronika-dosennya Naraya memberitahu jadwal tampil. “Iya Bu ….” Naraya menyahut. Hanya Naraya yang menari dua kali dalam penampilan tersebut karena dia adalah kebanggaan Universitas Seni Jakarta jadi pihak Yayasan sangat mempercayai Naraya. Ruang ganti dan make terpisah antara penari laki-laki dan perempuan. Naraya mendapat giliran makeup pertama yang ditangani langsung oleh MUA terkenal Indonesia. Dua jam tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk membuat Naraya tampil sempurna dan selanjutnya dia dibantu orang dari MUA memakai pakaian tradisional khusus tarian yang akan dia bawakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN