BAB 14

2125 Kata
"Kita seperti garis asimtot, saling mendekati tetapi tak pernah sampai," - Pascal Ramadhan - Umumnya, di kisah dongeng, seperti putri Salju misalkan. Sang putri diselamatkan dulu oleh pemburu lalu bertemu pangeran. Di kisah Cinderella juga begitu, Cinderella bertemu peri kemudian bertemu pangeran. Harusnya jika memang berlaku hukum seperti itu, aku ditolong kak Galaksi dulu, baru ketemu kak Pascal. Namun yang terjadi nggak seindah dunia dongeng. "Dia pacarku," kata kak Pascal saat kak Galaksi hendak mengantarku. "Lantas?" tanya kak Galaksi dengan nada seolah nggak peduli. "Lepasin tanganmu dari Valenci," ujar kak Pascal dengan nada penuh penekanan. "Kenapa? Bukannya kamu nggak bisa megang dia? Dia kan alergi padamu," kata kak Galaksi setengah mengejek. "Lepas!" suruh kak Pascal lagi. Kak Galaksi tersenyum sinis. "Kalau aku nggak mau, kamu mau apa? Mukul aku?" tantang kak Galaksi. Kak Pascal berdecak pelan. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. Nyaris ketawa rasanya saat dia mengeluarkan sarung tangan lalu memakainya. "Dengan begini aman kan Ami?" tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya yang kini sudah memakai sarung tangan yang biasa dipakai pengendara sepeda motor. Aku mengangguk sembari melipat bibir, mencegah agar nggak ngakak di depannya. Air mataku seketika hijrah entah kemana. Kedatangannya, mengusir semua kesedihan, pedih dan juga sakit yang aku rasakan. Ajaib. Kak Pascal mengulurkan tangannya. "Aku antar ya," katanya. Aku menoleh ke kak Galaksi yang hanya memberiku anggukan kecil seolah dia mengizinkan aku untuk pergi dengan kak Pascal. Sesuai dugaanku, kak Galaksi memang bukan cowok jahat. Kak Pascal pun segera membawaku pergi begitu aku menerima uluran tangan darinya. Sota yang baru datang sempat bengong melihatku sudah bergandengan tangan dengan kak Pascal. Namun lagi-lagi aku hanya bisa memberinya isyarat agar nggak banyak nanya. Sota yang sudah paham isyarat dariku pun nggak banyak menanyakan apapun. Sekadar menyapapun nggak. Tiba di dekat sepeda motornya, Kak Pascal memakaikan helm padaku, cukup heran karena dia membawa dua helm. Namun aku nggak bertanya tentang itu. Saat dia memintaku naik ke sepeda motornya, aku menurut. Kak Pascal pun mulai melajukan sepeda motor meninggalkan sekolah. Awalnya aku pikir kak Pascal akan langsung mengantarku pulang, tapi ternyata pacarku itu membawaku ke sebuah supermarket. Kami duduk di tempat duduk yang disediakan di depan supermarket sembari menikmati lelehan es krim dan juga minuman dingin. "Oh ya, mana?" tanya kak Pascal. Aku menautkan alis. "Cokelat dari Galaksi," katanya memperjelas maksud pertanyaannya. "Kok tahu?" tanyaku. "Nggak sengaja lihat tadi pagi," jawabnya. "Tadi pagi kakak mau ke kelasku?" tanyaku. Kak Pascal mengangguk, nggak menyangkal sama sekali. "Ngapain?" tanyaku penasaran. "Mana dulu cokelat darinya," kata kak Pascal memberi syarat. Aku terpaksa mengeluarkan cokelat yang kak Galaksi kasih tadi pagi. Kak Pascal mengambil cokelat itu lalu memberikannya pada seorang anak kecil yang sedang belanja dengan ibunya. Anak kecil itu mengucapkan terimakasih dan kak Pascal tampak tersenyum bahagia. Rasanya nggak bisa percaya kalau cowok sepertinya pernah melukai seseorang. Walau aku tahu itu bukan salahnya sepenuhnya. "Ini, sebagai gantinya," kata kak Pascal sambil memberikan cokelat yang baru. Dia mengambilnya dari dalam tas ranselnya. Aku tertegun, cokelat darinya terasa sudah sedikit mencair. Sepertinya sudah cukup lama berada di dalam tas ransel kak Pascal. "Makasih, Kak," ujarku sembari membuka bungkus cokelat itu lalu memakannya. "Maaf ya, agak cair soalnya udah dari tadi pagi," terangnya merasa sedikit bersalah. Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak apa-apa, Kak! Cokelatnya enak banget!" kataku sambil merasakan lelehan cokelat di mulutku. Sumpah nikmat banget. Pasti cokelat ini harganya mahal. "Kakak beliin aku cokelat nggak pemborosan? Kakak banyak uang?" tanyaku. Kak Pascal hanya tersenyum kecil. "Sekali-kali, bahagiain pacar kan nggak apa-apa," katanya. Aku tersenyum manis, bahagia bahkan meski hanya mendengar hal seperti itu. Murah amat hatiku buat baper. "Ami, boleh aku tanya?" tanya kak Pascal kemudian. Aku mengangguk. "Nanya apa, Kak?" tanyaku balik. "Kamu sakit apa sih?" tanyanya. Aku menautkan alisku. "Maksudnya, Kak? Aku sudah sehat, kok," elakku. "Bukan, maksudku... kamu alergi apa?" tanya kak Pascal. Aku diam sebentar, ragu-ragu untuk menjawab. “Jawab, dong,” mohon kak Pascal. "Alergi kimia, Kak. Kan udah aku kasih tahu waktu itu," jawabku. "Kamu kan IPA, kalau ada pelajaran kimia gimana?" tanya kak Pascal. "Ah, nggak apa-apa kok, Kak. Kalau selama guru menerangkan, aku baik-baik saja. Cuma, kalau sudah stress banget, ada bab yang nggak bisa aku ngerti, aku jadi alergi. Guru biasanya akan ngirim aku ke UKS begitu aku mulai menunjukkan tanda-tanda alergi," jelasku. "Hah? Bisa gitu ya?" tanya kak Pascal heran. Aku mengangguk. "Aku juga alergi sama orang yang pintar Kimia, apalagi juara olimpiade," kataku ngasih info. "Eh? Karena itu kamu alergi setiap kali kita bersentuhan kulit?" tanya kak Pascal. Aku mengangguk. "Jadi, kalau seandainya kamu nggak tahu aku juara kimia, ada kemungkinan kamu nggak alergi sama aku, dong?" Aku mengedikkan bahu. “Nggak tahu, Kak,” "Tapi waktu itu, aku pernah menyentuhmu kamu nggak apa-apa lho," ucap kak Pascal bingung.. "Ah, semua tergantung otakku, Kak. Kalau aku lagi fokus atau mikir bahwa kakak adalah sumber alergiku, otakku akan segera memproses kakak sebagai sesuatu yang membuatku alergi. Tapi, ada kalanya aku lupa atau nggak berpikir begitu, jadi nggak berdampak apa-apa," jelasku. Kak Pascal hanya menaik-turunkan kepalanya. Sepertinya dia mengerti dengan penjelasanku yang rada absurd. Orang genius emang beda, mereka cepat memahami sesuatu yang bahkan dianggap nggak biasa olah orang lain. "Kira-kira alergimu bisa sembuh nggak Ami?" tanya kak Pascal. Aku mengangkat bahu.. "Entah, Kak," "Sejak kapan kamu mulai alergi kimia, Ami?" tanya kak Pascal lagi. "Aku nggak tahu tepatnya, Kak. Tapi sejak SMA semester satu," jelasku. "Oh gitu," gumam kak Pascal. Aku mengangguk. "Maaf, Kak!" ucapku. "Untuk apa?" tanya kak Pascal. "Karena udah alergi kimia," jawabku. Kak Pascal tergelak pelan. "Nggak apa-apa, Ami. Itu bukan salahmu! Kadang, ada beberapa orang yang alergi pada sesuatu yang dianggap orang lain nggak mungkin. Makanya, alergi secara psikis itu jauh lebih berbahaya daripada alergi yang sudah diketahui secara fisik," katanya panjang-lebar. "Nggak apa-apa, aku paham kok," katanya. Aku tersenyum kecil. "Sekali lagi, aku minta maaf Kak," kataku merasa nggak enak. Kak Pascal menggeleng pelan. "Aku yang harusnya minta maaf, Ami," sanggahnya. "Eh? Kenapa? Kak Pascal nggak salah apa-apa, kok," elakku. "Aku salah, udah ngajak kamu pacaran dan bahkan bersikap egois," "Kak Pascal nggak egois! Aku senang pacaran sama kakak!" bantahku tegas. Kak Pascal hanya menggaruk-garuk bagian belakangnya. "Iya, iya," sahutnya. "Udah, makan lagi cokelatnya," suruhnya. Aku mengangguk lalu mulai memakan cokelatku lagi. Kak Pascal tersenyum geli. "Belepotan tuh," ujarnya. Kak Pascal mengambil tisu lalu mengusapkannya ke sudut bibirku. Aku yang diperlakukan begitu hanya membeku dengan menatapnya dalam. Jantungku berdetak makin kencang, napasku mulai nggak beraturan dan tenggorokanku mendadak seakan kering.   Ini bukan tanda-tanda alergi, tapi sesuatu yang lain. Ini beda. "Selama aku nggak menyentuhmu, kamu akan baik-baik saja kan Ami?" tanyanya dengan sorot mata yang mengarah langsung ke manik mataku. Aku mengangguk pelan. Kak Pascal mengulas senyum jail lalu berdiri dari duduknya dengan tangan tetap berada di bibirku. Dia mendekat lalu menundukkan sedikit tubuhnya hingga wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Dia terus maju hingga hanya tersisa beberapa inci saja agar hidungnya menyentuh hidungku. Desahan napasnya terasa di wajahku, bulu matanya yang panjang itu tampak begitu indah. Dan.. Bibirnya yang, merekah itu, ingin sekali aku.. "Kita seperti garis asimtot, Ami. Bisa saling mendekati tetapi nggak akan pernah sampai," katanya. Eh? Aku membulatkan mataku saat kakak kelasku itu tersenyum sedih. "Aku ingin kamu bahagia," katanya. Firasatku buruk. "Nggak, Kak! Kalau kakak berani mutusin aku, aku akan membunuh kak Pascal sekarang!" ancamku. Kak Pacsal menarik mundur wajahnya lalu duduk kembali di kursinya. Dia tertawa kecil untuk beberapa saat. "Aku belum bilang apa-apa lho," katanya. Aku nyengir. "Lagipula, aku nggak akan pergi jika kamu belum sembuh dari patah hatimu, Valenci," katanya mencoba menenangkan aku. "Kakak janji?" Kak Pascal mengangguk. “Janji.” Aku bernapas lega. Sekilas, aku berpikir dia akan meninggalkan aku. Aku nggak mau hal itu terjadi. Nggak mau. "Galaksi, apa kamu menyukainya?" tanya kak Pascal. "Suka sebagai apa?" tanyaku balik. "Cowok," jawab kak Pascal. Aku berpikir sejenak lalu menggeleng. "Aku hanya kagum aja, Kak," jawabku jujur. "Kenapa? Aku nggak akan mengkhianati kakak, kok," tegasku. Kak Pascal tergelak. "Bukan, aku tahu kamu nggak akan begitu. Hanya saja, jika kamu menyukainya, aku akan menyiapkan hati untuk melepasmu!" jelas kak Pascal. "Heh?" "Sudah aku bilang kan? Kalau ada orang yang kamu sukai, aku akan membantumu," kata kak Pascal mengingatkan. "Oh," sahutku singkat. "Iya." "Kalau aku jadi suka kakak gimana?" tanyaku. Kak Pascal tersenyum tipis. "Nggak boleh," jawabnya. "Kita nggak bisa bersama." "Tapi kita udah bersama, Kak," Kak Pascal menatapku lalu menghela napas. "Ya, untuk sementara," ucapnya  pelan. "Ami, kita-," "Hm, enak," potongku cepat lalu memakan cokelatku lagi, berpura-pura nggak mendengar jawaban apapun darinya. Lupakan, Valenci. Lupakan penolakan barusan. Tes. Tes. Air mataku jatuh. Aku segera bangun dari dudukku. "Aku ke toilet dulu, Kak!" pamitku lalu buru-buru pergi. Aku nggak mau kak Pascal melihatku menangis. Terlebih, saat ini aku menangis karena dirinya. Rasanya sakit seperti sesak napas. Apa iya aku dan kak Pascal seperti garis asimtot? Aku nggak suka perumpamaan itu. *** Aku melambaikan tangan pada kak Pascal sesaat setelah turun dari sepeda motornya. Aku pandang kakak kelasku itu sampai benar-benar menghilang dari pandanganku. Rasanya, aku memang sudah jatuh hati padanya. Aku terpikat pada pesonanya, juga ingin berada di dekatnya. Ini fase kedua, aku lagi kasmaran. Aku tersenyum geli, mengingat kak Pascal saja sudah membuatku senyum-senyum. Aku memegang kedua pipiku yang memanas. Rasanya, aku bisa gila jika begini.   "Huft," Aku mengembuskan napas pelan, rasanya sakit saat teringat apa yang dia katakan tadi. Ini seperti kuncup bunga yang belum mekar tapi sudah layu. Gugur. "Kenapa, Val? Kok mukamu kayak anak curut bakal dilindas truk?" Pertanyaan itu membuatku menoleh dan berdecak pelan menatap mas Atom yang sudah berada di dekatku. Dengan pakaian rapi, celana jeans panjang, kaos dan juga jaket, masku itu makin absurd dengan sandal jepitnya. "Kok baju rapi tapi pakai sandal jepit sih Mas?" tanyaku heran. "Kenapa? Aku kan cuma mau binjar bukan ke kondangan!" jawabnya santai. "Nggak cocok, mas! Minimal pakai sandal yang bagusan dikit napa," omelku. "Malas, lagian sandal jepit itu nyaman dipakai," katanya. "Mau binjar tapi kok sepeda motornya nggak dikeluarin?" tanyaku heran. "Nggak, bareng temen," jawabnya. "Kak Galaksi?" tebakku. Mas Atom tergelak. "Val, aku dan Galaksi beda sekolah. Kamu itu oon banget ya?" ledeknya. "Oh ya, lupa, hehe," "Kalau gitu, sama cewek ya Mas?" tebakku lagi. Mas Atom mengangguk. "Hah? Serius? Mas punya pacar?" tanyaku. Mas Atom menggeleng. "Bukan, temen,kok," sanggahnya. "Wah, mana ada temen cewek rela ngejemput kalau nggak suka Mas? Peka dong!" "Hah? Dia pacarnya temenku tauk," elak Mas Atom. "Masak? Pacarnya temen kok ngejemput Mas? Kalian selingkuh ya?" "Hah?" Mas Atom menjitak ringan kepalaku. "Sembarangan!" "Aku itu sama yang jomblo aja ogah apalagi sama yang taken," delik Mas Atom. "Trus kok mau ngejemput mas?" tanyaku. "Dia ngerasa bersalah," jawab Mas Atom. "Karena?" "Pacarnya ngebanting handphoneku, dikira aku chatan sama dia! Padahal aku baru aja tadi punya kontaknya," jelas Mas Atom. "Heh?" "Pacarnya sama kayak otakmu, mudah berprasangka sama orang. Jadinya malu sendiri saat tebakannya salah," jelas Mas Atom lagi. "Oh, jadi mereka putus trus si cewek PDKT sama Mas?" tebakku. Mas Atom memasang muka datar. "Otakmu drama amat sih, Val! Dia ngejemput aku soalnya pacarnya udah duluan ke konter buat memperbaiki handphoneku. Nanti pulangnya, aku bakal sama pacarnya, bukan sama temenku itu! Mereka nggak putus, kok! Udah 6 tahun pacaran masak putus," cercah mas Atom. "Enam tahun? Itu pacaran apa kredit sepeda motor Mas?" pekikku rada kaget. Mas Atom tergelak pelan. "Aih, kamu ini! Mereka udah pacaran sejak SMP, makanya hentikan pemikiran anehmu tentang mereka," nasehat Mas Atom. "Maaf, deh," kataku merasa nggak enak. "Oh ya, kok kamu baru pulang, Val?" tanya Mas Atom. "Tadi masih jalan-jalan, Mas," jawabku. "Sama Pascal atau Galaksi?" tanya mas Atom penuh selidik. "Kak Pascal," jawabku. "Oh, bagus, deh! Tapi lain kali pulang dulu, jangan langsung jalan-jalan. Ganti baju dulu, baru pergi," nasehat Mas Atom lagi. Aku mengangguk. "Oke." Tak lama kemudian sebuah sepeda motor scoopy berhenti di depan kami. Saat helm dibuka, seorang cewek berambut panjang lurus dengan wajah khas peran antagonis di drama menatapku. Alisnya rada tipis dengan bola mata yang ujungnya sipit. Dia menatapku tanpa senyum. Serem. "Sorry, Tom! Aku tadi masih mampir ke minimarket," katanya dengan nada datar dan tanpa ekspresi apapun di wajahnya. "Nggak apa-apa, Bit," sahut Mas Atom. Bit? Sabit? "Adikmu?" tanyanya sambil menunjukku, masih tanpa ekspresi dan nada dingin yang menusuk. "Ha-hai," sapaku kaku. Dia merengut lalu mengangguk. "Hai, aku Orbit," katanya memperkenalkan dirinya. "Va-Valenci, kak," jawabku. Kak Orbit beralih memandang mas Atom. "Dia gagu? Kok kayak gagap gitu?" tanya kak Orbit. "Nggak, dia emang suka gugup kalau ketemu orang baru," jelas mas Atom. "Oh, yaudah berangkat yuk!" ajak mas Atom. Kak Orbit mengangguk mengiyakan. Mas Atom pun naik ke sepeda motor kak Orbit, ngebonceng. "Mas berangkat dulu ya! Kamu masuk, ganti baju trus makan!" suruh mas Atom. Aku mengangguk. Mas Atom dan kak Orbit pun pergi. Setelahnya aku masuk ke rumah. Pacaran enam tahun? Bagaimana rasanya ya pacaran selama itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN