BAB 12

2250 Kata
"Seperti bunyi hukum kekekalan energi, cinta nggak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Akan tetapi, bisa diubah menjadi bentuk lain." - Alamsyah Tomas Wijaya - Hari ini aku dijadwalkan pulang dari rumah sakit sekitar jam sepuluh pagi. Keadaanku sudah membaik sehingga diperbolehkan pulang. Walau begitu, rasanya aku nggak mau pulang saja. Kejadian kemarin membuatku ingin lenyap saja dari peredaran dunia. Aku sudah melakukan kesalahan fatal di moment yang seharusnya so sweet. Kak Pascal memang nggak mengatakan apa-apa. Dia juga bersikap biasa setelah sempat keluar dari ruangan. Dia nggak menyinggung soal itu. Pun ketika dia pamit pulang karena mas Atom sudah kembali, dia tetap memberikan senyuman yang manis. Dia biasa saja. Tapi, entah kenapa aku tetap merasa kurang nyaman dengan kejadian memalukan itu. Hatiku gatal sampai rasanya mau meledak. "Val," Panggilan itu membuatku menoleh menatap Mas Atom yang rupanya sudah selesai membereskan barang bawaan kami agar nggak ada yang tertinggal. Dia bahkan sengaja nggak masuk sekolah demi menemaniku meski mama yang akan menjemputku. Katanya, pelajaran hari ini membosankan sehingga nggak perlu datang. Tingkahnya yang sok cool itu terkadang membuatku sebal. "Mama mana, Mas?" tanyaku. "Lagi ngurus kepulanganmu," jawab mas Atom. "Kita pulang naik apa?" tanyaku lagi. "Naik mobil Mama-lah," jawab Mas Atom. "Mobil keluarga yang bentuknya persegi itu?" tebakku. Mas Atom terkekeh. "Iyalah, kamu mau pulang naik apa? Sedan? Limusin?" sergah mas Atom. Aku hanya mengerucutkan bibir. "Ya nggak gitu juga," sanggahku. "Mama mau ngejemput aja udah syukur. Kamu tahu kan sibuknya Mama?" Aku mengangguk. Mas Atom mendekat lalu mengelus lembut puncak kepalaku. "Kita harus bersyukur, Valenci," katanya. Aku mengangguk sekali lagi. Orang tuaku bisa dibilang memiliki finansial yang stabil. Walau papaku hanya sekadar guru matematika di SMP, mama bisa dibilang keturunan konglomerat. Uang orang tuanya banyak, terlebih saat kakek meninggal dunia dan mewariskan seluruh hartanya pada mama yang merupakan anak tunggal. Mama yang awalnya ibu rumah tangga mendadak jadi pemimpin perusahaan. Keluargaku pun juga mendadak jadi keluarga kaya. Kami yang awalnya kalangan menegah naik pangkat dengan hidup di rumah besar, fasilitas lengkap serta hidup terjamin dan serba berkecukupan. Namun, aku dan mas Atom mulai kehilangan sosok orang tua kami. Waktu mereka menipis, bahkan jika diibaratkan tabung oksigen, sudah merah dan nyaris habis. Hidup kami yang nyaman saat ini, harus dibayar dengan harga tinggi, melebihi kenyamanan hidup kami sekarang. "Kok cemberut sih?" tanya Mas Atom. Aku hanya mengembuskan napas kasar. "Pascal sekolah, jadi nggak bisa nemenin," kata Mas Atom. "Apa sih Mas, nggak ada hubungannya sama kak Pascal, kok," sanggahku. Mas Atom tergelak. "Hm," gumamnya. "Kalau bukan Pascal, siapa lagi? Galaksi?" Aku menatap Mas Atom sebal sementara masku itu tersenyum jail. "Nggak usah melotot, nanti pupilnya keluar kan serem," ledek mas Atom. "Ih, Mas apaan sih! Nyebelin!" dengusku. Mas Atom terkekeh. "Oh iya," seru mas Atom tiba-tiba, sepertinya dia baru mengingat sesuatu yang penting. "Kenapa Mas?" tanyaku. "Ada seorang cowok yang kemarin mau jenguk kamu, Val! Tapi aku suruh masuk dia nggak mau," jawab Mas Atom. "Siapa Mas?" tanyaku penasaran. Mas Atom meletakkan satu jarinya di dagunya dengan satu alis yang terangkat. Sepertinya mas-ku itu sedang mencoba mengingat-ngingat. "Entah ya, tapi aku merasa familiar sama dia," ucap Mas Atom beberapa saat kemudian. Sepertinya dia gagal mengingat nama dari cowok yang mau datang menjengukku. "Bukan Anggor?" tebakku. "Anggor?" ulang Mas Atom. "Iya, pacarnya Sota," sahutku. "Oh, bukan dia kok," bantah Mas Atom dengan yakin. "Trus sapa?" tanyaku. Mas Atom berpikir lagi, kali ini lebih keras. Terlihat dari bagaimana dahinya berkerut dan membentuk lipatan. "Oh, mantanmu dulu," serunya antusias setelah berhasil mengingat siapa cowok yang berniat ngejenguk aku kemarin. "Hah? Si Pluto? Kenapa nggak diusir aja sih?" dengusku kesal. Mas Atom terkekeh pelan. "Jangan gitu dong sama mantan, gimanapun dulu kamu suka sama dia," nasehat Mas Atom. "Nyesel amat suka sama cowok kayak gitu," geramku penuh kebencian. Mas Atom menjitak ringan kepalaku. "Aw, Mas kok kepala Valenci dijitak sih?" protesku. "Seperti bunyi hukum kekekalan energi, cinta itu nggak bisa diciptakan atau dimusnahkan, Val! tapi bisa berubah ke bentuk lain. Misalkan rasa cintamu yang kini jadi benci. Saran mas sih, lebih baik kamu maafin dia. Anggap saja dia orang asing, persis sebelum kamu kenal dia dulu. Dengan begitu, hatimu akan biasa saja setiap mengingatnya. Kalau kamu terusan benci, artinya kamu masih ada perasaan, Val. Hidupmu nggak akan tenang jika begitu," kata Mas Atom ceramah panjang banget. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan-lahan. "Valenci coba, Mas," sahutku yang ngebuat mas Atom tersenyum senang. "Nah, gitu dong! Kalau gitu, Valenci jadi cantik banget," pujinya sambil mencubit gemas pipiku. "Aih, sakit Mas," protesku. "Nggak sesakit diselingkuhi, ya nggak?" goda Mas Atom. Aku berdecak pelan. Pengennya ngelawan tetapi Mama keburu datang. Setelah memastikan nggak ada barang yang tertinggal, kami bertiga pun pulang ke rumah. Sampai di rumah, mama nggak turun. Hanya mas Atom yang membawaku masuk ke dalam. Mama ada meeting, begitu katanya. "Nggak apa-apa," kata Mas Atom yang melihatku kecewa. "Setidaknya, Valenci diantar sampai depan rumah, nggak diturunin di jalan! Ya nggak?" gurau Mas Atom mencoba menghiburku. Aku mengangguk mengiyakan. "Kalau Valenci diturunin, Mas juga dong! Kan kita sepaket," ujarku. Mas Atom nyengir. "Nggak ya, kan aku kesayangan Mama," bantahnya. "Aih, nyebelin amat sih! Nggak setia saudara," dengusku. Mas Atom ketawa. "Ngapain setia sama kamu Val? Kalau kamu dicoret dari daftar keluarga, warisannya buat aku semua," sanggah Mas Atom. "Aih, Mas nyebelin amat sih!" Mas Atom ketawa lagi. "Meski nyebelin, setidaknya Masmu ini ganteng. Bener nggak?" tanya Mas Atom sambil menaik-turunkan alisnya. "Salah," jawabku. "Heh? Kok gitu?" tanya Mas Atom penasaran. "Soalnya, yang bener hanya wanita," jawabku lalu ketawa. Mas Atom mendengus kasar, kesel. Aku yang melihatnya kesal tersenyum bahagia. Masku yang payah itu pun mengantarku ke kamar. Setelah meletakkan tas dan menyuruhku istirhat, mas Atom berjalan menuju pintu, mau keluar dari kamarku. "Kalau butuh apa-apa, ambil sendiri! Mas ngantuk, mau tidur!" pesannya lalu menutup pintu kamarku dengan kasar. Bener-bener deh Mas yang nggak perhatian. Kalau ambil sendiri, ngapain dia nggak sekolah? Nyebelin. *** Entah jam berapa aku terbangun dengan baju yang basah karena keringat. Sepertinya aku tertidur lama setelah makan dan minum obat dari dokter. Aku menyeka keringat di kening dan leherku, entah kenapa panas banget. Aku menoleh pada AC di kamarku, nggak menyala. Pantesan panas banget. Aku turun dari kasur, keluar kamar dan menuju kamar mas Atom. Pintunya ditutup dan ada tulisan, "lagi war, nggak bisa diganggu!". Aku mendesis pelan lalu menuju dapur, hendak minum. Mas Atom, selain drama Korea, suka banget sama game. Kalau sudah 'war' sampai lupa waktu. Anehnya, dia nggak oon. Belajar atau nggak belajar, dia selalu mendapat nilai tinggi di pelajaran. Aku heran kenapa aku nggak bisa sepintar dia? Padahal kami makan makanan dan tinggal di rumah yang sama. Apa yang salah sama otakku? Haruskah aku ngelakuin pemeriksaan MRI? "Non, Non Valenci!" Panggilan dari Bi Inem itu membuatku segera menuju ruang tamu. "Ada apa, Bi?" tanyaku. "Ada yang nyari Non di depan," jawab Bi Inem. "Oke, makasih Bi," sahutku lalu segera menuju ke depan. Bi Inem mengangguk lalu kembali melakukan pekerjaannya. Aku menuju ke ruang tamu, penasaran siapa yang datang siang bolong begini. "Siang, Ami." Aku tersenyum saat melihat kak Pascal sudah berdiri di teras rumahku. "Aku bawa makanan," katanya sambil mengangkat kantong plastik yang dia jinjing di tangan kanan. Aku yang entah kenapa bahagia segera berlari kecil dan meloncat ke dalam dekapan kak Pascal. Kak Pascal yang sedikit kaget dengan reaksi berlebihanku itu segera menghindar dan membuatku nyaris jatuh seandainya kak Pascal nggak megangin bajuku dari belakang. Aku yang udah mirip menara Pisa di Itali kembali lurus setelah ditarik kak Pascal. Aku yang sekali lagi, mempermalukan diriku hanya bisa nyengir kaku. "Maaf, Kak," ucapku. Kak Pascal tergelak pelan. "Lain kali bilang, dong! Kalau tiba-tiba nyamber kayak kucing mau nerkam tikus begitu, nggak akan aku tangkap," katanya. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang mendadak gatal. Oh, aku lupa. Aku sudah tiga hari nggak keramas. "Aku nggak disuruh masuk nih?" sindir kak Pascal. "Oh iya, masuk kak," kataku mempersilahkan kak Pascal masuk. Kami pun duduk di ruang tamu dengan kak Pascal di ujung sana dan aku di ujung sini. Nggak berani dekat-dekat karena aku baru menyadari bahwa aku nggak hanya belum keramas, tapi juga belum mandi selama dua hari. Pasti bau banget ini badan. Kulitku juga sudah terasa lengket. "Jauh amat duduknya, Val," protes kak Pascal. Aku nyengir aja. Nggak mau ngomong kalau alasan aku ngejauh karena belum mandi. Untung aja tadi pas aku ngeloncat nggak ditangkap. "Valenci belum mandi?" Njir, sekali-kali sok oon napa, Kak! Aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Malu. "Nggak apa-apa lagi," katanya. "Yang kemarin aja aku biasa aja," Please, Kak! Amnesia aja napa. "Aku bawain buryam. Ami udah makan?" tanyanya. Aku menurunkan tanganku pelan-pelan lalu menggeleng. "Belum," jawabku. Kak Pascal tersenyum senang. "Bagus, deh. Makan nih," suruhnya. Aku sumringah lalu segera mengambil bubur ayam yang kak Pascal beli dari atas meja. Aku segera duduk di lantai dan membuka bubur ayam itu dan memakannya dengan lahap. "Enyaaak," seruku penuh kenikmatan. Buburnya enak, ayamnya enak, lembut dan meleleh di mulut. Aku pun melahapnya sampai habis, bersih dan bahkan kotak bubur ayamnya nggak usah dicuci saking bersihnya karena aku jilat-jilat.Aku pun bersendawa penuh kenikmatan. "Ah, kenyang," kataku setelah menyeka mulutku. Aku mendadak beku, otakku beneran geser. Lupa kalau ada kak Pascal. "Wah, Ami makannya lahap amat! Seneng liatnya!" katanya dengan senyuman yang semakin ngebuat aku pengen nangis darah. "Oh," pekiknya tiba-tiba. "Kenapa, Kak?" tanyaku. "Bibirnya belepotan," jawab kak Pascal sambil menunjuk sudut bibirnya. Aku pun menyeka bibirku sesuai dengan petunjuk dari kak Pascal. "Bukan disana, tapi di sini," sanggah kak Pascal. Aku pun menggeser tanganku untuk menghilangkan bekas bubur ayam di bibirku. Kak Pascal menghela napas lalu memintaku mendekat dengan isyarat tangan. Aku pun pindah tempat duduk ke dekat kak Pascal. "Di si-." Kak Pascal menarik tangannya yang nyaris menyentuh kulitku. Sebagai gantinya, kakak kelasku itu mengambil tisu yang memang tersedia di atas meja lalu menyeka noda bubur ayamku. "Udah," katanya sambil senyum. Aku membalas senyuman kak Pascal. "Makasih, Kak," Kak Pascal mengangguk. "Sama-sama." "Aku juga minta maaf," ucapku. "Kenapa?" "Karena kak Pascal jadi sungkan menyentuhku karena aku alergi," jawabku. "Nggak apa-apa," katanya. Aku menghela napas berat. Rasanya memiliki alergi nggak masuk akal begini membuatku meradang. Aku jadi nggak bisa deket-deket orang yang aku sayang. Eh? Sayang? Apa itu artinya aku suka sama Kak Pascal? "Ami, Ami!" Panggilan dari kak Pascal membuatku tersadar dari lamunanku. "Ya Kak?" "Aku harus pergi," katanya. "Kenapa?" tanyaku rada nggak ikhlas kak Pascal pulang. "Aku ada binjar sore," jawabnya. Aku melirik jam dindingku. "Masih jam dua lewat, Kak," "Iya, tapi kan harus pulang dulu. Aku bahkan masih pake seragam," katanya sambil menunjuk ke seragam putih abu-abunya. "Nggak minum dulu, Kak?" tanyaku mencoba mengulur kepulangan kak Pascal. "Nggak usah, makasih," tolak kak Pascal. "Kalau ngemil? Makan cemilan ya?" tawarku lagi. "Nggak usah, Ami. Aku makan di rumah aja," tolak kak Pascal lagi. "Makanan di sini enak, kok," kataku bersikukuh. "Nggak usah ya," kata kak Pascal mencoba sabar. "Tapi Kak, aku-." "Ami, aku harus pulang," katanya memotong ucapanku. Aku menatap kak Pascal iba, berharap kak Pascal akan luluh dan batal pulang. Namun, sialnya malah aku yang luluh. "Maaf ya, aku harus pulang," Aku mengembuskan napas berat. Nggak kuat melihat mukanya yang memelas tapi malah terlihat cute banget. "Ya udah, oke," kataku terpaksa merelakan. Kak Pascal tersenyum tipis. "Makasih ya," Aku mengangguk, enggan menjawab. "Besok masuk sekolah nggak?" tanya kak Pascal. Aku mengangguk. “Masuk, Kak,” "Mau bareng nggak?" Aku menggeleng. "Nggak bisa, Kak," "Kenapa? Nggak mau aku jemput nih?" tanya kak Pascal heran. "Bukan gitu,” sanggahku. “Aku udah janjian sama Sota duluan, Kak.” "Oh, ya udah salam buat Sota ya, hati-hati bawa pacarku yang cantik ini!" katanya. Aku bersemu merah. "Aku cantik, Kak?" tanyaku. Kak Pascal mengangguk. "Iya, dong! Cantik banget," pujinya. Aku senyum-senyum, baper. "Ya udah, aku pulang ya," kata kak Pascal pamit. Kakak kelasku itu berdiri. Aku juga, berniat mau nganterin sampe pintu depan. Kami pun berjalan keluar rumah. Aku lambaikan tangan saat kak Pascal melambaikan tangannya saat sudah jalan beberapa langkah. Kak Pascal pun berjalan menuju sepeda motornya yang terparkir. Aku yang melihat mang Ujang lagi nyiram tanaman menyeringai licik. Aku segera berlari menuju mang Ujang sebelum kak Pascal pulang dan sadar aku berniat licik. "Mang," panggilku setengah berteriak. Byurr. "Astaga, Ya Gusti!!!" pekik mang Ujang kaget sehingga tanpa sadar mengarahkan selang air ke tubuhku. Mang Ujang yang sadar telah menyiramku bukan tanaman segera menyingkirkan selang airnya dan mengarahkannya ke tanaman lagi. "Maaf, Non," katanya. Aku hanya melongo. Dengan badan basah, pakaian basah dan juga rasa malu yang sudah habis, aku menoleh ke kak Pascal. Pacarku itu lagi ketawa, ngakak. Sial. Niat jahat emang selalu berakhir menyedihkan. Kak Pascal membuka jok sepeda motornya dan mengeluarkan sebuah jas hujan dari sana. Dia ambil jas hujan itu lalu berjalan mendekat. Dia rentangkan jas hujan itu lalu meletakkannya ke tubuhku. Aku yang sudah beku hanya terpana melihatnya, entah kenapa aku seperti melihat cahaya terang saat dia melakukan itu. Udah mirip pangeran di drama Korea yang mas Atom sering tonton. Kak Pascal menarik kedua ujung jas hujan yang membuat kepalaku mengarah kepadanya. Mata kami bertemu. "Cewek makin oon, makin cantik. Ami juga begitu," katanya lalu melepas tangannya dari jas hujan. "Aku pulang dulu ya. Segera mandi lalu ganti bajumu agar nggak masuk angin!" katanya lalu mencolek lembut ujung hidungku. Kak Pascal pun berjalan menuju sepeda motornya lalu pergi. Barusan itu apa? kak Pascal nyolek hidungku? "Non," panggil mang Ujang. "Ya?" "Muka non mulai merah lagi," "Eh?" Aku pun segera masuk ke dalam rumah. Aku harus minum obat sebelum kumat. Kak Pascal... Aku rela alergi asal digituin. Siram aja siram, alergi aja alergi, bodoh amat. Hehe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN