BAB 10

2220 Kata
"Sebuah hubungan harus seperti campuran pasir dan semen, saling menguatkan. Bukan saling merapuhkan!" - Alamsyah Tomas Wijaya - Aku sedang memoles bedak di pipiku saat pintu kamarku diketuk. "Ya?" sahutku. "Lagi t*******g apa pake baju, Val?" tanya mas Atom dari balik pintu. "Setengah t*******g, Mas? Kenapa? Mau ngintip ya?" godaku. "Ish, sembarangan!" desisnya nggak terima. "Mas masuk ya?" izinnya. "Masuk aja!" suruhku. Pintu kamarku terbuka, aku sambut mas Atom dengan senyuman. "Bohong nih?" gerutunya saat melihatku duduk di depan meja riasku. Aku cekikikan. "Dih ngarep Valenci setengah t*******g ya, Mas? Ih m***m," ledekku. Mas Atom mencebikkan bibirnya. "Nggak selera ngeliatin tubuhmu, Val," sahutnya. Aku ketawa. "Kalau tubuh aduhai Heroine anime selera ya Mas?" godaku lagi. "Nggak tahu. Apa sih, nuduh-nuduh gitu," delik Mas Atom kesel. "Lagian, tumben amat izin dulu. Biasanya langsung masuk aja," kataku. "Biar sopan," sahutnya beralasan. "Ada apa, Mas?" tanyaku. Mas Atom nggak segera menjawab, duduk dulu di tepi kasurku. "Kamu sama Galaksi nggak musuhan kan?" tanyanya dengan wajah serius. Aku menautkan alis. "Nggak, kok. Ada apa, Mas?" tanyaku heran. Mas Atom hanya mendesah pelan. "Mas Atom musuhan sama kak Galaksi?" tanyaku. Mas Atom menggeleng. "Nggak, cuma cepat atau lambat, aku harus bilang sama kamu soal sesuatu,Val!" katanya. "Apa?" tanyaku penasaran. "Galaksi dan pacar barumu, si Pascal, mereka berdua nggak akur," jawabnya. Aku terkekeh pelan membuat mas Atom merasa heran. "Malah ketawa, beneran tauk," katanya rada sebal. "Telat, Mas. Tadi Valenci udah terjebak moment pertarungan mereka. Panas banget kayak ada di game pertarungan aja," curhatku. "Bukan kayak adegan film laga?" celoteh mas Atom. Aku tersenyum tipis. "Mirip sih," sahutku. "Trus gimana? Kamu nggak apa-apa kan?" tanya mas Atom khawatir. Aku mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Aman," jawabku membuat mas Atom menarik napas lega. "Bagaimanapun, Galaksi itu temenku sedangkan Pascal itu pacarmu, jadi aku nggak mau Valenci terjebak dalam permusuhan mereka berdua," kata mas Atom. Aku mengangguk kecil. "Tenang aja, Mas. Valenci nggak akan ikutan, netral," kataku meyakinkan. Mas Atom tersenyum senang. "Sip, good girl," puji kak Atom lalu berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. "Sebuah hubungan itu harus seperti campuran pasir dan semen, saling menguatkan, bukan saling merapuhkan. Jadi, aku mau Valenci bisa menguatkan Pascal agar seenggaknya berdamai dengan Galaksi. Kalau bisa, pengaruhi Galaksi juga biar bisa kuat menerima kenyataan bahwa apa yang terjadi, bukan salahnya Pascal. Jadi keduanya akur," nasehat Mas Atom panjang-lebar. Aku hanya mengangguk. "Valenci usahakan, Mas," janjiku. "Sip," sahutnya. "Mas kesini mau bilang gitu aja?" tanyaku. "Oh iya, sampai lupa. Pascal udah nunggu di ruang tamu tuh! Buruan dandannya," kata mas Atom kemudian mengacak-acak rambutku lembut. "Jangan digituin dong, Mas. Tambah lama ntar Valenci dandannya," protesku. Mas Atom hanya ketawa geli. "Sok amat, Val! Baru menetas juga," ledek mas Atom. "Emangnya aku telur Mas?" sergahku kesal. Mas Atom cekikikan. "Bercanda, jangan sensi, dong," sahutnya. "Mau malming ya? Hati-hati dan jangan kemaleman pulangnya," pesan mas Atom. "Siap, Mas!" Mas Atom tersenyum lalu berjalan keluar dari kamarku. Aku mengembuskan napas pelan, jadi teringat moment mendebarkan tadi siang si sekolah. "Jadi, masih mau pacaran sama aku dan ngejauhin Galaksi? Atau kita putus dan kamu bisa bebas dengan Galaksi?" tanya kak Pascal tadi siang. Aku yang sempat galau dan dilema, akhirnya memberikan jawaban bijak yang secara ajaib terpikirkan olehku. "Nggak bisa ya kak kalau Valenci tetep pacaran sama kak Pascal tetapi boleh temenan sama kak Galaksi?" tanyaku balik. Kak Pascal tampak kecewa. "Aku nggak tahu harus milih siapa. Bagiku kak Pascal sekarang adalah orang yang penting buat Valenci. Kak Galaksi juga, dia teman dari mas Atom. Mau nggak mau, Valenci akan ketemu dia! Lagian, masalah kak Pascal dan kak Galaksi, nggak ada hubungannya sama Valenci," jelasku. Kak Pascal terdiam, sepertinya sedang berusaha mencerna setiap kata yang aku katakan padanya. "Valenci belum suka siapa-siapa, Kak. Jadi, Valenci belum mau putus dari kakak. Kakak juga udah janji mau pacaran sampai sakit hati Valenci sembuh kan? Valenci belum sembuh kak, jangan kabur dong. Tanggungjawab," imbuhku yang entah kenapa terkesan sebagai cewek yang lagi merajuk hingga ngomel berkepanjangan. Kak Pascal menghela napas panjang. "Ya udah, maaf ya," katanya sambil memegang pucuk kepalaku. "Aku akan tanggungjawab, kok. Nggak akan kabur," janjinya kemudian. "Makasih, Kak," kataku sambil tersenyum senang karena kak Pascal mengerti. "Iya, sama-sama. Terimakasih sudah ngingetin kalau ini nggak ada hubungannya sama Valenci," sahutnya lalu membalas senyumanku. "Sama-sama, Kak." Kak Pascal menarik napas panjang lalu menarik tubuhku mendekat. Wajahnya dekat banget sampai aku bisa melihat jelas manik matanya yang hitam. "Hm," gumamnya sambil menatapku lekat-lekat. "Ngapain kak?" tanyaku heran. "Ngeliat wajah jelek Valenci sebelum lanjut bimbingan," jawabnya. "Heh?" Kak Pascal tersenyum kecil membuatku hanya mampu menahan napas dengan perlakuannya itu. Aku berharap kak Pascal nggak bisa mendengar detak jantungku yang begitu keras. "Pengisian daya energi udah selesai," katanya lalu menarik wajahnya yang awalnya dekat sekali ke wajahku menjauh. "Valenci jelek, hati-hati ke kelasnya!" "Hah?" "Aku lanjut bimbingan dulu, bye Ami," pamit kak Pascal sambil mengedipkan satu matanya di akhir kata lalu berjalan pergi. Aku yang melihat perubahan sikapnya yang bagai air itu, kadang tenang, kadang beriak dan menghancurkan, jadi mikir kalau kak Pascal itu tipe cowok yang bersikap dengan mood. Walau sebenarnya pembawaannya masih sama saja, kaku. Mengenalnya lebih jauh pasti akan membantuku untuk lebih memahami jalan pikirannya. Selesai memoles bibir dengan lipsgross, aku segara menyampirkan tas slempangku lalu keluar dari kamar untuk menemui kak Pascal yang sudah menungguku. Malam ini aku mengenakan celana jeans dengan kaos tanpa lengan yang dipadukan dengan jaket bahan levis yang panjangnya sepinggang. Untuk rambut, aku ikat satu dengan tali rambut yang memiliki hiasan bunga di bagian tengahnya. "Hai, Kak Pascal," sapaku saat melihat kak Pascal di ruang tamu. Kakak kelasku itu tersenyum. "Cantik," pujinya begitu melihatku. Aku merasakan pipiku memanas, entah warisan sifat dari siapa hingga dipuji begitu saja aku sudah baper. "Langsung berangkat nih? Kalau iya, aku izin dulu bawa kamu pergi, orang tuamu mana, Ami?" tanya kak Pascal kemudian. "Nggak usah pamit, Kak. Mama dan Papa lagi keluar, sedangkan mas Atom lagi belajar. Lagian tadi mas Atom udah pesen buat hati-hati dan pulangnya jangan kemalaman," jelasku. "Yaudah kalau gitu, Yuk!" ajak kak Pascal lalu berdiri dari duduknya. "Minumannya nggak dihabisin dulu, Kak?" tanyaku sambil menunjuk jus semangka yang ada di atas meja. Bi Inem, pembantuku pasti membuatkan minuman itu untuk kak Pascal. Di rumahku memang kebanyakan kalau ada tamu dibuatin jus, soalnya banyak yang bilang nggak bisa minum kopi atau nggak terbiasa ngeteh. Jadi, agar nggak mubazir, disuguhi jus saja. "Ah, sudah kok. Tinggal separuh aja tuh. Nanti kekenyangan kalau dihabisin," kata kak Pascal. "Yaudah, buat Valenci aja ya kak," pintaku. "Eh?" Aku mengambil jus semangka itu lalu meneguknya. "Ah, enak," gumamku setelah meneguk jus semangka itu sampai habis. "Ayo, Kak. Kita Berangkat," ajakku setelah meletakkan gelas yang kosong itu di meja. Kak Pascal hanya mengangguk. Entah apa komentarnya setelah melihat kelakuanku barusan. Yang jelas, aku nggak mau jaim atau gengsi, aku ingin jadi diriku sendiri. Lagipula, kak Pascal bilang, hubungan kami hanya sejenis terapi untuk menyembuhkan sakit hatiku. Jadi, aku nggak perlu menahan diriku untuknya. Lagipula, hubungan itu bukan soal bagaimana tampak sempurna bukan? Tapi, bagaimana hubungan yang terjalin, bisa saling menyempurnakan. Ea.. Serasa jadi penulis quotes aja aku. *** Tiba di tempat tujuan, Kak Pascal memarkirkan sepeda motornya sedangkan aku berdiri di sampingnya, menunggu kakak kelasku itu untuk bisa jalan berdampingan. Tiba-tiba Kak Pascal mendekat lalu mengulurkan tangannya. Aku menatap ragu ke tangannya. Bisa gawat kalau aku alergi bahkan sebelum kencan kami dimulai. "Tanganku bersih, kok," kata kak Pascal yang ngebuat aku langsung menyambut uluran tangannya. Aku nggak mau kak Pascal salah paham atau tersinggung. Soal alergi, biar jadi urusan nanti. Lebih baik mati daripada membuat orang lain sakit hati. Begitu prinsipku. "Ami keberatan untuk pegangan tangan?" tanya kak Pascal saat kami sudah jalan sambil gandengan tangan. Aku menggeleng. "Nggak kok, Kak! Cuma kaget aja kakak ngajak gandengan," sahutku berbohong. "Oh, kan pacaran, ya nggak apa-apa. Boleh kan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, boleh, Kak!" Aku pun menerima uluran tangan kak Pascal. Dengan bergandengan tangan, kamimemasuki sebuah kedai dan aku menelan ludah saat tahu bahwa ini adalah penjual mie Setan mulai dari original, level SD, SMP dan SMA. Mati beneran. Aku nggak bisa makan pedes. Kak Pascal membawaku duduk di sebuah kursi yang kosong. Dia menarikkan kursinya untukku sehingga aku seperti diperlakukan sebagai tuan putri. "Ami mau pesan apa?" tanyanya sambil menunjuk buku menu yang ada di dekatku. "Pilih sekarang, Kak? Nggak panggil pelayannya dulu?" tanyaku. Kak Pascal menggeleng. "Di sini pesanannya ditulis dulu, nanti antre di kasir sekalian bayar. Baru kemudian pesanannya di antar ke nomer meja pemesan," jelas kak Pascal. Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengerti. "Yaudah, Kak. Aku pilih dulu ya," kataku. Kak Pascal mengangguk. Aku membuka buku menu dan semua daftar makanannya pedas semua. Mie setan, ceker setan, kentang goreng setan dan lain-lain. Kenapa semuanya harus serba Setan? Pelanggannya perasaan manusia semua, atau jangan-jangan ada Setan juga? Oke. Itu pemikiran ngawur. Setelah berpikir cukup lama, aku menjatuhkan pesananku kepada mie setan sosis level SD, kentang goreng setan original dan jus jambu. Sedangkan kak Pascal lebih memilih mie setan level SMA dengan ceker setan dan jus semangka. Sepertinya, kak Pascal menyukai semangka. Sambil menunggu kak Pascal yang tengah mengantre, aku melirik kiri-kanan. Bukan berupaya mencari gebetan, tetapi bosan saja ditinggal sendiri. Aku perhatikan sekitarku, kebanyakan yang datang adalah para pasangan. Wajar saja, ini kan malam minggu. Aku menoleh ke deretan tempat duduk lesehan berbentuk gardu yang memiliki meja panjang, disana sepertinya khusus diperuntukkan bagi pengunjung yang datang secara berkelompok. Ada empat-lima tempat untuk itu. Di gardu kedua tampak banyak orang, menilai dari wajahnya, mereka rata-rata masih SMA, kemungkinan kelas 12. "Oh," seruku saat melihat seorang cowok yang sedang terkekeh dengan dua orang cewek yang duduk mengapitnya. Cowok itu tersenyum lebar, wajahnya jadi tampak cute. Aku mengenalnya. Ya, dia Kak Galaksi. Dunia terasa jadi sempit sekali. Deg! Aku nyaris melambaikan tangan seandainya mata kak Galaksi yang aku pikir melihat ke arahku segera berpaling ke arah lain. Sepertinya dia nggak tahu kalau kami berada di tempat yang sama. "Ami!" Teguran itu membuatku menoleh. Aku sambut kak Pascal yang sudah selesai memesan. Ada secarik kertas di genggaman tangannya. "Berapaan, Kak? Mahal ya?" tanyaku Kak Pascal menggeleng. Kakak kelasku itu duduk di kursinya setelah meremas kertas yang tadi dia pegang lalu memasukkannya ke kantong celananya. "Nggak boleh tahu ya, Kak?" tanyaku. Kak Pascal mengangguk. "Iya, ini urusan cowok! Ami nggak boleh tahu, masih terjangkau kok," sahutnya. "Jangan khawatir," kata kak Pascal menambahkan. Aku hanya mengangguk lalu kami mulai mengobrol. Awalnya terasa canggung tetapi lama-kelamaan kak Pascal mulai membuka dirinya. Dia memberikan beberapa lelucon dan juga cerita lucu yang membuatku tertawa. Aku suka sisi barunya yang humoris ini. Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Aku menyambut dengan hati berdebar makananku, was-was. Tapi, melihat binar cerah di mata kak Pascal, aku nggak mau menghancurkan kebahagiannya. Kak Pascal pun mulai menyeruput mie setannya dengan lahap. Sekali-kali dia berhenti lalu membantai ceker setannya. Dia tampak berada di dunia yang berbeda. Dia bahkan nggak sadar kalau aku hanya mengaduk mieku dan mengambil mie sedikit demi sedikit untuk aku biarkan kuahnya yang berwarna merah itu berkurang atau bahkan nggak ada sama sekali. Aku benci pedas. "Huh, huh, huh," seru kak Pascal lalu meminum jus semangkanya. Kak Pascal kembali, dia menatapku dengan bingung saat melihat mangkok mie setanku masih banyak tetapi aku sudah berkeringat penuh. "Ami, kok nggak dimakan?" tanyanya. "Ah, aku tunggu dingin dulu biar enak ngabisinnya," jawabku beralasan. "Oh gitu," katanya. "Aku izin ke kamar mandi dulu ya, tanganku belepota nih," katanya meminta izin sambil mengangkat tangannya yang kotor setelah makan ceker setan. Aku mengangguk. "Silahkan, Kak. Nggak usah buru-buru nggak apa-apa," kataku. Kak Pascal tersenyum. "Iya, nggak akan lama. Tinggal bentar ya, Cantik," katanya lalu pergi. Sepertinya kak Pascal salah paham. Padahal aku serius bilang begitu. Aku ingin membungkus mie setan ini. Rasanya aku sudah nggak sanggup untuk makan mie Setan ini lagi. Bagaimana ini? Pluk. Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan sebatang cokelat sudah melayang di udara. "Ow," kataku merasa takjub. "Kalau nggak suka pedes, bilang aja lagi! Nggak musim jaim dan berlagak sok tegar! Hubungan itu harus dijalin dengan saling pengertian!" katanya lalu berjongkok di dekat kursiku. "Mau aku bantuin? Mumpung aku lagi jadi bidadara," katanya nawarin bantuan. Aku mengangguk. "Baiklah, tolong awasi sekitar ya! Kalau Pascal datang, kodein," suruhnya. Aku mengangguk. Kak Galaksi, si bidadara itu pun mengambil mie setanku yang masih penuh lalu mulai menyeruputnya cepat. Dalam sekejap, mie setan satu mangkok itu habis. Kak Galaksi bahkan memasukkan beberapa kentang goreng setan ke mulutnya. Dia kunyah cepat lalu ditelan dengan bantuan jus jambuku. "Oke, kalau besok aku diare, tanggungjawab ya Valenci," katanya setelah menghabiskan mie setan dan tiga kentang goreng setan milikku. Aku mengangguk. "Iya, besok Valenci bawain obat atau oralit!" janjiku. Kak Galaksi terkekeh. "Ya sudah, selamat menikmati cokelatnya. Maaf ya, cokelat murah," katanya. Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, kok. Makasih, Kak," kataku tulus. Kak Galaksi berdiri. "Aku pergi dulu, takutnya Pascal datang," pamitnya Aku mengangguk. Kak Galaksi setengah berlari menuju tempatnya semula. Ternyata benar dugaanku, kalau kak Galaksi tadi melihatku dan dia tahu kalau aku datang bersama kak Pascal. Meski begitu, dia tetap datang. Betapa baiknya. Nggak musim jaim dan berlagak sok tegar! Hubungan itu harus dijalin dengan saling pengertian.Begitu kata kak Galaksi, sepertinya aku harus berani praktek nggak hanya teori saja. "Aw!" Aku melihat tanganku yang mulai menunjukkan bintik-bintik merah dan mulai terasa gatal. Gawat. Aku harap alergiku akan kambuh di rumah saja. Bertahanlah Valenci, kamu pasti bisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN