BAB 15

2107 Kata
"Jangan seperti anggrek, indah sih tapi parasit," - Valenci Anggraini Wijaya - Sota menghela napas panjang. Sahabatku itu terlihat nggak bersemangat. "Kenapa, Sot?" tanyaku cemas. "Aku dikutuk sepertinya, Val," jawabnya. "Hah?" Sota menghela napas berat lalu merebahkan kepalanya di meja. Dia terkulai lemas nggak berdaya. "Kenapa sih? Lagi PMS?" tanyaku heran dengan sikapnya yang aneh. "Palingan dia ngerasa gitu karena tempat duduk untuk ulangan Fisika diubah," celetuk Nagara. Sota langsung bangun dan mengangguk. "Ya, Nagara. Kamu kok duduk di depan sih, di depan guru lagi. Aku nyonteknya gimana?" tanya Sota alay. "Ya nggak usah nyontek, belajar, dong," sahut Nagara yang seperti biasa cuek dan nggak peduli sama nasib orang lain. "Aih, aku udah belajar Nagara. Cuma ya salah Fisika aja yang nggak mau dingertiin," sanggah Sota. "Itu mah salah otakmu yang nggak mau ngerti," sergah Nagara. "Ish, sembarangan! Otakku udah belajar tahu," elak Sota. "Kalau belajar ya pasti ngerti," sahut Nagara yang masih enggan mengalah. "Udah, intinya kan kamu harus usaha sendiri, Sot," nasehatku pada Sota. Sota menghela napas panjang dan berat. "Doakan aku ya Val, kalau ulangan Fisika kali ini nggak remidi, aku traktir kamu bakso, deh," janjinya. "Wah, aamiin," sahutku mengamini. "Aih, aku juga dong! Valenci udah kaya, jangan ditraktir mulu," celetuk Nagara. "Jangan iri, Nagara! Lagian yang kaya orangtuaku bukan aku," sanggahku. "Sama aja keles," kata Nagara nggak mau kalah. "Lagian ya, Sot. Bukannya bab Fisika kali ini lebih gampang ya?" tanyaku. "Masak?" tanya Sota ragu. "Iya, kalau nggak salah bab elastisitas dan hukum Hooke, kan?" tanyaku. Sota mengangguk. "Gampang tuh," sela Nagara. "Bagimu," sahut Sota sewot. "Bagimu juga kalau belajar." Si Nagara ngotot. "Aduh, mana temen di sebelah dan belakangku nggak ada yang bener," keluh Sota. "Emang siapa?" tanyaku penasaran. "Noh," jawab Sota sambil mengedikkan dagunya ke arah Wardah. "Wah, sama si "Ya Tuhan"?" tanyaku. Sota mengangguk lalu kami cekikikan. Bukannya kurang ajar, cuma si Wardah itu alaynya pake banget. Sehari sebelum pengumuman tempat duduk untuk ulangan Fisika diumumkan, dia bikin status di WhatApps yang isinya "Ya Tuhan, tolong berilah hamba teman sebangku yang hamba butuhkan. Bukan yang hamba inginkan. Wardah janji ya Tuhan bakal belajar lebih rajin". Sejak itu aku dan Sota menyebut Wardah dengan julukan Ya Tuhan. Selain itu si Wardah itu terkenal anti banget nyontek. Bagus sih, cuma teman-teman jadi ngerasa apes kalau duduk dekat dia. Ngerasa ada malaikat terlihat yang akan ngasih dalil kalau terbesit niat nyontek. Semacam itulah Wardah di mata teman-teman. Walau kami nggak pernah bilang. "Di belakangmu sapa?" tanyaku. "Delia," jawabnya. Aku tergelak pelan. "Ish, jangan ketawa dong, Val. Seneng kamu?" kata Sota kesel. "Maaf, maaf," kataku ngerasa nggak enak. "Lagian, kalau kamu duduk sama dia, tinggal sikat aja kalau nggak mau kerjasama, Sot," lanjutku. Sota manyun. "Dia kan tukang ngadu, ogah," tolak Sota. Aku hanya cekikikan. Apes beneran Sota kali ini. "Kalau kamu, Val, duduk sama siapa?" tanya Nagara. "Ah, di sebelahku ada Via, di belakang Ica, di depan Gita," jawabku. "Wah, enak tuh! Walau nggak terlalu pinter, setidaknya kamu masih bisa kerjasama," kata Sota ngerasa iri. "Iya bagimu, tapi kan Valenci kan takut amat ya kalau nyontek. Suka gemeteran duluan, jadi nggak guna juga," komentar Nagara yang walau bener entah kenapa nusuk amat itu komentar. "Ajarin aku dong, Nagara," rengek Sota. "Ogah, mending ngegame daripada ngajarin kamu," tolak Nagara. Sota tambah manyun. "s***s amat sama temen sendiri, Ara. Nggak berperasaan, deh," desis Sota sebal. "Biarin," sahut Nagara masa bodoh. "Oh ya, kemarin kamu kenapa, Val?" tanya Sota kepo tentang apa yang terjadi padaku kemarin. Padahal aku kira dia lupa, ternyata nggak. "Ah, kemarin si Pluto menemuiku lagi," kataku. "Heh? Mau ngapain?” "Dia bilang kalau dia minta maaf," lanjutku. "Ah, palingan dia udah putus sama Alka kan makanya minta maaf?" tebak Sota. Aku mengangguk mengiyakan. "Alka siapa?" celetuk Nagara yang ternyata menguping. "Itu, Alka Mulyani, temen SMP kita dulu," jawabku. "Ah yang cantik itu?" tebak Nagara yang mulai mengingat sosok Alka. Aku mengangguk. "Iya, cantik kayak bunga anggrek. Indah tapi parasit," jawabku. Nagara ketawa. "Makin tinggi aja itu dendam," sahutnya. "Bodo," "Trus, gimana? Kamu maafin si Pluto?" tanya Sota. Aku menggeleng. "Nggak mungkinlah. Aku ngusir dia pergi tapi dia nggak pergi-pergi. Aku jadi nangis, sakit hatiku," curhatku. "Ya ampun, maafin aku ya Val, aku nggak ada di saat-saat sulit itu," kata Sota ngerasa bersalah. "Nggak kok, bukan salahmu. Aku aja yang belum bisa strong," sanggahku agar si Sota nggak nyalahin dirinya sendiri. "Iya, nih! Lagian ngapain coba nangis demi mantan? Buang-buang airmata aja," celetuk Nagara yang langsung dipelototi Sota. "Iya, iya, nggak usah melotot gitu. Kalau copot gimana itu mata?" oceh Nagara. Sota mendengus, sebal. "Trus Val?" tanya Sota memintaku untuk melanjutkan ceritaku. "Untungnya ada kak Galaksi, dia nolong aku," kataku. "Wah, keren," puji Sota. "Tapi kok bisa kamu sama kak Pascal kalau yang nolongin kak Galaksi?" tanya Sota heran. "Nah itu, habis ditolong kak Galaksi, kak Pascal datang," jawabku. "Waduh, mereka nggak perang tuh?" tanya Sota lagi. Aku menggeleng. "Untungnya sih nggak," jawabku. "Bagus, deh! Jadi kamu sama kak Pascal nggak apa-apa kan?" Aku mengangguk. "Sip," kata Sota merasa lega. "Tapi nih, kalau kayak gitu, aku ngerasa kalau kamu punya dua pacar Val," kata si Nagara komentar. "Hah?" seruku dan Sota bersamaan. "Ya, gimana…kalau kamu udah sama Pascal, jangan dekat-dekat Galaksi, dong!" jelas Nagara. "Aku nggak ada apa-apa sama kak Galaksi, Ara! Dia kebetulan aja nolong aku kemarin," sanggahku. "Ya? Tapi aku lihatnya nggak gitu. Dari sekilas lihat aja, aku udah tahu kalau dia ada niat buat deketin kamu," sahut Nagara. "Heh?" "Saran aja sih, kan aku cowok nih. Mending kamu tegesin sama dia kalau kamu udah punya pacar dan nyuruh dia jaga jarak. Kalau aku jadi Pascal dan ngeliat cewekku ditolong cowok lain, hatiku pasti mendidih," katanya. "Gitu ya?" Nagara mengangguk. "Apa sih, sok ngerti amat, Ara. Pacaran aja belum pernah," sergah Sota. "Lagian yang kayak punya pacar banyak itu kamu tahu, PHP.in banyak cewek, nggak ngasih status, kamu lebih parah tuh," omel Sota. "Aih, nggak apa-apa dong. Kan aku cowok, bebas mau punya istri 1-4," katanya. "Dasar playboy," rutuk Sota. Nagara manyun. "Lagian apaan kok manggilnya cuma Pascal atau Galaksi doang sih? Mereka kakak kelas kita tahu, yang sopan, dong," omel Sota lagi. "Suka-suka aku, dong! Aku yang manggil kok kamu yang sewot," sahut Nagara nggak mau kalah. "Dinasehatin malah gitu, kamu harus sopan tahu sebagai adik kelas," oceh Sota. "Bodo!" Aku hanya diam melihat pertengkaran Sota dan Nagara tanpa berniat melerai. Entah kenapa, apa yang Nagara katakan barusan ada benarnya. Aku harus tegas. Bagaimanapun, kak Pascal adalah pacarku sekarang, aku nggak mau dia terluka olehku. *** Bel pulang sekolah udah berdering sejak tadi tapi aku masih ada di depan ruang multimedia. Aku lagi nungguin kak Pascal yang masih bimbingan. Minggu depan pacarku itu lomba Kimia. Sambil menunggu kak Pascal, aku membaca Novel yang aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Aku memang suka membaca daripada menonton, lebih asyik dan seru menurutku. Terlebih, bisa membayangkan siapapun sebagai pemeran tokoh di ceritanya. Imajinasi jadi dipakai secara bebas. "Ami," Panggilan itu membuatku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk. Aku sunggingkan sebuah senyuman saat melihat si pemanggil bersuara indah itu. "Udah, Kak?" tanyaku. Kak Pascal mengangguk. "Udah," jawabnya. "Pulang yuk!" Aku mengangguk. Aku memasukkan novelku ke dalam tas lalu berdiri. Kami pun berjalan berdampingan menuju parkiran. "Hari ini gimana? Ada yang menyenangkan?" tanya kak Pascal. Aku menggeleng. "Biasa aja, Kak. Palingan si Sota kumat lagi," jawabku. "Kenapa lagi dia?" tanya kak Pascal penasaran. "Dilema soalnya ulangan Fisika tempat duduknya diacak," curhatku. "Oh, pasti dia kebagian teman yang nggak enak ya?" tebak kak Pascal. "Iya, kok tahu, Kak? Kakak gitu juga ya?" gurauku. Kak Pascal hanya mengulas senyum. "Bukan gitu," sangkalnya. "Tapi si Milki suka heboh kalau tempat duduk diubah," lanjutnya. "Pasti si kak Milkita kayak cacing kepanasan tanpa kakak," tebakku. "Nggak juga sih, cuma si Harp suka nangis kalau remidi, makanya si Milki heboh kalau dia jauh tempat duduknya dari si Harp," jelas kak Pascal. "Wah, unggulan gitu juga kak?" tanyaku nggak nyangka. "Harp dan Milki itu udah satu hati, meski suka duduk sama aku, soal ikatan batin, si Milki lebih dekat sama Harp," "Wah, nggak nyangka bisa begitu," gumamku takjub. Kak Pascal hanya tersenyum kecil. "Tunggu bentar ya, aku ambil sepeda motor dulu," kata kak Pascal begitu kami sampai di parkiran. Aku mengangguk mengiyakan. Sambil menunggu kak Pascal, aku melirik kiri-kanan, sudah sepi. Parkiran juga sudah lengang. Hanya masih ada satu-dua kendaraan di tempat parkir.Aku mengernyit, menatap kak Galaksi dari kejauhan. Dia tampak berlari dengan wajah panik. Aku hendak menyusulnya tetapi saat teringat apa yang dikatakan Nagara tadi, aku membatalkan niatku. Aku nggak boleh dekat-dekat kak Galaksi. Nggak boleh! Tit. Tit. Aku berbalik dan mendapati kak Pascal yang rupanya sudah mengambil sepeda motornya. "Ayo," ajaknya. Aku mengangguk lalu naik ke sepeda motornya. Bonceng samping, aku pegang seragamnya, pegangan biar nggak jatuh. "Nggak dilingkarin aja tangannya ke pinggang?" goda kak Pascal. "Gini aja, Kak," tolakku. "Kan nggak nyentuh kulit, nggak akan alergi kan?" katanya. Aku mengalah dengan melingkarkan satu tanganku di pinggangnya. Setelahnya kak Pascal mulai melakukan sepeda motornya. "Langsung pulang nggak nih?" tanya kak Pascal. "Iya, Kak. Mas Atom ngelarang Valenci keluyuran tanpa ganti baju dulu," jawabku. "Oh gitu, yaudah, aku langsung antar pulang ya," "Iya, Kak," Setelahnya nggak ada pembicaraan yang terjadi. Kak Pascal fokus menyetir. Sementara aku hanya melihat pemandangan sepanjang jalan. Angin yang berhembus menemaniku. Sejujurnya, aku masih penasaran. Kenapa kak Galaksi berwajah panik begitu, ada apa? Dia nggak kenapa-napa kan? "Ami, Ami!" Aku tersentak kaget dengan panggilan itu. "Ah, ya kak? Udah nyampe ya?" tanyaku. "Eh? Belum," jawab kak Pascal. "Aku cuma mau tanya, ada penjual es krim dekat sini, mau mampir dulu? Nggak lama kok," katanya. "Ah, es krim…" gumamku yang rada malu. Rupanya kami masih berada di lampu merah. "Es krim ya," kataku masih mikir-mikir. "Nggak lama kok, Ami! Mau ya?" bujuknya. "Oke, deh," kataku setuju. "Yeay," sorak kak Pascal girang. Aku tertawa geli, tingkahnya lucu. Perjalanan kami pun berlanjut ketika lampu merah berubah menjadi hijau. Aku mencoba memfokuskan pikiranku. Aku nggak boleh tertangkap basah lagi ngelamun lagi. Bisa gawat kalau kak Pascal nanya aku lagi mikiran apa. Sepeda motor berhenti di sebuah toko es krim yang terletak di pinggir jalan raya. Setelah memarkirkan sepeda motornya, kak Pascal mengajakku untuk antre. Antrean cukup panjang, sepertinya toko es krimnya lumayan terkenal. "Ami mau rasa apa?" tanyanya. "Cokelat sama stroberi kak," jawabku. "Oke," katanya. "Yang rasa melon juga enak lho," katanya sambil menunjuk ke gambar es krim rasa melon yang terpanjang di dinding toko. "Wah, kelihatannya enak, Kak," "Huum, udah gitu es krimnya bisa request dan dimix, nggak monoton satu rasa aja," jelasnya. "Kakak suka kesini?" tanyaku. Kak Pascal mengangguk. "Iya, biasanya sama Harp dan Milki," katanya. "Wah, aku cewek pertama yang kesini sama kak Pascal, dong," kataku girang. Kak Pascal hanya diam, wajahnya mendadak murung. "Kenapa, Kak?" tanyaku. "Ah, nggak apa-apa," jawabnya sambil mencoba tersenyum. "Ini tokonya baru ya kak? Kok aku nggak pernah tahu ada toko es krim ini," kataku mencoba mengalihkan pembicaraan. "Nggak, kok. Udah tiga tahunan, saat aku SMP kelas 9, toko es krim ini udah ada," jawabnya. "Kak Pascal tahu dari siapa?" tanyaku. Kak Pascal diam, hanya tersenyum kecut. Sepertinya, aku salah nanya lagi. "Oh ya, aku yang traktir ya Kak," pintaku. "Eh?" "Kalau Kak Pascal menang lomba minggu ini, gantian kak Pascal yang traktir Valenci steak daging sapi," usulku. "Gimana?" Kak Pascal tertawa geli. "Itu maunya Ami aja, pintar amat sih negonya," katanya sambil ketawa. Aku hanya nyengir. "Gimana kak? Setuju ya?" tanyaku lagi karena belum mendapatkan jawaban. Kak Pascal mengangguk sambil tersenyum. "Oke," katanya mengiyakan. "Yeay," sorakku girang. Setelah cukup lama mengantre, kami mendapatkan es krim yang kami mau. Setelah memakannya di tempat itu, kami pun memutuskan untuk pulang. Mas Atom juga sudah miscall, bisa gawat kalau mas-ku itu ngamuk. "Bentar ya, aku belokin sepeda dulu," kata kak Pascal. "Oh ya, ini kasih tukang parkirnya," imbuh kak Pascal sambil memberikan uang dua ribuan. Aku mengangguk sambil menerima uang dari Kak Pascal. Saat tukang parkir mendekat, aku berikan uang dua ribuan yang tadi dikasih kak Pascal. "Ayo," ajak kak Pascal. Aku baru saja akan naik ketika kak Pascal memegang bahuku seolah mencegahku untuk naik. "Kenapa, Kak?" tanyaku heran dengan sikapnya, terlebih saat ini dia nggak melihat ke arahku. Dia melihat ke depan, aku jadi tertarik ingin tahu apa yang sedang dia lihat. "Indira," gumamnya pelan. Heh?! "Ami, kamu bisa pulang sendiri kan?" tanyanya tiba-tiba. "Hah?" "Maaf, maaf banget," katanya lalu mulai menyalakan mesin sepeda motornya dan pergi begitu saja. Aku terdiam, menganga, nggak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kebersamaan dan kesetiaan yang coba aku pertahankan, dia sia-siakan di pinggir jalan. Indira? Sepertinya, aku pernah mendengarnya. Dia siapa sampai membuat kak Pascal meninggalkan aku? Hiks.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN