BAB 9

2204 Kata
"Seperti Nitrogen yang bergerak bebas di udara meski sudah berikatan dengan unsur lain, pacar juga butuh waktu untuk sendiri atau bermain dengan teman-temannya." - Milki Aditya – Aku mengembuskan napas berat sembari menatap lembaran hasil kuis Fisikaku kemarin yang hari ini dibagikan. Sesuai prediksi, aku mendapat nilai 38. Sungguh angka yang menyebalkan. Padahal sudah berupaya dengan sekuat tenaga tetapi tetap saja, kemampuan nggak akan bisa naik dalam sekejap tanpa dilatih. "Dapat di bawah 40 lagi Val?" ledek Nagara yang tanpa ditanya pun udah pasti dapat nilai 100. Aku memanyunkan bibirku, kesel. "Serius? Dapat berapa Val?" tanya Sota yang ikutan balik badan buat bisa tahu nilaiku. "Dapat 38," jawabku sambil ngasih lembar jawabanku ke Sota. "Pfftt, haha, oon amat sih, Val," ledek Nagara sambil ketawa ngakak. "Ish, nyebelin amat sih, Ara," dengusku BT. "Tapi mending kamu sih, Val," celetuk Sota yang lagi memasang wajah ditekuk. "Kenapa? Nilaimu anjlok juga?" tanyaku. Sota menggeleng pelan. "See?" katanya sambil menunjuk lembar kuisnya yang ternyata mendapat nilai 78. "Aih, dapat 78 gitu lho! Jangan ngejek gitu, dong! Sok sedih ternyata nilainya tinggi," sahutku sewot. "Aih, nggak seneng aku," sanggah Sota. "Kenapa?" tanyaku. "Kamu tahu kan? Yang ngajar Fisika itu bu Nuning. Galak amat sumpah. Kalau aku minggu depan ditanya trus disuruh maju dan nggak tahu jawab gimana dong?" tanya Sota cemas. "Ya bilang aja kamu dapat jawaban dari Nagara," jawabku santai. "Ish, enak aja. Jangan bawa-bawa nama aku, dong. Kalau mau dihukum, tanggung sendiri. Kalau sampe namaku tercemar, pertemanan kita putus!" sergah Nagara ngasih ultimatum. "Galak amat sih, Ara,” protesku. “Iya, nih. Kasihanilah aku,” kata Sota menimpali.   "Biarin. Lagian udah dari dulu begitu aturannya. Boleh nyontek tapi aku jangan dibawa-bawa kalau ketahuan," katanya ngulang lagi aturan yang udah dibuat. Salah satu alasan aku nggak mau menyontek ke Nagara meski kuis Fisika nggak tahu, ya gitu. Nagara itu berani ngasih tapi nggak mau tanggungjawab. Bisa dibilang berani lempar, tapi kalau kena, dia yang pertama ngumpet. "Tenang ajalah, Sot! Kamu belajar aja yang bener biar minggu depan kalau disuruh bisa," saranku. "Belajar sama siapa? Aku Fisika nggak pernah belajar, Val! Kalaupun belajar, aku nggak bakal ngerti," kata Sota mulai panik. "Belajar sama mamamu, kan beliau guru Fisika," usulku. "Mama? Aih, mamaku nggak akan mau ngajarin aku, Val. Lagian malas belajar sama Mama, suka dikatain b**o, oon, lemot dan lain-lain," kata Sota menolak usul dariku. "Sebelas dua belas sama mas Atom tuh," ujarku. "Ish, sama aja ternyata," gumam Sota. Aku mengangguk. "Mungkin karena masih anggota keluarga jadinya nggak sungkan," kataku. "Kalau gitu, aku belajar sama mas Atommu ya, kan dia bukan keluargaku. Jadi nanti sungkan trus nggak dikatain b**o," kata Sota ngasih ide cemerlang. "Ya terserah, tapi bilang sendiri. Aku ogah," kataku ngasih syarat. "Okelah," sahut Sota. "Emang kamu nggak mau belajar juga?" tanya Sota balik. "Nggak, biar nanti aja kalau aku udah nggak malas," jawabku. "Ya kapan pinternya kalau gitu, Val," sahut Sota. Aku hanya nyengir. "Kapan-kapan," Nagara berdecak pelan. "Kalau oon, oon aja udah." Aku menyipitkan mata ke arahnya. "Diem deh! Orang jenius nggak akan paham penderitaan orang oon," sahutku sewot. Nagara terkekeh pelan. "Oon kok ngaku," katanya dengan pandangan mengejek. "Soalnya aku nggak munafik," balasku lagi. "Aduh, baper dah. Baper! Mending aku ke kantin aja," kata Nagara lalu berdiri dari duduknya. Aku mengembuskan napas panjang. Kesal sama Nagara tapi nggak bisa ngelawan. Selain pintar Matematika dan Fisika, dia juga pandai bicara dan ngehindar di situasi sulit. "Udah, Nagara emang gitu. Yuk ah kantin juga, laper," ajak Sota. Aku mengangguk mengiyakan. Kami berdua pun berjalan menuju kantin. "Mau pesen apa, Val?" tanya Sota saat kami sudah duduk di kursi kantin. "Batagor aja, malas makan yang berat," jawabku. "Minumnya?" tanya Sota. "Jus jambu," jawabku lalu memberikan sejumlah uang pada Sota. "Oke, wait here. I will back soon," ucapnya lalu mulai berlari untuk membeli pesananku sekaligus apa yang mau dia beli. Sembari menunggu Sota, aku melihat kantin yang hari ini lagi ramai. Ada banyak orang tetapi aku nggak melihat kak Pascal. Sepertinya pacarku itu lagi bimbingan untuk lomba Kimia. Dia memang sudah bilang kalau akan sibuk. Jadi, aku nggak perlu mencarinya. Hanya saja, entah kenapa ingin ketemu walau hanya sebatas melihat mukanya. Jadi gini rasanya merindu? Eh, rindu? Siapa? Aku? "Bengong aja, Val. Nggak ketemu Pascal sehari udah ngebuat rohmu jalan-jalan ya?" Teguran penuh ledekan itu membuatku menoleh, menatap kak Milki dan kak Harp yang sudah berdiri di depanku. Seperti biasa, kak Milki dengan semangkok bakso sedangkan kak Harp dengan kotak bekal sehatnya. "Boleh duduk sini?" tanyanya sambil menunjuk ke kursi kosong di depanku. Aku mengangguk. "Duduk aja, Kak. Aku cuma berdua sama Sota, kok," jawabku mempersilahkan kedua kakak kelasku itu duduk. Mereka pun duduk dan mulai mengeksekusi makanannya. "Kak Pascal nggak ikut, Kak?" tanyaku. Kak Milki yang lagi melakukan proses mencerna pentol bakso hanya menggeleng. Butuh beberapa saat sampai dia berhasil menelannya. "Lagi main game dia di kelas," jawab kak Milki. "Hah? Nggak bimbingan?" tanyaku kaget. Kak Milki menggeleng lagi. "Nggak, tadi udah. Dia mungkin lagi pengen refreshing, soalnya habis istirahat dia lanjut lagi," jelas kak Milki.   Aku menggembuskan napas kasar. "Kok dia nggak nemuin aku sih? Malah main game," gerutuku. Kak Milki tertawa. "Val, seperti nitrogen yang bergerak bebas di udara meski sudah berikatan dengan unsur lain, pacar juga butuh waktu untuk sendiri atau bermain dengan teman-temannya. Menjadi pacar yang posesif dan protektif, hanya akan membuat Pascal pergi. Sebaiknya, kamu jangan gitu," saran kak Milki. Aku hanya mengembungkan pipi. "Udah, jangan kesel gitu. Kan masih ada aku," kata kak Milki sambil senyum. "Dih, yang pacarnya Valenci, kamu atau Pascal, so sweet amat," sindir kak Harp. Kak Milki tergelak pelan. "Jangan suudzon, dong! Pascal serem kalau cemburu," sahut kak Milki. "Kak Pascal bisa cemburu, Kak?" tanyaku kaget sekaligus penasaran. Kak Milki mengangguk. "Bisa, dong! Kan dia manusia," sahut kak Milki setengah bergurau. "Jadi, beneran kak Septi itu cinta pertamanya kak Pascal?" tanyaku. Kak Milki menaikkan satu alisnya. "Kata siapa?" tanya kak Milki bingung. "Kata kak Septi," jawabku. "Septi mantannya Milki kali, Val. Apa hubungannya sama Pascal?" celetuk kak Harp. "Hah?" Seruan cempreng itu membuatku rada kaget. Sota sudah kembali rupanya. "Apa? Apa? Bagaimana bisa? Ih, cerita dong, Kak." desak Sota yang segera duduk dan meletakkan makanan dan minuman di tangannya dengan asal. Kumat deh kepo dan alaynya dia. Aku mengambil batagor dan jus jambuku dari meja depan Sota. Sementara Sota lagi asyik desak kak Harp dan kak Milki buat cerita. "Ayo dong, cerita, Kak," desak Sota maksa. Kak Harp hanya nyengir saat melihat kak Milki yang sedikit melotot kepadanya seolah sedang protes karena kak Harp kelepasan bicara. "Kamu udah nanyain itu sama Pascal, Val?" tanya kak Milki kemudian. Aku mengangguk. "Trus? Pascal bilang apa?" tanya kak Milki. "Nanti dijelasin katanya, tapi sampai sekarang nggak dijelasin juga!" jawabku. "Oh," kata kak Milli ber-O doang. "Jangan O doang, Kak! Cerita, dong!" Sota masih berupaya memaksa. "Jangan, deh. Itu urusan intern, sensitif dan kalau nggak hati-hati bisa salah paham. Jadi, biar Pascal aja yang jelasin," kata kak Milki berusaha bijaksana. "Iya, ini soalnya rumit. Yang paham dan bisa jelasin dengan baik-baik, cuma Pascal sendiri." Kak Harp menimpali. Aku mendesah kecewa, Sota juga. Tapi melihat wajah kak Milki dan kak Harp yang serius, sepertinya memaksa mereka untuk cerita hanya akan sia-sia saja. Kami pun memutuskan menyerah. Kami mulai mengeksekusi makanan kami masing-masing. Setelah mengobrol sebentar dengan kak Milki dan kak Harp, aku dan Sota memutuskan untuk ke kelas. Di tengah jalan si Sota kebelet, jadi kami mampir dulu ke kamar mandi. Sota melakukan urusannya sementara aku berdiri di depan kamar mandi cewek. "Hei, Valensi yang bukan Kuantum," Sapaan dari suara khas itu membuatku menoleh, kak Galaksi melengkungkan senyuman manis. "Ngapain?" tanyanya. "Nemenin temen ke toilet," jawabku. "Kalau kakak?" tanyaku balik. "Hm, masih musim cewek ke toilet ditemenin?" tanyanya tanpa memperdulikan pertanyaan balikku. "Masih," jawabku singkat. "Jadi, Kakak ngapain di sini?" tanyaku balik. "Kebetulan lewat, trus nggak sengaja lihat Valensi, aku samperin deh," jawabnya santai. "Nyamperin aku ngapain, Kak? Ada perlu?" tanyaku penasaran. Kak Galaksi menggeleng pelan. "Nggak, pengen lihat muka Valenci aja! Kangen," jawabnya dengan senyuman manis yang masih tersungging di bibirnya. Aku menelan ludah, entah kenapa ucapannya yang ringan dan terkesan terlontar begitu saja tanpa dipikir itu membuatku sedikit merasa aneh. Seolah ada sesuatu yang berdesir di dalam hatiku. Semacam perasaan aneh yang sulit diterjemahkan. "Kok diem?" tanya kak Galaksi yang membuatku segera menggelengkan kepalaku. "Ng-nggak apa-apa, Kak," sahutku cepat dan rada gugup. Kak Galaksi tersenyum jail. "Baper ya? Jangan lupa lho kalau Valenci udah punya pacar," godanya dengan sengaja memberikan kedipan mata nakal. "Ih, nggak Kak! Aku nggak lupa kalau punya pacar. Aku ingat kalau pacarku kak Pascal," sambarku tegas. Kak Galaksi cekikikan. Kakak kelasku itu mendekat lalu meletakkan satu tangannya di pipi kiriku. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku yang enggan dikalahkan dengan cara begitu memilih diam dan menatapnya balik. "Tinggalkan aja Pascal dan pacaran sama aku," katanya dengan nada suara yang memerintah, bukan meminta. "Kenapa?" tanyaku, sama sekali nggak gentar. "Karena bersamaku, kamu akan jauh lebih bahagia," jawabnya penuh percaya diri. "Ups!" Tiba-tiba kak Galaksi menarik tangannya dari pipiku lalu mengangkat kedua tangannya. "Aku hanya menyapa," ucapnya dengan senyuman tengil yang entah kenapa terlihat menyebalkan tersungging di bibirnya. Kak Galaksi nggak bilang itu padaku. Ada orang lain yang dia ajak bicara. Aku menoleh dan menatap kak Pascal yang ternyata berada di belakang kami. "Kak," panggilku tercekat, bingung, panik dan juga kaget. Kak Pascal menoleh ke arahku. "Bicaramu sama dia udah kelar?" tanya kak Pascal dengan nada suara yang entah kenapa terasa berbeda, dingin. Aku mengangguk. "Udah, Kak." Kak Pascal mengedikkan dagunya. "Ikut aku kalau udah," suruhnya. Aku menatap kak Galaksi lagi, hendak pamitan sebelum pergi. "Kak, udah dulu ya! Aku mau-." "Nggak usah pamit! Cepet kesini!" potong kak Pascal yang ngebuat aku segera berjalan mendekat padanya. Saat Sota keluar dari toilet dan melihatku berjalan menjauh, aku hanya menggelengkan kepala dengan isyarat mimik wajah yang seolah bilang, "nanti aku jelasin, sana ke kelas duluan!". Aku mengikuti kak Pascal yang berjalan dengan cepat. Untuk mengimbangi langkah kakinya, aku bahkan sampai setengah berlari. "Kak! Kak!" panggilku nyaring saat kak Pascal mulai nggak terkejar. Kak Pascal menghentikan langkahnya, berbalik badan dan menatapku dengan wajah memerah. Dia kemudian menghela napas lalu ekspresi wajahnya kembali normal. Walau sebenarnya dibanding normal, jauh lebih terkesan datar. "Ami suka dia?" todongnya dengan pertanyaan mematikan. Aku ternganga, kaget sekaligus shock. Entah kenapa aku seperti kepergok selingkuh dengan cowok lain. Hatiku mendadak jadi pahit, teringat rasa sakit saat aku dikhianati dulu. Aku nggak mau sampai kak Pascal ngerasain apa yang dulu aku rasain. Walau aku dan kak Galaksi nggak ada apa-apa, sepertinya kak Pascal salah paham. "Aku nggak selingkuh, Kak," kataku  yang terkesan seperti sedang melakukan pembelaan. Kak Pascal menaikkan satu alisnya. "Aku nggak bilang kamu selingkuh," katanya, masih dengan nada sedingin balok es. "Aku cuma jelasin, biar kakak nggak salah paham," sahutku, masih berupaya melakukan pembelaan. "Aku nggak salah paham, Valenci!" sanggahnya. "Lagipula, jika kamu suka dia, itu hakmu. Tapi maaf, aku nggak bisa memenuhi janjiku untuk membantumu jika cowok yang kamu suka dia!" jelas kak Pascal. Ada nada aneh di suaranya kali ini. Seperti nada nggak suka. "Kami nggak ada apa-apa, Kak." Aku masih berupaya menjelaskan. "Ada apa-apa juga nggak apa-apa," sahutnya, sedikit judes. Akhirnya, keluar juga. Emosi yang disembunyikannya dari tadi. "Tapi kami nggak ada apa-apa beneran, Kak," elakku, bersikukuh. "Aku lihat kalian bermesraan tadi, bahkan dia memegang pipimu, Valenci," tekannya dengan judes. "Dia yang pegang pipiku, aku sih nggak. Lagian itu bukan bermesraan, Kak!.Dia hanya nggak ada kerjaan ngelakuin itu," jelasku. "Dan kamu nggak ngehindar?" tanya kak Pascal dengan nada yang nggak terdengar bagus. "Hanya telat ngehindar, Kak. Kak Pascal lupa? Aku oon, loadingnya lama," sahutku tanpa tahu malu. Aku tahu, kak Pascal nggak akan semudah itu percaya dengan alasan ngawurku. Namun, aku masih ingin terus berupaya agar dia percaya bahwa aku nggak selingkuh. Itu faktanya dan dia harus percaya. "Septi bukan cinta pertamaku," katanya tiba-tiba. Aku menautkan alis. Kenapa tiba-tiba pembicaraan kami mengarah ke kak Septi? "Septi mantannya Milki, tapi Milki jarang ada waktu buat dia. Jadi, aku yang selalu diminta mengantar-jemput Septi. Sejak itu dia selalu aktif menghubungiku. Awalnya dia hanya sebatas nanyain Milki, lama-kelamaan mengarah pada sikap yang aneh. Dimana aku menyadari bahwa dia mulai menyimpang," jelas kak Pascal. Aku diam, mendengarkan dengan seksama cerita dari kak Pascal. "Sesuai dugaanku, tak lama kemudian Septi dan Milki putus. Lucunya, dia langsung bilang kalau dia mencintaiku. Aku nggak ngasih jawaban, malah terkesan nggak memperdulikan perasaannya. Dia pun marah dan mulai menyebarkan gosip bahwa aku naksir dan ngejar-ngejar dia," lanjutnya. Kak Pascal berhenti, menghela napas sejenak. "Gosip menjadi makin parah sehingga ngebuat cewek yang benar-benar menjadi cinta pertamaku percaya sama gosip murahan itu dan depresi. Sampai akhirnya dia pindah sekolah dan aku nggak tahu kabarnya lagi!" lanjut kak Pascal. Aku menatap kak Pascal lekat. Demikian juga dia. "Nama cewek yang menjadi cinta pertamaku adalah Indira Dwi Siswanto," Aku mengerutkan dahi. “Siswanto?” Kak Pascal mengangguk mengiyakan dugaan yang saat ini otakku pikirkan. "Ya, dia adalah adik dari Galaksi," Aku ternganga dengan kedua mata terbelalak nggak percaya. "Jadi, masih mau pacaran sama aku dan ngejauhin Galaksi? Atau kita putus dan kamu bisa bebas dengan Galaksi?" tanya kak Pascal kemudian. Pikiranku segera melayang ke udara. Dua pilihan yang ditawarkan kak Pascal saat ini, sama sekali nggak menyenangkan. Oh My God, What should I do?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN