"Mas tumben pagi banget?" tanya Niken saat sehabis salat subuh Farhan sudah rapi dengan setelan kaus polo-nya.
"Iya. Aku ada janji sama orang yang mau pesan paket lunch untuk kantornya. Lumayan 'kan, kalau cocok mereka akan mengambil tiap hari. Bisa untuk tambahan."
"Iya, Mas."
"Oh iya, aku suruh Nadia untuk ke warung siang nanti. Ajari dia biar dia juga bisa tahu cara meng-handle warung kita."
Dengan senyum dipaksakan, Niken mengangguk, mengiyakan ucapan Farhan.
"Ya sudah, aku berangkat. Jangan lupa antar anak-anak dengan hati-hati!"
"Iya."
Tanpa semangat Niken mengantar Farhan sampai ke depan rumah.
"Aku tidak yakin, jika aku akan mampu bertahan, Mas," gumam Niken saat mobil Farhan sudah meninggalkan pelataran rumah. Karena Niken tahu, pasti Farhan akan lebih dulu ke rumah Nadia dan sarapan di sana. Hal itu sudah menjadi rutinitas pria itu saat ini.
***
"Ken ... Niken...." Terdengar suara Farhan memanggil sang istri.
Niken yang sedang berada di dapur warung bersama para pekerjanya, langsung menghampiri suaminya itu.
"Iya, Mas," jawab Niken.
Ia melihat Farhan sedang berdiri bersama Nadia yang tampak sedang mengamati warung.
"Hem, Ken ... nanti Nadia kamu kasih tahu semua tentang warung, ya!"
"Iya, Mas," jawab Niken.
"Yang, nanti Niken akan kasih tahu semuanya. Kamu sudah jadi keluarga kami, jadi kamu wajib tahu semuanya," ucap Farhan kepada Nadia.
"Iya, Mas," jawab Nadia.
Mendengar Farhan memanggil Nadia dengan panggilan 'Yang', sontak membuat Niken tertegun di tempatnya.
'Apa aku tidak salah dengar? Apa benar yang aku dengar Mas Farhan memanggil Nadia dengan 'Yang', yang aku artikan sebagai sayang?' batin Niken. Ia menatap lurus ke depan melihat kendaraan berlalu-lalang. Sampai saat dirinya tersadar, Farhan sedang mengenalkan Nadia kepada semua pekerja mereka yang berada di warung. Niken memilih untuk kembali ke dapur. Ia memotong sayur-sayuran yang akan koki masak sambil menyembunyikan air matanya.
Tiba-tiba, ada yang memeluk Niken erat. Ia menangis dengan isak tertahan. Air mata Niken pun ikut bercucuran.
"Kamu kenapa, Nit?" tanya Niken pada Nita. Nita adalah salah satu kasir di warung yang memang cukup dekat dengannya.
"Kenapa Ibu bisa setegar ini? Kenapa Ibu bisa sekuat ini?"
"Kenapa memangnya?" Niken pura-pura tidak tahu arah pembicaraan Nita.
"Saya yang bukan siapa-siapa saja ikut sakit hati mendengar Bapak mengenalkan istri mudanya...."
"Sssstttt, sudah. Mending sekarang kamu cuci muka. Balik ke depan. Ngelap-ngelap meja atau apa, biar kamu nggak baper." Niken mencoba untuk melempar candaan.
"Ibu harus tetap kuat ya, Bu. Ibu adalah inspirasi bagi saya," ucap Nita memberi semangat.
"Iya, makasih, ya. Udah sana cuci muka," jawab Niken sambil mengacak rambut Nita.
Sebenarnya bukannya Niken tidak peduli pada kepedulian Nita. Hanya saja, Niken berpikir, biarlah luka itu hanya dirinya yang merasakan. Tidak perlu orang lain berempati berlebihan pada kisah rumah tangganya.
***
Niken keluar dari dapur. Ia menghampiri pekerja yang sedang membersihkan meja bersama Nadia juga. Namun, ia tidak melihat Farhan.
"Mas Farhan langsung pergi, Mbak." Seperti menjawab tanya Niken, Nadia mengatakan itu.
"Hm." Niken hanya berdehem menanggapi.
"Seneng ya, Mbak, bisa punya warung makan kayak gini." Nadia mencoba mengakrabkan diri.
Namun, Niken tak menanggapi. Wanita itu terus saja sibuk menyiapkan sendok juga perlengkapan lainnya di meja.
"Naura sama Aira sekolah, Mbak?"
"Stop berbasa-basi! Nanti akan saya beri tahu apa yang tadi Mas Farhan suruh ke saya. Tapi tolong, jangan ajak saya untuk memerankan diri sebagai seorang istri tua yang baik!" ucap Niken tajam.
'Apa Mbak Niken membenciku?' batin Nadia.
Sebenarnya, Nadia tidak mempunyai maksud buruk. Meskipun ia menjadi istri muda, ia sama sekali tidak ingin menguasai Farhan seutuhnya. Nadia tidak berniat sedikit pun merebut Farhan dari Niken. Ia mau menjadi istri kedua Farhan, karena ia berpikir mereka bertiga akan mampu membangun keluarga yang harmonis. Namun, ternyata pemikirannya salah. Dan sekarang, Nadia tidak mungkin meminta cerai mendadak pada Farhan, karena pasti Niken-lah yang akan disalahkan oleh suaminya.
Pria itu pernah bercerita pada Nadia, ia pernah bertanya pada Niken, apakah rela dimadu atau diceraikan. Dan Niken memilih untuk bertahan.
***
Usai menjemput Naura dan Aira yang kebetulan pulang di jam yang sama, Niken kembali ke warung bersama mereka.
"Eh ada Tante Nadia. Halo, Tante...," sapa Aira begitu masuk ke warung.
"Halo juga, Aira...."
"Tante kerja di sini? Yeeeyyyy, berarti kita akan sering ketemu dong, Tante!" sorak Aira polos.
"Iya, Sayang," jawab Nadia tanpa maksud berbohong pada Aira. Ia hanya mencoba memahami keadaan di mana anak-anak Farhan yang memang belum tahu statusnya.
***
"Kok Tante itu ada di sini, Ma?" tanya Naura yang sengaja mengikuti Niken ke dapur.
"Iya, Tante mau ikutan ngurus warung."
"Ngurus warung?"
"Ehm, maksud Mama kerja di sini."
"Ohhh. Tapi, Ma!"
"Kenapa?"
"Beneran Tante itu nggak ada hubungan apa-apa sama Ayah?"
Niken tersenyum. "Kamu tanya aja, ya, ke Ayah...."
"Ok. Nanti Naura akan tanya ke Ayah. Tapi jujur, nggak tahu kenapa Naura nggak suka sama Tante itu, Ma. Kenapa, ya?"
"Nggak boleh begitu, ah. Jangan suka suuzan sama orang!" meskipun Niken juga tidak menyukai Nadia, tetapi Niken berusaha agar anaknya tidak ikut masuk ke dalam masalahnya.
Sibuk di dapur, Niken dan Naura tidak tahu jika Farhan sudah berada di depan bersama Aira dan Nadia.
Naura menghampiri sang ayah.
"Lho, Ayah udah lama di sini?" tanya Naura.
"Em ... lumayan," jawab Farhan sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya.
"Kok nggak nyamperin Mama? Malah sibuk sama Tantenya?!" protes Naura.
"Eh, kan, ini nemenin Aira," jawab Farhan gugup.
"Oh ... pulang yuk, Yah. Udah sore!" ajak Naura.
"Aku masih betah, Kak, main sama Tante ini," tolak Aira.
Nadia tersenyum, begitu juga dengan Farhan. Ia senang melihat interaksi antara Aira dan Nadia.
"Besok bisa main lagi, Sayang...," bujuk Nadia.
"Iya, benar kata Tante Nadia." Farhan ikut menimpali.
Niken memperhatikan mereka, mencoba untuk tegar di depan karyawannya.
"Ayo, Ra, kita pulang!" Tak lama, Niken muncul mengajak Naura untuk pulang.
"Nggak sama ayah, Ma? Biar motornya nanti dianterin sama Om-nya." Om yang dimaksud Naura adalah pegawai orang tuanya.
"Ayah mau antar Tante Nadia dulu," jawab Farhan.
"Penting ya, Yah? Kan bisa naik taksi!" sungut Naura, tidak menyangka ayahnya akan seperti itu.
"Udah sore, Sayang...."
"Ya emang udah sore, harusnya Ayah pulang sama Naura, Aira sama Mama. Bukannya Mama disuruh naik motor, Ayah malah nganterin Tante itu yang cuma temen Ayah!" Dari awal Naura memang tidak menyukai Nadia. Apalagi Naura merasa kalau ada sesuatu antara ayahnya dan juga wanita yang katanya teman ayahnya itu.
"Nggak sopan, Ra ... udah ayo, Naura pulang sama Mama. Biar Aira ikut Ayah." Niken menengahi.
Sementara Nadia hanya bisa menunduk karena merasa tidak enak.
Sambil menghentakkan kaki, Naura mengikuti sang mama untuk pulang bersamanya.
***
"Maafkan sikap Naura tadi, ya," ucap Farhan dalam perjalanan mengantar Nadia pulang. Aira sudah tertidur di jok belakang.
"Nggak apa-apa, Mas. Harusnya aku yang minta maaf. Karena aku, Mas jadi sedikit ada masalah sama Naura."
"Enggak. Dia memang anaknya seperti itu."
"Nanti Mas langsung pulang aja, biar Naura nggak ngambek."
"Jadi maksud kamu, kamu ngusir suami kamu?"
"Bukan begitu maksud aku, Mas...."
"Iya-iya ... aku ngerti, kok."
Sebenarnya Nadia juga tidak ingin terlihat sebagai pemain antagonis. Hanya saja, Nadia sama sekali tidak memiliki keberanian hanya untuk sekadar menolak keinginan Farhan. Itu juga yang membuat Farhan makin menyayangi Nadia. Karena Nadia tidak pernah membantahnya.
***
"Kenapa sikap kamu tadi begitu, Sayang?" tanya Niken pada Naura begitu sampai di rumah.
"Naura nggak suka sama Tante itu, Ma...."
"Kenapa?"
"Ya nggak tahu kenapa, Ma. Tante itu memang cantik, kelihatannya baik. Tapi hati aku nggak suka sama Tante itu."
"Jangan diulangi lagi ya, nanti dikira Mama yang nggak ajarin kamu sopan santun. Boleh kita nggak suka sama orang, tapi nggak begitu juga."
"Iya, Ma, maafin Naura, ya," ucap Naura kemudian memeluk wanita yang paling disayanginya itu.
***
Suara mobil Farhan terdengar. Niken ke depan untuk membukakan pintu. Ayah dua anak itu masuk dengan Aira dalam gendongannya.
"Di mana Naura?" tanya Farhan.
"Lagi mandi, Mas," jawab Niken.
Farhan melenggang begitu saja meninggalkan Niken menuju kamar Aira.
Begitu masuk kamar, Naura tampak sedang menyisir rambut. Farhan membaringkan Aira di ranjang.
"Naura, Ayah ingin bicara!" ucap Farhan saat melihat Naura menurunkan handle pintu.
"Ada apa, Yah?" jawab Naura dengan malas.
"Ayah tidak suka sikap kamu seperti tadi."
"Kenapa, sih, Ayah berlebihan banget?!"
"Apanya yang berlebihan?"
"Tante itu cuma temen Ayah, tapi kenapa Ayah harus sangat peduli padanya. Sementara ada istri Ayah, ada Mama yang seharusnya lebih Ayah perhatikan!" nada bicara Naura mulai meninggi.
"Kamu berani membentak Ayah?!" Farhan pun ikut emosi mendengar nada bicara putrinya.
"Naura nggak bermaksud membentak Ayah. Naura hanya nggak rela karena Ayah lebih perhatian pada wanita lain dibanding sama Mama," air mata Naura mulai menetes, "padahal dia cuma teman Ayah, nggak seharusnya Ayah seperti itu."
"Nadia memang teman ayah. Ayah menyayanginya, Ayah mencintainya. Dia teman hidup Ayah. Dia juga istri Ayah!"
Naura mendongak, matanya membelalak ke arah Farhan. Ia tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.
***