Naraya merogoh ponsel di dalam tas sembari berlari menuju Aula untuk melakukan latihan.
Dia langsung memelankan langkahnya begitu melihat nama bapak muncul di layar ponsel.
“Hallo, Pak?”
“Ini ibu, Nay ….” Ibu Hernita berbisik di ujung panggilan sana.
“Ibu, kenapa bisik-bisik?” Naraya mengerutkan kening.
“Nay, Ibu sama bapak kayanya enggak akan nginep semalam lagi di rumah paman Eka … Ibu sama bapak mau pulang sekarang aja.” Ibu terdengar sedang mengadu.
“Loooh, kenapa? Sudah mau malem lho, Bu … nanti kalau ada apa-apa di jalan gimana?” Naraya berusaha melarang karena mengetahui kondisi jalan dari rumah sang paman ke Bandung yang rawan kecelakaan.
“Kamu tahu sendiri ‘kan istrinya paman kamu itu judes, nyebelin.” Ibu Hernita menggerutu.
“Ya terus kalau sudah tahu begitu kenapa Ibu sama bapak malah liburan ke sana?”
“Iyaaaa, tadinya Ibu sama bapak mau silaturahmi aja.” Ibu baru ingat kalau putrinya tidak tahu kunjungan ke rumah Eka untuk menagih hutang agar bisa membayar hutang kepada Surawijaya.
“Menurut Nay sih jangan maksain ya Bu, apalagi di sini udah hujan terus malem … di sana hujan enggak?”
“Enggak … tapi kayanya mau hujan.”
Naraya mengembuskan napas panjang. “Bu, pokoknya hati-hati ya, perasaan Nay enggak enak ….”
“Iyaaa, tenang aja … ibu cuma mau bilang itu aja sama kamu … kamu baik-baik ya di sana sayang, anak ibu paling cantik, paling pinter, paling baik ….”
“Ya iya lah, anak Ibu ‘kan cuma Nay doank.”
Dan keduanya tertawa pelan.
“Pokoknya Ibu berpesan kamu harus jadi orang yang pandai mengalah, berbesar hati lah dan menerima apa yang Tuhan takdirkan untuk kamu ya sayang?” Ibu Hernita berpesan dengan makna cukup dalam.
“Iya Ibuuuu, Ibu kaya mau pergi perang aja nasihatnya dalem banget.”
Terdengar tawa renyah ibu.
“Ya udah, Nay … mau latihan dulu ya Bu … salam sama bapak.”
“Iya sayang.”
Dan sambungan telepon terputus.
Hingga beberapa jam kemudian saat hari sudah malam, Naraya selesai melakukan latihan diantar oleh Afifah-sahabatnya ke rumah.
Dia langsung membersihkan tubuh dan ketika bersiap untuk tidur, ponsel Naraya yang di simpan di atas bantal di sampingnya berdering menampilkan nama sang paman.
“Hallo Paman?” Naraya menjawab panggilan tersebut tanpa perasaan curiga sedikitpun.
“Naaaaayyyy ….” Paman menangis sambil memanggil namanya.
“Paman Eka? Ada apa? Kok Paman nangis?” Naraya jadi panik, menegakan punggungnya lalu menyibak selimut.
“Naaaaaay, ibu dan bapak kamu kecelakaan Naaaay … cepat datang ke sini, Naaaaaay ….” Paman Eka masih menangis ketika memberikan informasi tersebut.
Saat itu Naraya masih berpikir kalau kedua orang tuanya masih hidup.
***
Hari jum’at tepatnya, Ghazanvar sengaja meninggalkan kantor lebih awal.
Dia menjemput Aruna ke kampusnya yang merupakan kampus Negri terbaik di Indonesia.
Hanya Aruna dari kelima anak papi Arkana dan mami Zara yang tidak kuliah di Luar Negri karena papi tidak mengijinkan.
Memiliki satu anak perempuan di antara empat anak laki-laki membuat papi Arkana sangat overprotective terhadap Aruna.
Jalanan kota Jakarta saat itu masih cukup lengang hingga mobil SUV mewah Ghazanvar tiba di kota Depok di mana kampus Aruna berada.
Ghazanvar turun dari mobil, menutup pintu lalu menyandarkan setengah bobot tubuhnya pada sisi mobil lantas dengan cara paling cool dia membuka kaca mata hitamnya.
Nyaris semua mahasiswi yang ada disekitar sana histeris melihat pria tampan bak aktor Korea dengan segala pesona dan kharisma berdiri di samping ‘tunggangan’ eksclusivenya.
“Abaaaaang!” Aruna berseru memanggil Ghazanvar.
Gadis mungil itu melambaikan tangan dari jauh dan Ghazanvar langsung menangkap sosok cantik tersebut.
Ghazanvar maju beberapa langkah, kedua tangannya terentang mengundang Aruna ke dalam pelukan.
“Apaan sih Bang,” kata Aruna melengos melewati Ghazanvar menuju pintu penumpang di kabin depan.
Ghazanvar menunjukkan ekspresi wajah kecewa yang dibuat-buat, dia terkekeh kemudian membalikan badannya untuk masuk ke dalam mobil.
“Abang Ghaza, Mas Nawa, Kak Zio sama Mas Nara itu kaya gitu … makanya Aruna sampe sekarang enggak punya pacar.” Aruna menggerutu.
Ghazanvar menanggapi dengan tawa sembari memutar kemudi membawa mobilnya keluar dari area kampus.
“Anak kecil nggak boleh pacaran, kuliah aja yang bener.”
Aruna mencebikan bibirnya sebal. “Aruna kuliah kok … bentar lagi Aruna lulus, Aruna lulus lebih cepet dari teman-teman satu angkatan Aruna.”
“Iya sayang iyaaaa.” Ghazanvar sedang malas berdebat.
“Malan dulu ya kita … Abang laper.”
“Aruna yang pilih restonya ya,” kata Aruna langsung mematuti layar ponselnya mencari restoran di sepanjang jalan yang akan mereka lalui menuju Sukabumi.
Entah ke mana perginya kesal Aruna tadi berganti riang gembira saat diajak makan malam oleh Ghazanvar.
***
“Bang … Abang kenapa sih enggak pernah nolak kalau disuruh kakek? Waktu itu disuruh pesantren—Abang pergi, sekarang disuruh ruqyah juga Abang mau aja pergi … Abang takut ya sama kakek?”
Aruna bertanya sambil menunggu pesanan makan malam datang.
Mereka sudah duduk saling berhadapan di sebuah resto masakan Sunda.
“Kan kamu yang mau nganter Abang ke Pesantren.” Ghazanvar pura-pura menyalahkan sang adik.
“Aruna tuh ingin Abang seperti dulu, Abang Ghaza yang konyol, nyeleneh, suka becanda, ceria, sering ketawa ….” Aruna menunjukkan tampang sedih ketika mengatakannya dengan sorot mata serius membuat Ghazanvar tersentuh.
“Kita makan dulu ya, biar enggak malem banget sampe Sukabumi.” Ghazanvar mengalihkan pembicaraan saat pelayan datang membawa menu pesanan mereka.
“Abang enggak mau coba hypnotheraphy?” Aruna bertanya lagi, dia serius dengan keinginan agar sang kakak kembali seperti dulu.
“Sebetulnya Abang ngikutin keinginan kakek itu cuma buat lari aja dari semuanya, di Pesantren sejuk … damai, banyak yang melantunkan ayat suci … Abang ngerasa tenang di sana, nanti kita pulangnya Senin aja ya … kamu enggak ada jadwal kuliah ‘kan hari Senin?”
Aruna menggelengkan kepala, dia tersenyum haru karena sang kakak yang paling badung ini ternyata memilih Yang Maha Kuasa sebagai tempat melarikan diri hal duniawi.
Mereka melanjutkan perjalanan setelah menghabiskan makan malam.
Hujan yang mulai turun semenjak keluar dari kota Jakarta ditambah udara sejuk mesin pendingin udara di mobil menjadi kombinasi yang sempurna untuk mengantar tidur.
Ghazanvar harus tetap fokus mengemudi sedangkan sang adik tidur pulas di sampingnya.
Semakin dalam masuk ke pelosok kota Sukabumi semakin jarang mobil yang berpapasan dengan mereka.
Jalan pun berkelok-kelok tajam dengan jurang di sisi kanan tapi beruntung dalam perjalanan pergi di malam hari ini sisi sebelah kiri kebanyakan adalah tebing atau lahan kosong.
Fokus mengemudi Ghazanvar perlahan teralihkan oleh senyum Zaviya yang melintas di benaknya.
Demi apa, rasanya hati Ghazanvar belum bisa merelakan kalau harus melepaskan Zaviya dari hatinya.
Dia bisa mencintai dalam diam, hanya sekedar melihat Zaviya dari jauh saja Ghazanvar sudah merasa cukup.
Di antara pikirannya yang berkecamuk dan lamunan akan Zaviya, Ghazanvar terhenyak dan langsung menguasai dirinya begitu sorot lampu menyilaukan dari arah sebaliknya mengaburkan pandangan.
Detik berikutnya Ghazanvar menyadari kalau mobil dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi tersebut akan menghantam mobilnya.
Ah tidak, mungkin mobil Ghazanvar yang terlalu ke tengah mengambil jalan mobil tersebut.
“Abaaaaang!” Aruna-sang adik yang duduk di sampingnya berseru terkejut karena saat membuka mata dari tidur ayamnya tiba-tiba melihat mobil dari arah berlawanan hendak menabrak mobil mereka.
Itu yang Aruna tangkap oleh indra penglihatannya dan dia percayai.
Dengan cepat Ghazanvar membelokan kemudi ke kiri menghindari tabrakan sambil menginjak rem dalam agar tidak menghantam tebing dan beruntungnya mobil berhenti tepat di bahu jalan yang tekstur tanahnya berkerikil.
Ghazanvar dan Aruna kompak menoleh ke belakang mencari tahu apa yang terjadi melalui kaca jendela belakang setelah mendengar suara kencang hantaman sesuatu dari arah belakang.
Meski saat itu hari beranjak malam dengan pencahayaan minim di tambah hujan rintik-rintik tapi mereka masih bisa melihat mobil yang tadi dihindari Ghazanvar menabrak pembatas jalan kemudian lompat ke jurang.
“Abaaaang.” Aruna panik, tangannya menepuk-nepuk lengan berotot sang kakak dengan pandangan masih terpaku ke arah belakang.
Ghazanvar sontak membuka seatbelt kemudian turun dari mobil, dia berlari menuju bibir jurang tempat mobil tadi melompat.
Duar!!!!
Sebuah ledakan terdengar sampai Ghazanvar harus berjongkok dan melindungi kepalanya menggunakan kedua tangan karena apinya tersembur sampai ke jalan.
“Abaaaaaang!” Aruna yang baru saja turun, menjerit kencang seraya berjongkok karena beberapa puing dari komponen mobil terlempar ke jalan dampak dari ledakan.
Setelah dirasa tidak ada benda yang beterbangan lagi Aruna berlari memeluk sang kakak
“Abaaaang, ayo kita lapor Polisi … kasian mereka.”
Aruna menangis di d**a Ghazanvar yang tubuhnya bergetar dan matanya basah karena dia menganggap kalau kecelakaan ini adalah murni kesalahannya.
Jalanan saat itu sangat sepi, mereka sudah sampai di Sukabumi tidak jauh dari Pondok Pesantren yang menjadi tujuan mereka yang berada di pelosok desa.
“Abaaaaang … telepon papi cepetan.” Aruna mengguncang lengan Ghazanvar karena sang kakak malah termenung.
“Aruna, Abang yang menyebabkan mobil itu jatuh ke jurang.” Ghazanvar melirih.