6. PERMINTAAN NAURA

1795 Kata
"Apa?! Jadi ... jadi Ayah mengkhianati Mama? Naura benci Ayah! NAURA BENCI AYAH!" teriak Naura kemudian berlari ke kamar mandi dan membanting pintu, lalu menguncinya dari dalam. "Kamu nggak boleh seperti ini, Naura! Kamu harus dengar penjelasan Ayah!" Farhan mencoba menggedor pintu, namun Naura tetap tak memberi respons apa pun. Aira yang sedang tidur, terbangun mendengar keributan. "Ayah? Ada apa? Kok Aira dengar ada yang berisik?" tanya Aira sambil mengucek matanya. "Nggak ada apa-apa, Sayang. Sudah, Aira tidur lagi, ya...." "Aira mau ganti baju, Mama di mana, Yah?" "Ada di luar tadi, Sayang." Aira keluar dari kamarnya mencari keberadaan Niken. Niken yang sedari tadi mendengar pertengkaran Farhan dan Naura, langsung berlari menuju dapur sebelum suaminya tahu jika Niken mendengar semuanya. "Ma ... Mama...," panggil Aira. "Iya, Sayang?" "Aira mau ganti baju." "Sini, Mama lap dulu ya biar nggak bau asem." "Iya, Ma...." *** Setelah menunggu Naura tak kunjung keluar, Farhan memilih untuk keluar. Di ruang tengah, Farhan melihat Niken sedang menyuapi Aira sambil menonton televisi. "Mana Naura, Mas?" tanya Niken pura-pura tidak tahu bahwa suami dan anaknya telah bertengkar hebat. "Di kamar mandi tadi. Ini gara-gara kamu!" ucap Farhan tajam. "Gara-gara aku? Memangnya ada apa?" "Harusnya kita memeberitahu tentang Nadia sejak awal." "Oh ... Nadia. Bisa kita bahas nanti, setelah Aira tidur?" "Ck." Pertanyaan Niken hanya dijawab Farhan dengan decakan. Setelah itu, Farhan meninggalkan Niken ke kamarnya. "Udah kenyang, Ma," ucap Aira yang membuat Niken tersadar dari lamunannya saat memperhatikan punggung suaminya berjalan ke arah kamar. "Sudah kenyang?" "Iya, Aira ngantuk lagi." "Ya udah, Aira ke kamar. Mama naruh piring dulu ke dapur. Nanti Mama nyusul." "Oke, Ma," jawab Aira kemudian berlari ke kamarnya. Setelah menaruh piring dan gelas kotor di tempat cucian piring, Niken menyusul Aira. Tidak menemukan Naura di sana, Niken memperhartikan pintu kamar mandi yang tertutup. Niken menyesalkan kenapa Naura harus tahu semuanya, kenapa Naura harus ikut diterjunkan ke kubangan masalah rumah tangganya. Niken ikut merebahkan diri di samping Aira. Sambil mengusap-usap kepalanya, juga menepuk-nepuk pelan p****t Aira agar putri bungsunya itu dapat cepat tertidur, setelah sebelumnya melafazkan doa sebelum tidur. Tak lama, Aira sudah kembali ke alam mimpi. Niken memastikan pintu kamar Naura telah tertutup rapat, kemudian menguncinya. Lalu menghampiri kamar mandi dan mengetuk pintu. "Sayang, Naura ... ini Mama, Nak, keluar, ya!" Mendengar itu Naura langsung membuka pintu. Setelah pintu terbuka, Naura langsung menubruk tubuh mamanya. "Mama, ayo kita pergi aja dari sini, Ma. Ayah udah jahat sama kita. Ayah udah jahat sama Mama," ucap Naura dibarengi dengan isakkannya. "Ssssstttt, Naura nggak boleh ngomong gitu." Mau tidak mau air mata Niken pun ikut membanjiri Pipinya. "Apa Mama udah tahu kalau Ayah menikahi wanita itu?" Hanya anggukan pelan yang Niken berikan sebagai jawabannya. "Kenapa Mama mau? Kenapa Mama juga nggak bilang ke Naura?" "Sayang ... kamu tidak perlu ikut memikirkan masalah itu. Yang penting, Ayah masih sayang sama kalian. Masih sayang sama Naura, sama Aira." "Tapi bagaimana dengan perasaan Mama?" "Sayang, Mama nggak apa-apa. Sekarang tugas kamu adalah membuat Mama dan Ayah bangga. Kamu nggak perlu memikirkan hal yang tidak penting, yang hanya akan mengganggu sekolah kamu." "Naura nggak rela Mama disakitin. Dari jaman kita susah, Ayah udah sering nyakitin Mama. Mama masih aja bertahan, tapi kenapa sekarang di saat seharusnya kita udah bahagia, Ayah justru menikahi wanita lain?" Niken meregangkan pelukannya. Kemudian, menghapus air mata Naura dengan ibu jarinya. "Sayang, Naura tahu 'kan, kalau Ayah memang seperti itu? Jadi tidak perlu diambil hati. Masalah Tante Nadia, biar itu menjadi urusan mereka. Yang penting, kita tetap bahagia, 'kan. Jangan karena masalah ini, Naura jadi jauh sama Ayah. Justru Naura harus tunjukkan ke Ayah, bagaimanapun Ayah, Naura tetap sayang sama Ayah." "Apa Mama bahagia?" "Buat Mama, kebahagiaan Mama adalah ketika kalian, anak-anak Mama bahagia. Jadi sudah, ya, mulailah masa bodoh dengan apa yang bukan menjadi urusan kita. Mama nggak mau, anak Mama dewasa sebelum waktunya." "Naura sayang Mama," ucap Naura kemudian memeluk mamanya lagi dengan erat. "Mama juga saaaaayaaaang banget sama Naura." Niken pun membalas pelukan sang putri tak kalah erat. *** "Ini salah kamu!" sembur Farhan begitu Niken memasuki kamar. "Salahku, Mas?" tanya Niken. "Iya, harusnya sejak awal kamu mengenalkan Nadia pada anak-anak!" "Aku hanya tidak ingin menyakiti anak-anak, Mas." "Menyakiti anak-anak? Mereka tidak akan merasa tersakiti kalau kamu menjelaskannya pelan-pelan, tanpa kamu harus menjelek-jelekkan aku ataupun Nadia!" "Maksud Mas, aku menjelekkan Mas pada anak-anak?" "Bisa jadi, kalau tidak bagaimana mungkin Naura akan seberani itu padaku." "Mas, Naura bukan anak kecil lagi yang hanya bisa menangis saat melihat orang tuanya bertengkar!" "Apa tadi kita bertengkar? Kita baik-baik saja!" "Harusnya Mas tidak perlu terlalu menunjukkan perhatian Mas pada Nadia di depan anak-anak!" "Tapi dia istriku!" "Apa Mas lupa, kalau aku juga istri Mas?" "Aku lelah mengadapimu!" Setelah mengucapkan itu Farhan menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Niken hanya bisa menghela napas, sudah terbiasa baginya menghadapi sifat dan sikap keras Farhan. *** Pagi itu mereka sarapan tanpa suara. Hanya ada suara sendok garpu yang beradu dengan piring yang mendominasi. Aira pun tampaknya sedang puasa berbicara, karena tadi kakaknya mendiaminya saat Aira bertanya. Bukan marah pada Aira, tetapi Naura hanya masih kesal pada ayahnya. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi Naura, akan mendiamkan orang-orang di sekelilingnya saat merasa kesal. "Aira kenapa? Kok manyun?" Niken mencoba mencairkan suasana dengan bertanya kepada putri bungsunya. "Aira lagi marah!" jawab Aira ketus. "Marah? Kenapa? Marah sama siapa?" tanya Niken lagi. "Tuh si Kakak! Aira nggak salah, tapi Kakak marah ke Aira!" "Emang iya, Kak?" kini Niken bertanya pada Naura. "Ih, siapa juga yang marah...." "Buktinya tadi diem aja pas Aira tanya!" "Ya maaf, tadi Kakak lagi kesal." "Kesal sama siapa? Kenapa Aira dibawa-bawa?!" "Kesel sama teman, Dek," jawab Naura sambil melirik Farhan yang sedang mengunyah sarapannya dengan santai. "Ya sudah, kalau kesel sama teman, Aira jangan dibawa-bawa!" "Iya ... iya...." "Nah gitu dong, kalian itu saudara nggak boleh berantem. Ok?!" "Ok, Ma!" jawab Naura dan Aira sambil mengangkat jempolnya. *** Usai sarapan, Naura dan Aira ke sekolah bersama Farhan. Setelah Aira sampai di depan gerbang sekolahnya, ia turun dari mobil setelah sebelumnya pamit kepada ayah dan kakaknya. "Pindah ke depan, Naura!" pinta Farhan. Namun, Naura diam saja. "Kamu dengar perintah Ayah, 'kan?" "Ck." Dengan terpaksa Naura pindah ke jok depan. "Kamu masih marah sama Ayah?" tanya Farhan ketika Naura sedang memasang safety belt. "Apa perlu dijawab?!" "Kamu, sama Ayah sendiri kok kaya gitu?! Nggak sopan." "Sampai kapan Ayah akan terus nyakitin Mama? Sampai kapan Ayah tidak menghargai Mama?" "Kamu masih kecil, jangan terlalu ikut campur urusan orang tua!" "Iya, bagi Ayah mungkin aku memang masih kecil. Tapi mata dan telingaku sudah cukup mengerti untuk menjadi saksi bagaimana sikap Ayah ke Mama selama ini!" "Kamu hanya belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi." "Terserah Ayah mau ngomong apa, tapi aku sudah cukup mengerti jika apa yang Ayah lakukan itu salah!" "Dari mana salahnya? Mamamu saja mengizinkan ayah menikah lagi, kenapa kamu yang harus mempermasalahkan. Kamu masih anak-anak, cukup pikirkan sekolahmu. Jangan ikut campur, jangan hanya karena masalah orang tua, sekolah kamu berantakan." Naura lelah menangggapi. Ia memilih untuk diam memperhatikan sibuknya suasana jalan raya di pagi itu. "Hari Minggu besok, kita jalan-jalan?" Farhan bertanya pada Naura, tapi yang ditanya lagi-lagi diam saja. "Kita jalan-jalan berlima. Biar kamu dan Aira lebih mengenal Tante Nadia. Dia baik kok, orangnya." Mobil Farhan berhenti tepat di depan gerbang sekolah Naura. "Mungkin bagi Ayah dia baik. Tapi buatku, tidak ada wanita baik yang mau merusak rumah tangga orang lain," ucap Naura tajam sebelum turun dari mobil. Setelah itu ia turun kemudian membanting pintu dengan kencang. Farhan tidak ambil pusing dengan ucapan putrinya. Baginya apa yang diucapkan putrinya, hanyalah sebuah kekekasalan anak kecil. *** "Biar aku bantu, Mbak." Nadia mencoba menawarkan Niken bantuan saat Niken sedang membantu pegawainya di dapur. Niken tak menjawab. Ia justru melenggang pergi dari dapur meninggalkan Nadia bersama pegawainya. "Mbak Niken itu sebenarnya orangnya kaya gimana sih, Mbak?" tanya Nadia pada salah satu pegawai Niken yang sedang sibuk menggoreng ikan. "Kenapa?" "Waktu awal saya bertemu, orangnya ramah. Tapi makin ke sini kesannya dingin." "Aslinya orangnya ramah. Sangat baik. Penyabar. Mungkin beliau seperti itu, karena perasaan beliau." "Maksud Mbak?" "Mana ada wanita yang rela dimadu, Mbak." "Tapi waktu itu Mbak Niken yang menemui saya dan memberi izin." "Saya tidak tahu masalah itu, Mbak. Karena saya juga orang luar. Tapi sebagai wanita, saya juga ikut berempati pada Bu Niken. Beliau yang selalu menemani Bapak dari nol. Dari yang tidak punya apa-apa, mendapat cibiran sana-sini, tinggal di kosan sempit. Sampai akhirnya seperti ini. Mbak bisa lihat bagaimana penampilan Bu Niken. Beliau tetap dengan kesederhanaannya. Tapi kenapa Bapak begitu tega menikah lagi. Padahal menurut kami, tidak ada yang salah dengan Bu Niken. Beliau tidak pernah menyusahkan suami. Maaf ya Mbak, saya nggak bermaksud...." "Iya, Mbak. Saya mengerti kok, Mbak...." Pembicaraan Nadia dengan salah satu pegawai Niken, terus saja terngiang di telinga Nadia. Rasa bersalah mulai hinggap di hatinya. *** Hari Minggu tiba. Farhan mengajak Niken dan kedua anaknya untuk pergi ke kebun binatang. Awalnya Niken enggan, karena ia sudah tahu Farhan mengajak Nadia. Tetapi karena Aira begitu antusias, Niken dan Naura mengalah untuk ikut serta. "Mama duduk di depan, Ma!" dengan suara lantang, Naura menyuruh Niken untuk duduk di samping ayahnya di jok depan. Niken menurut. Farhan juga diam saja dengan hal itu. Naura sengaja melakukan itu karena ia tidak ingin melihat ayahnya mesra dengan wanita lain. Meskipun wanita itu juga istri ayahnya. Sesampainya di depan rumah Nadia, Naura mengatakan pada Farhan bahwa ia ingin buang air kecil. Farhan pun mengizinkannya untuk turun. Nadia yang sudah menunggu di depan pintu rumah, akhirnya kembali masuk rumah untuk menemani Naura ke toilet. Di dalam mobil, Niken mencoba untuk tetap tenang. Ia harus berusaha menahan emosinya di depan Farhan. "Aku harap, kamu mau memberikan waktu pada Nadia untuk dekat dengan anak-anak," pinta Farhan. "Asal jangan pernah mencoba untuk menggantikan posisiku di mata anak-anak!" "Itu tidak perlu kamu khawatirkan. Nadia tidak sejahat itu. Aku hanya ingin keluarga kita bahagia. Jadi kamu harus membantu." Niken tak menanggapi, ia hanya berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Mencoba menahan air mata agar tidak jatuh di depan suaminya. *** "Udah, Ra, buang air kecilnya?" tanya Nadia dengan ramah. "Aku hanya ingin minta ke Tante. Tolong tinggalkan Ayah, Tante!" "Maksud kamu?" "Aku yakin, Tante tahu maksud aku. Mamaku sudah cukup menderita, Tan. Di saat seharusnya bisa memetik kebahagiaan, Tante malah hadir. Dan Ayah malah menikahi Tante!" "Tante nggak bermaksud kaya gitu. Tante nggak tahu kehidupan kalian, Tante pikir kalian hidup bahagia." "Omong kosong, Tan!" Suara klakson mengagetkan mereka. "Tolong pikirkan apa yang tadi aku katakan, Tan!" Setelah itu mereka keluar bersama. Berakting seolah tidak ada apa-apa di antara mereka. Sepanjang perjalanan, Nadia terus saja diam. Ia memikirkan pembicaraannya dengan pegawai Niken beberapa hari lalu. Juga pembicaraannya dengan Naura tadi. Mengetahui kenyataan kehidupan Niken yang sebenarnya, membuatnya ingin mundur. Tetapi sesuatu yang baru saja ia ketahui, membuatnya harus bertahan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN