"Tahap kedua jatuh cinta setelah merasa terpikat adalah kasmaran. Dimana seseorang ingin lebih tahu tentang orang yang dia sukai dan ingin selalu di dekatnya. Tanda fase ini adalah dengan munculnya Euforia atau perasaan senang berlebihan."
- Pascal Ramadhan -
Aku mendengus lemah begitu kesadaranku kembali. Peristiwa kemarin malam, bukanlah mimpi. Buktinya, sekarang aku tengah berbaring di kasur rumah sakit. Sendirian, nggak ada yang nemenin.
Aku memejamkan mata, kayak mau nangis aja jika mengingat apa yang terjadi. Rasanya peristiwa semalam benar-benar membuatku menjadi cewek paling payah sedunia. Alergiku kambuh di saat yang nggak tepat. Aku masih belum bisa melupakan wajah panik Kak Pascal saat melihat wajah dan tanganku mendadak mengeluarkan bintik-bintik merah karena alergi.
Aku yang sudah mirip orang asma karena mendadak kehilangan keseimbangan dan juga kemampuan bernapas akhirnya dilarikan ke rumah sakit. s**l, dokter yang memeriksaku adalah dokter yang sama dengan yang memberikan vonis alergi kimia padaku beberapa bulan lalu. Kak Pascal sekarang pasti sudah tahu kelemahan terbesarku itu. Jika udah gitu, gimana bisa aku menghadapinya setelah ini?
"Udah sadar?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada mas Atom dan juga kak Galaksi yang datang menjengukku di rumah sakit. Aku terlalu asyik dengan pemikiranku sehingga nggak sadar mereka berdua masuk ke ruanganku.
"Hai, Valenci," sapa kak Galaksi ramah.
"Hai juga, Kak," sahutku membalas sapaan dari kak Galaksi.
"Udah baikan?" tanya kak Galaksi sambil tersenyum manis.
"Udah kok, Kak," jawabku sambil tersenyum pula.
"Wah, Valenci wajahnya jadi kemerahan ya," katanya.
Aku hanya tertunduk malu.
'Tapi entah kenapa tambah cantik," lanjut kak Galaksi yang membuat senyumanku makin melebar.
"Hem, hem, udah punya pacar dia," celetuk mas Atom yang membuatku segera melenyapkan senyuman dari bibirku.
"Apa sih Mas!" gerutuku.
Mas Atom hanya memanyunkan bibirnya.
"Sadar diri, Val! Pacarmu semaleman nggak pulang buat jagain kamu tahu," sergah mas Atom.
"Heh?"
Aku menoleh ke segala penjuru ruangan buat nyari kak Pascal tetapi nggak ada siapa-siapa selain kak Galaksi dan mas Atom.
"Mana kak Pascal?" tanyaku heran.
"Dia baru balik. kasihan lelah banget jagain kamu semalaman," jawab mas Atom.
"Papa dan Mama kemana?" tanyaku.
"Belum balik. Ada urusan kerjaan," jawab mas Atom.
Aku menghela napas berat, agak kecewa tapi memang kedua orang tuaku sibuk.
"Mereka lagi perjalanan pulang, kok. Tiap orang tua pasti khawatir kalau anaknya sakit. Mereka nggak di sini saat kamu bangun, bukan nggak peduli, tapi emang timingnya nggak tepat. Pas kamu sakit, Mama dan Papa udah berangkat dinas," jelas mas Atom.
Masku yang tumben banget bijak itu mengelus lembut puncak kepalaku.
"Trus, Mas kemana? Kok nggak jagain aku?" tanyaku.
Mas Atom nyengir.
"Ya, siapa sih yang kuat jagain kamu Val! Kamu kan gitu," kata mas Atom sambil menarik tangannya dari kepalaku.
"Gitu gimana?" tanya kak Galaksi kepo.
"Iya, gitu!" sahut mas Atom.
"Maksudnya gimana, Tom?" tanya kak Galaksi penasaran.
"Valenci itu-."
"Aih! Nggak usah dikasih tahu, Mas," potongku cepat.
Mas Atom menarik ujung bibirnya, tersenyum culas.
"Kenapa? Malu ya?" goda mas Atom.
"Aih, pokoknya nggak boleh bongkar aib. Kalau nggak, Valenci kasih tahu Mama soal rahasia Mas," ancamku.
Mas Atom menaikkan satu alisnya.
"Rahasiaku? Emang kamu tahu apa soal rahasiaku?" tantang mas Atom.
"Local disk C, programs, windows players, new folder, xxx, hp," kataku.
Mas Atom melebarkan pupil matanya.Shock.
"Anjir, Valenci. Ngapain diliat? Nggak sopan amat ngeledah laptop mas tanpa izin," teriak mas Atom panik.
Aku hanya cengengesan.
"Nggak lihat, kok! Tapi nggak sengaja nemu pas liat playlist terakhir Mas di gom player," jelasku.
"Lagian ya, kan Mas sendiri yang minjemin laptop Mas pas Valenci minta ketikin makalah, berarti Valenci pakenya atas izin dari Mas, dong,"
Mas Atom menutup mukanya dengan kedua tangan. Malu. Aku yakin setelah ini dia akan menyepi atau bahkan mengasingkan diri ke pulau terpencil.
"Apa sih? Kalian ngomong apaan?" tanya kak Galaksi.
"Ah, lupain aja, Kak,” kataku.
"Kak Galaksi kok kesini?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Ikut Atom pas dia cerita kamu masuk rumah sakit," jawab kak Galaksi.
"Padahal aku suruh jaga-jaga takut hari ini aku sakit perut karena makan mie setan, eh malah kamu yang sakit," kata kak Galaksi setengah menyindir.
Aku hanya garuk-garuk kepala.
"Maaf, Kak," kataku ngerasa nggak enak.
"Nggak apa-apa lagi," sahutnya.
"Buat cewek cantik, stok maafku banyak," imbuhnya yang ngebuat aku senyum-senyum sendiri lagi.
"Huk, huk.” Mas Atom tiba-tiba batuk.
"Inget pacar, hem," imbuh mas Atom yang sudah mirip kayak alarm pengingat aja.
"Ingat kok Mas," sahutku.
"Lagian aku dan kak Galaksi nggak ada apa-apa, ya kan Kak?" tanyaku sambil menoleh ke kak Galaksi.
Kak Galaksi mengangguk kecil.
"Iya," jawabnya. "Buat sekarang, nggak tahu nanti."
"Kakak!" jeritku.
Kak Galaksi terkekeh pelan.
"Jangan macem-macem, Ga. Kamu nggak mau punya urusan sama dia lagi kan?" kata mas Atom yang mendadak nada suaranya menjadi serius.
Kak Galaksi hanya meringis pelan.
"Jangan baper," kata kak Galaksi. "Aku juga nggak berencana buat punya urusan sama dia lagi!"
"Bagus," sahut mas Atom.
"Kali ini, aku nggak akan belain kamu seperti waktu itu! Kamu tahu itu kan?" tanya mas Atom dengan tatapan mata tajam bak pisau belati.
Kak Galaksi mendesah kasar.
"Aku tahu," sahut kak Galaksi.
"Jangan khawatir!"
"Oke, aku pegang kata-katamu!"
Aku hanya diam mendengarkan percakapan antara mas Atom dab kak Galaksi. Entah kenapa atmosfer di ruanganku mendadak jadi panas banget.
"Soal administrasi gimana, Mas? Kapan Valenci bisa pulang?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Mas Atom beralih padaku.
"Besok, kamu harus istirahat di sini dulu sampai dokter bilang keadaanmu sudah membaik," jawab mas Atom.
"Tapi Valenci sudah ngerasa baikan, Mas," sanggahku. “Kenapa kita nggak pulang sekarang aja?”
"Itu menurutmu saja. Kalau kita pulang trus alergimu kumat lagi, Mas bisa kena marah Mama dan Papa. Jadi, kamu di sini saja sekarang. Besok baru pulang," putus mas Atom.
"Oh ya, aku udah bawain baju ganti dan beberapa barangmu," kata mas Atom sambil menunjuk ke tas yang dia letakkan di atas meja dekat kasurku.
Aku menoleh menatap tas itu. Sepertinya ada banyak barang di sana.
Emang barangku apa saja yang mas Atom bawa?
"Di dalamnya ada baju ganti, charger handphone, sikat dan pasta gigi, alat make up, celana da-."
"Stop!" potongku cepat.
"Nggak usah disebutin kali, Mas,” protesku.
Mas Atom hanya tersenyum jail.
"Malu ya? Padahal dulu suka ngerajuk minta mandi bareng," gurau mas Atom.
"Aih, itu kan dulu," sergahku kesal.
Mas Atom ketawa.
"Iya, masa-masa dimana Valenci masih polos dan ngikutin aku kemana-mana kayak anak bebek. Nggak nyangka udah sebesar ini sekarang," kata mas Atom rada alay.
"Ish, apa sih! Udah kayak Mas udah tua banget ngomongnya," gerutuku.
"Nggak ya! Masmu ini awet muda, dari segi manapun nggak kelihatan tua! Lagian ya, mas ini dewasa bukan tua," sanggah mas Atom.
"Apaan! Nggak ngaca Mas itu udah punya keriput di matanya? Atau lupa apa Valenci nemu uban di kepala Mas?" balasku.
"Ish, punya uban dua-tiga helai itu wajar tahu! Itu artinya Masmu ini mikir, emang dipikir kamu tuh nggak pernah mikir.” Mas Atom nggak mau ngalah.
"Aih, dasar Mas jelek!"
"Lebih jelek kamu!"
"Mas!"
"Valenci!"
"Masss!!!"
"Valenci, Valenci!!"
"Haha."
Suara tawa yang terdengar tulus dari dalam hati itu membuatku dan mas Atom menoleh. Kami mendapati kak Galaksi yang ketawa sampai air matanya turun.
"Kalian akrab banget ya," katanya.
"Aku jadi teringat adikku," imbuhnya pelan.
Mas Atom dan aku hanya diam. Rasanya, tawa tulus itu menyiratkan sebuah kesedihan yang nggak bisa disembunyikan.
Kak, jangan sedih. Valenci nggak suka lihat muka murung, Kakak.
***
Aku lagi sendirian saat kak Pascal datang. Pacarku itu memberikan senyuman tulus begitu aku melihatnya. Di tangannya juga ada bungkusan plastik yang entah apa isinya.
Kak Pascal meletakkan bungkusan itu di atas meja lalu duduk di kursi yang ada di dekat ranjangku.
"Gimana keadaanmu, Ami?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum, menatapnya yang baru mandi jika dilihat dari auranya yang masih segar, membuatku merasa sembuh mendadak. Walau sebenarnya, dialah penyebab mengapa alergiku bisa kumat. Aku melihat penampilan kak Pascal yang hari ini makin terlihat ganteng.
"Keren," gumamku tanpa sadar.
Kak Pascal tergelak pelan.
"Ami? Hei, kamu dengar aku?" tanyanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
"Denger kok, Kak! Valenci udah nggak apa-apa," jawabku.
Kak Pascal menghela napas lega.
"Syukurlah," katanya.
Kak Pascal mengulurkan tangannya, hendak memeriksa suhu tubuhku sepertinya. Aku dengan senang hati memajukan tubuhku.
"Coba aku-."
Kak Pascal segera menarik diri. Dia berdiri menjauh bahkan mundur beberapa langkah.
"Maaf," ujarnya dengan menundukkan kepala.
"Aku nggak tahu, kalau aku penyebab kamu alergi," imbuhnya.
Entah kenapa hatiku sakit melihat wajahnya sedih, seolah aku nggak mau dia menjauh dariku hanya karena penyakit menyebalkan yang aku miliki.
"Kak," panggilku.
"Ya?" sahutnya.
"Lihat aku!" pintaku.
Kak Pascal mengangkat kepalanya yang tertunduk sedikit demi sedikit.
"Kemarilah!" pintaku menyuruhnya mendekat.
"Tapi,"
Kak Pascal terlihat ragu.
"Sini, kak! Sini!" rengekku.
Kak Pascal terlihat kaget saat aku bertingkah sok imut tapi dia menurut.
Saat dia sudah duduk lagi di kursi, aku ulurkan tanganku untuk menyentuh lengan baju sweaternya yang digulung. Sweater kak Pascal hari ini sangat panjang sehingga lengannya berlebih. Bahan kainnya juga elastis sehingga bisa ditarik.
Aku menarik ujung lengan sweater kak Pascal hingga menutupi telapak tangan dan jari-jarinya. Lantas, aku suruh pacarku itu mendekat dan duduk di tepi kasurku.
"Kalau kayak gini, Valenci nggak akan kenapa-napa, kok," kataku sambil memegang tangannya yang kini ada lengan sweater yang memisahkan kulit kami.
Kak Pascal tersenyum senang.
"Aku ingin tahu suhu tubuhmu, bukan memegang tanganmu, Ami," katanya.
Tanpa sadar, aku memajukan tubuhku dan memeluknya. Dia sempat kaget dan ingin melepaskan diri dariku tetapi aku lebih dulu melingkarkan tanganku di tubuhnya. Aku nggak menyentuh kulitnya. Jadi, aku rasa pelukan ini nggak akan jadi masalah.
"Gimana? Sudah tahu suhu tubuhku belum Kak?" tanyaku setengah menggodanya.
Kak Pascal diam, nggak membalas pelukanku. Sepertinya, dia masih ragu untuk melakukan apapun. Entah karena dia memang nggak mau atau masih merasa bersalah atas apa yang terjadi padaku semalam. Terlepas apapun alasannya, aku nggak mau kak Pascal ngerasa bersalah atau ngejauh dariku. Aku nggak mau.
"Kakak nggak mau meluk aku balik?" tanyaku.
"Boleh?"
"Tentu."
Kak Pascal membalas pelukanku. Kami jadi berpelukan, udah mirip Teletubbies aja.
"Kenapa nggak bilang?" tanya kak Pascal.
"Tentang? Alergi Kimia?"
"Bukan. Nggak bisa makan pedes,"
"Ketahuan?" tanyaku kaget kak Pascal tahu.
"Jelas banget," jawabnya.
"Terlebih saat Galaksi datang dan membantumu, rasanya pengen aku timpuk pake batu," cerocosnya dengan nada kesal.
"Kakak cemburu?" tanyaku yang nyaris nggak bisa menyembunyikan rasa senang di nada suaraku.
"Jadi gini rasanya cemburu?" tanya kak Pascal balik.
"Huum," sahutku.
"Cokelat darinya aku buang. Nanti aku beliin lagi," ucapnya kemudian yang membuatku nggak bisa menahan tawa.
"Maafin aku Kak," kataku sambil mempererat pelukanku.
"Buat apa?" tanyanya heran.
"Udah ngerahasiain soal nggak bisa makan pedes dari kak Pascal," jawabku.
Kak Pascal membelai lembut rambutku.
"Jangan diulangi, kalau ada apa-apa, bilang sama aku. Aku pacarmu sekarang. Aku akan jagain kamu," katanya lembut.
Aku mengangguk.
“Lagian, dulu aku pernah kode kalau nggak bisa makan pedes, Kak,” kataku.
“Kapan?”
“Saat kita makan bakso dengan Sota dan Anggor waktu itu,” jawabku.
“Lupa,” ujar kak Pascal.
Ada jeda cukup panjang di antara kami.
“Maaf,” ucap kak Pascal merasa bersalah.
“Nggak apa-apa, Kak.”
“Makasih.”
“Iya.”
Hening lagi. hanya debaran jantung yang menemani.
"Kak," panggilku.
"Ya?"
"Kalau Valenci suka kakak gimana?" tanyaku.
Tiba-tiba kak Pascal tertawa kecil.
"Ya..." katanya dengan nada menggantung.
"Valenci punya banyak waktu untuk ngebuat aku suka sama Valenci juga," godanya.
Aku pukul ringan punggungnya.
"Ih, kakak gitu, jual mahal," kataku lalu melepas pelukanku darinya.
"Apa yang salah dengan jual mahal? Sah-sah aja kan?" tanya kak Pascal dengan memasang wajah polos. Entah kenapa ngebuat aku sebal.
"Tauk ah!"
Kak Pascal tertawa.
"Maaf, maaf, jangan marah!" katanya lalu menepuk ringan pucuk kepalaku.
Aku tatap dia, rasanya jantungku jadi berdebar-debar. Di mataku sekarang, kak Pascal mirip pangeran di anime yang mengeluarkan cahaya bling-bling dengan ketampanan yang luar biasa. Sepertinya aku harus berhenti nonton anime karena mendadak aku mulai berpikir kalau kak Pascal lebih ganteng dibanding mereka semua.
"Kenapa? Aku kan nggak nyentuh kulitmu, Ami?" tanya kak Pascal heran.
"Eh?"
"Wajahmu merah semua nih," kata kak Pascal tampak cemas.
"Ah, nggak! Ini bukan alergi," sanggahku lalu memalingkan wajahku ke kiri. Aku bahkan menutup muka dengan kedua tangan.
Bagaimana bisa aku merona di depannya? Memalukan banget.
"Ada apa? Perlu aku panggilan dokter?" tanya kak Pascal cemas.
"Nggak usah, Kak," jawabku cemas.
Aku memegang lengan kak Pascal yang nyaris berdiri dan lari keluar untuk memanggilkan aku dokter.
"Aku nggak apa-apa. Ini merah karena aku tersipu malu," jelasku malu-malu.
Kak Pascal tersenyum geli lalu melihatku dengan intens. Aku melepas genggaman tanganku di lengan kak Pascal.
"Ami," panggilnya lembut.
"Ya?"
"Tahap kedua jatuh cinta setelah merasa terpikat adalah kasmaran. Dimana kamu akan lebih ingin tahu tentang dirinya dan merasa ingin selalu berada di dekatnya. Tanda fase ini adalah dengan munculnya Euforia atau perasaan senang berlebihan. Hal ini dipicu karena tubuh memproduksi hormon Dopamin, Adrenalin dan Norepinefrin bersamaan," jelasnya.
Aku menaikkan satu alisku.
Mengapa kak Pascal membahas itu sekarang?
"Apa kamu ngerasa gitu?" tanyanya.
Aku hanya diam, menikmati debaran jantungku yang kini bisa aku dengar dengan jelas. Aku harap kak Pascal nggak mendengar debaran jantungku yang berlebihan ini.
"Ami!"
Kak Pascal menyentuh pundakku pelan membuatku mendongakkan kepala sedikit hingga kini kami bertatapan dalam jarak dekat. Mata kami selaras dan dalam jarak sedekat ini bisa aku lihat betapa panjangnya bulu mata kak Pascal.
Aku melirik bibir indahnya, entah kenapa di mataku bibir itu seolah bergerak. Gerakannya menggoda dan sungguh seksi tanpa perlu diterjemahkan. Aku rasa ada banyak jutaan kupu-kupu yang kini terbang di sekitarku. Kupu-kupu yang membisikkan sesuatu yang membuatku kacau. Aku ingin tahu seberapa lembut bibir seksi itu.
"Ami."
Bibir itu semakin seksi saat memanggil namaku. Aku mendekat, sedikit demi sedikit, aku menginginkannya.Aku menginginkannya!!!
Tut.....
Eh?
Suara indah yang dihasilkan dari organ pencernaan itu berhasil lolos. Aku yang nyaris terhipnotis kupu-kupu segera menganga dengan mata melotot. Aku menelan ludah saat melihat kak Pascal yang hanya mengerjapkan mata berulang kali.
"Anu, kak, itu."
"Flatus,"
"Heh?"
"Nama Kimia dari kentut," jawabnya.
"Ami, aku keluar dulu ya! Kamu istirahat, deh," ucapnya lalu keluar dari ruangan secepat kilat.
Brak.
Pintu ditutup. Aku segera berguling-guling di kasur.
Ya Tuhan.. Bodo amat nama kimianya apa. Malu banget sumpah. Hiks.