Demi Naraya

1129 Kata
Cantik, baik, ramah, murah senyum dan memiliki segudang bakat seni membuat Naraya Kirani menjadi incaran banyak laki-laki di fakultas Seni, Institut kesenian Jakarta. Mojang Bandung yang besar dan tinggal di Bandung barat ini tidak menyia-nyiakan jerih payah ayahnya yang hanya seorang ASN dalam membiayai pendidikannya di Jakarta. Dia bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu di Ibu Kota sehingga tidak terpikir untuk memiliki kekasih. Naraya atau yang kerap di sapa Nay ini menjadi kesayangan para dosen karena bakat seni yang dimilikinya. Gadis dengan mata bulat yang indah itu pandai menyanyi, menari daerah maupun modern, dan jago memainkan segala jenis alat musik. Naraya selalu dijagokan oleh angkatannya dalam perlombaan yang diadakan setiap tahun oleh Instute Seni di seluruh Indonesia. Dia juga pernah diminta bersama para penari lain untuk menari daerah dalam pembukaan SEA GAMES dan acara kenegaraan lainnya. “Nay!” panggil Afifah melambaikan tangan dari samping mobilnya. “Peh, mau balik?” Naraya bertanya melantang suara dari sebrang parkiran. “Iya … ayo, aku anter.” “Aku ada latihan jaipong dulu buat acara nyambut Perdana Mentri Jepang minggu depan, pulang duluan aja.” Afifah melorotkan bahunya, raut wajahnya tampak murung. “Anggit mana? Pulang sama Anggit saja …, “ cetus Naraya memberi ide. “Anggit pulang sama Latief.” Afifah mengerucutkan bibir. “Temenin aku latihan gimana? Nanti aku traktir bakso!” Naraya memberikan solusi saling menguntungkan. Namun sebenarnya Naraya tidak perlu ditemani tapi Afifah yang ingin di temani pulang karena dia yang paling jauh rumahnya dan tidak ingin kesepian dalam perjalanan pulang. Kebetulan jarak rumah tiga sekawan yang terdiri Anggit, Afifah dan Naraya itu searah dengan Afifah yang paling jauh rumahnya jadi gadis berhidung mancung itu senang sekali mengantar jemput Anggit dan Naraya setiap hari. “Ayo!” Afifah berseru bahagia. Si Anak Jendral ini kuliah hanya untuk mencari gelar saja, dia sengaja mengambil fakultas seni karena mengira tidak perlu menggunakan otaknya yang malas untuk berpikir. Namun kenyataannya dia salah besar, justru kecerdasan dan fokusnya dituntut di sini beruntung dia memiliki suara emas jadi setidaknya dari kelebihan itu Afifah berharap bisa lulus kuliah dalam waktu sesingkat-singkatnya. Afifah berlari menyebrangi parkiran, merangkul pundak Naraya dan mereka berdua berjalan melewati lorong menuju sebuah aula yang sering digunakan untuk latihan menari atau teater. “Tunggu di sini, jagain tas aku.” Naraya berpesan. “Oke!” Afifah memeluk tas Naraya dia duduk di salah satu kursi bersama beberapa orang yang menemani kekasih atau temannya latihan untuk menyambut Perdana Mentri Jepang. Seorang pria tampan menoleh ke belakang membuat tatapan mereka bertemu. Afifah tersenyum manis di balas senyum manis yang sama oleh pria itu. “Ayang!” seru seorang gadis dari tengah aula dan pria dengan senyum manis tadi segera saja mengalihkan pandangannya ke depan. “Yaaaa, ada monyetnya.” Afifah bergumam. Naraya mulai latihan menari jaipong, sebuah tarian yang tidak pernah bisa Afifah kuasai tapi melihat bagaimana Naraya menari seolah setiap gerakannya sangat mudah. Jemari-jemari Naraya yang lentik, gerakan pinggulnya, pundak dan kepalanya yang seirama selalu berhasil membuat Afifah terkagum-kagum termasuk kakak angkatan Naraya yang sedang melatih. Pria muda bernama Khafi itu selalu menjadikan Naraya contoh agar bisa mengambil kesempatan menyentuh pinggang, pundak dan bagian tubuh Naraya lainnya yang kebetulan gerakan tersebut harus dilakukan. Afifah berdecak kesal, menatap malas Khafi yang kini sedang mengaitkan tangannya di pinggang Naraya. “Menang banyak doi,” gumam Afifah menatap malas Khafi. Afifah adalah sahabat yang paling posesif yang tidak suka sahabatnya dimanfaatkan seorang pria. Dua jam lamanya Naraya melakukan latihan tari Jaipong dan menurut Afifah, di antara empat orang penari hanya Naraya yang paling luwes gerakannya. “Ayo Peh, udah sore.” Naraya melap lehernya yang berkeringat menggunakan tissue. “Minum dulu,” kata Afifah mengeluarkan tumbler dari tas Naraya. “Nay, pulang sama siapa?” Khafi yang menyandang tas di satu pundaknya sengaja menghampiri Naraya dulu sebelum mencapai pintu keluar. “Sama aku, Mas.” Afifah yang menjawab. “Oke … hati-hati ya!” Pria itu berpesan. Naraya dan Afifah tersenyum menanggapi tapi hanya Naraya yang tersenyum tulus. “Apaan sih!” Naraya melempar tissue bekas ke pangkuan Afifah. “Kenapa sih, kalian enggak pacaran aja?” sindir Afifah sewot. “Mas Khafi ‘kan anak Rektor, mamanya juga anggota DPR … kamu bisa langsung jadi artis kalau nikah sama dia,” sambung Afifah berceloteh. “Enggak ada hasrat,” jawab Naraya enteng sembari memasukan barang-barangnya ke dalam tas. “Tadi hape kamu bunyi terus.” Afifah memberitahu. “Ya ampun aku lupa, ibu sama bapak datang dari Bandung hari ini … ayo, Peh kita pulang cepetan.” Naraya berlari lebih dulu menuju pintu keluar. Afifah berjalan gontai dengan ekspresi masam menyusul Naraya malas-malasan. “Ngebut, Peh … ayo cepetan ngebut!” Naraya tidak sabaran ingin sampai ke rumah kontrakannya karena tadi bapak mengirim pesan kalau beliau dan ibu sudah sampai. Dia memilih rumah kontrakan yang jaraknya cukup jauh dari kampus karena harganya murah. Sedangkan untuk pergi dan pulang dia bisa menebeng Afifah jadi tidak mengeluarkan ongkos. “Iya, elaaaah ….” Afifah jadi grogi menyetir mobilnya di antara ribuan kendaraan di jam pulang kantor. “Makasih ya sayang, besok jemput jam delapan.” Naraya mengecup pipi Afifah, membuka pintu kemudian turun dari mobil sang sahabat yang telah berhenti sempurna di depan gang rumah kontrakannya. Dia lantas berlari menuju rumah kontrakannya yang mungil tipe dua satu di dalam gang. “Sore Bu, sore Pak.” Naraya menyapa para tetangganya yang sedang berada di luar. Mereka mengangkat tangan ada yang tersenyum membalas sapaan Naraya. “Ibuuu, Bapak!” Naraya berseru bahagia dari teras saat membuka pintu dan mendapati kedua orang tuanya duduk di ruang tamu yang merangkap ruang televisi dan ruang makan. Mereka tentu memiliki kunci cadangan rumah kontrakan Naraya sehingga bisa masuk kapan saja meski Naraya masih berada di kampus. “Iiih, baru pulang … ibu sudah dari tadi dateng.” Ibu Hernita mendapat pelukan Naraya. “Iya, Nay lupa kalau sore ini ada latihan Jaipong buat acara minggu depan.” Naraya mengecup punggung tangan bapak Agus lalu mengecup pipinya. “Makan dulu, Ibu bawa masakan dari Bandung …,” kata bapak mengusap-ngusap kepala Naraya yang bersandar di pundaknya. “Ibu sama Bapak berapa hari di sini?” Naraya bertanya dengan mulut penuh makanan. Bapak dan Ibu saling menatap. “Bapak lagi ambil cuti, Nay … boleh ‘kan Bapak sama Ibu beberapa hari tinggal di sini?” Ibu yang menjawab. “Boleh donk, Nay seneng … jadi ada yang masakin Nay sama mijitin badan Nay.” Tanpa curiga Naraya berujar demikian lalu matanya melirik bapak yang duduk bersila di lantai. “Iya, nanti bapak pijitin.” Bapak Agus mengerti arti tatapan Naraya. “Asyiiiiikkk, Bapak memang terbaik.” Naraya tidak tahu kalau kedua orang tuanya sedang lari dari kejaran rentenir yang memaksa mereka membayar sejumlah uang yang pernah dipinjam bapak Agus untuk biaya kuliah putrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN