Dikirim Lagi Ke Pesantren

1308 Kata
“Mau sampe kapan kamu kaya gini?” Anasera menggeser gelas berisi minuman beralkohol pesanan Ghazanvar ke hadapan pria itu. Gadis cantik pemilik bar and lounge ini sampai turun tangan melayani Ghazanvar lantaran tidak bergerak dari kursinya semenjak sore tadi tanpa memesan apapun. Ghazanvar menengadahkan kepala bersama hembusan napas jengah. “Kamu punya tutorial bunuh diri tapi enggak sakit? Terus punya kenalan orang dalam di akhirat, biar aku nanti bisa masuk Surga?” Pertanyaan Ghazanvar yang diucapkan dengan ekspresi serius itu membuat Anasera mendengkus. “Gila! Gara-gara cewek kamu bisa kaya gini, biasanya cewek-cewek yang rela mati demi kamu.” Anasera menyindir sembari melengos masuk ke dalam kitchen mengecek pekerjaan karyawannya di sana. Mengenal Ghazanvar sedari lahir tentu membuat Anasera memahami pria itu namun sepertinya Anasera merasa asing dengan Ghazanvar yang sekarang karena pria itu tidak pernah benar-benar jatuh cinta seperti yang dia alami sekarang. Dan sayangnya pria itu jatuh cinta kepada istri dari adik sepupunya sendiri. Anasera adalah anak bungsu dari Angga dan bunga, sepasang suami istri yang selalu harmonis dan bahagia itu adalah sahabat kedua orang tuanya Ghazanvar sehingga kini Ghazanvar pun bersahabat dengan anak-anak mereka. Anasera memiliki kakak laki-laki bernama Arsenio yang merupakan seorang dokter di rumah sakit kecil milik maminya yang dulu adalah seorang perawat dan kini telah menjadi seorang dokter dan rumah sakit tersebut terletak di Bandung Barat. Sedangkan papinya Anasera memiliki resort yang menawarkan resto, cottage dan tempat wisata yang terletak di Jalan Kolonel Masturi, Bandung Barat. Beliau juga memiliki beberapa perusahaan dan merek yang memproduksi pakaian dan peralatan rekreasi alam. Sedangkan Anasera lebih suka membangun bisnis sendiri di Jakarta, jauh dari kedua orang tuanya. “Bro!” Sebuah tepukan kencang mendarat di pundak Ghazanvar. Lidah Ghazanvar berdecak kesal bersama rotasi bola matanya malas. “Apaan sih!” gerutunya kesal. “Mau latihan enggak? Tapi tanda tangan dulu proposal kerja sama bisnis yang baru ya … udah gue kirim ke email lo.” Radeva berujar sembari menjatuhkan bokongnya di stool. Dia meminta bartender membuatkannya minuman. “Haaaaah ….” Ghazanvar melepaskan napas panjang. “Kamu enggak bisa ya kalau ketemu di luar jam kerja itu enggak usah ngebahas bisnis?” Ghazanvar bertanya malas-malasan. “Biar cepet diproses, Ghaza … jadi besok kita tinggal meeting sama tim legal.” Radeva menenggak minuman beralkohol dalam gelas kecil hingga tandas. Pria bertubuh tinggi besar dan atletis seperti Ghazanvar itu pun bangkit dari stool. “Ayo latihan, gue tunggu di dalam!” Dia menepuk pundak Ghazanvar lantas pergi masuk lebih jauh ke dalam area lounge. Ada sebuah pintu di sana yang hanya bisa diakses oleh pemilik sidik jari yang terekam dalam alat pada handle pintu. Ghazanvar, Anasera dan Radeva tentu bisa mengaksesnya. Radeva membuka pintu kemudian berjalan menyusuri lorong hingga menemukan sebuah pintu lagi. “Si Ghaza mana?” Anasera bertanya, dia sedang membersihkan senjata apinya. “Masih di depan, entar juga ke sini.” Radeva menanggalkan jas dan kemejanya untuk dia ganti dengan pakaian khusus latihan. Saat dia keluar dari bilik ganti, Anasera sudah tidak ada di ruangan itu. Radeva melewati sebuah pintu lain dan suara bising segera saja memekakan indra pendengarannya. Banyak orang sedang melakukan latihan pertahanan diri di sana, ada yang yang latihan menembak seperti yang dilakukan Anasera, ada yang sedang berlatih dengan bertanding boxing di di dalam ring, banyak juga yang latihan bela diri dipimpin oleh seorang pelatih yang baru saja menyapa Radeva penuh hormat. Radeva sendiri akan berlatih beladiri tangan kosong dengan seorang pelatih yang mereka panggil langsung dari Rusia. Sama seperti boxing, Radeva dan Coach bernama Dimitri itu berlatih bertarung di dalam sebuah ring. Radeva jago beladiri tangan kosong, dia menikmati setiap kali melakukan latihan seolah sedang melakulan hobbynya yang menyenangkan. Namun Radeva harus memdapat pukulan di d**a tatkala fokusnya terdistraksi oleh bunyi ponselnya dengan rington khusus yang menunjukkan kalau panggilan tersebut berasal dari sang mama. “Sebentar! Aku jawab dulu,” kata Radeva menunjuk ponselnya yang dia simpan di sisi ring. Dimitri menghentikan serangannya memberi kesempatan kepada Radeva untuk menjawab panggilan telepon. “Hallo Ma?” “Sayang, kok belum pulang? Kan tadi Mama pesen vitamin … kamu udah baca ‘kan chat Mama?” Di ujung panggilan sana mama Gita berujar penuh khawatir sekaligus mengintimidasi meski dibalut suara lembut mendayu. “Oh iya udah Ma, sekarang Deva pulang ya Mama sayang.” Radeva mengangkat tangan kepada Dimitri sembari berlari memberi kode kepada sang pelatih kalau dia sudah selesai. “Hati-hati di jalan, ya sayang … jangan lupa merek, kemasan dan jenis vitaminnya harus sama seperti yang mama fotoin ya!” Mama Gita mengingatkan. “Iya Mama iyaaaa.” Dimitri menatap malas Radeva yang masih berkomunikasi dengan mamanya seraya berlari menjauh. “Dasar anak mama,” gumam Dimitri kesal. *** “Tumben ayah sama bunda dateng,” sapa Arkana-papi dari Ghazanvar yang baru saja tiba di rumah menyapa kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tamu. “Kami mau bicara tentang Ghaza.” Nenek Aura memberitahu alasan mereka datang malam-malam begini, raut wajah beliau tampak cemas. “Ghaza kenapa?” Arkana yang sudah duduk di samping istrinya dengan tangan terentang di sepanjang pundak mami Zara pun balas bertanya. Mami Zara menoleh ke samping, menatap sebal pada papi Arkana yang tidak peka padahal beberapa waktu terakhir, Ghazanvar menjadi topik pembicaraan mereka sebelum tidur lantaran sikap Ghazanvar yang murung dan lebih suka menyendiri. “Oooh si Ghaza yang akhir-akhir ini suka ngelamun itu?” Papi Arkana akhirnya mengerti. “Itu mah gara-gara patah hati, kata dia sih Zaviya kasih ultimatum kalau dia enggak akan pernah jatuh cinta sama Ghaza … jadi kaya gitu tuh anak,” sambung papi Arkana santai kaya di pantai. “Enggak bisa dibiarin, Kana! Perusahaan berantakan gara-gara dia enggak fokus ….” Kakek Narendra berujar tegas. “Nanti Kana yang cover, Yah.” Papi bersedia menjadi tameng d**a untuk putranya. “Kamu ngerti enggak, kalau kita harus serius nanganin Ghaza!” Kakek Narendra melantangkan suaranya membuat papi Arkana bungkam. “Every body, I’m Hooomeee!” seru yang sedang menjadi topik pembicaraan. “Eh … ada Kakek sama Nenek.” Ghazanvar menyapa dengan nada ceria dan mata merah. Dia mencium pipi nenek Aura dalam. “Kamu mabuk ya?” tanya nenek Aura lembut karena mencium aroma pekat alkohol di tubuh Ghazanvar. “Enggak kok, Nek.” Ghazanvar merebahkan kepalanya di pundak nenek, memeluk beliau dari samping. “Ghaza, kamu pergi lagi ke Sukabumi … minta pimpinan pesantren tempat kamu mondok kemarin buat ngeruqyah kamu!” titah kakek Narendra serius. “Siap Kakek!” Ghazanvar yang memang sedang mabuk menegakan punggung kemudian melakukan sikap hormat, seperti tentara. “Siapa yang mau diruqyah?” Arnawarma-adik pertama Ghazanvar yang baru saja bergabung dengan mereka di ruangan itu, bertanya. “Aku … aku …,” jawab Ghazanvar mengacungkan satu jarinya. Mereka semua yakin sekarang kalau Ghazanvar memang mabuk padahal anak sulung papi mami itu tidak pernah mabuk atau lebih tepatnya tidak pernah ketahuan mabuk. Arnawarma sudah dewasa untuk bisa menilai kalau sang kakak sedang mabuk. Dia pun tertawa hingga terpingkal karena merasa puas, sang kakak yang selalu dibela-bela dan dibanggakan kedua orang tuanya pulang dalam keadaan mabuk dan tentu hal tersebut akan sangat mengecewakan mereka. Dan posisi anak kesayangan nanti pasti akan jatuh padanya. “Nanti ustadnya bilang gini, ‘Ini mah enggak ada setannya … dianya aja yang kek setan’.” Lucunya, setelah Arnawarma berujar demikian Ghazanvar tertawa terbahak-bahak ikut tertawa bersama sang adik sementara kedua orang tua mereka beserta kakek dan nenek menatap malas keduanya. Aruna-adik bungsu Ghazanvar yang sedari tadi menguping pembicaraan mami papi dan kakek neneknya lantas datang mendekat. Dia memeluk pundak sang kakak dari samping, Aruna prihatin dengan sikap sang kakak yang akhir-akhir ini berubah drastis menjadi pemurung. Terkadang linglung kalau diajak mengobrol tidak nyambung. “Abang, Aruna anter ke Sukabumi lagi mau?” Karena dulu Aruna yang mengantar sang kakak ke Sukabumi sewaktu dihukum kakek karena berkelahi dengan Svarga-adik sepupu mereka memperebutkan wanita bernama Zaviya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN