Gadis Pelayan Toko

1660 Kata
Sesuai yang dikatakan oleh Naura, bahwa dia akan kembali ke toko cat di sore hari. Tepat pukul 3 sore, dia sampai di toko milik Dimas membawa serta camilan untuk para karyawan. Gadis itu bahkan membantu melayani pembeli ketika para karyawan kewalahan. Saking seringnya membeli cat dia sampai hafal merek cat terbaik dan warna yang menjadi best seller. "Kamarnya ukuran berapa?" tanyanya pada salah seorang pembeli. "Kecil, Kak. Rencananya Aku mau renov kos-kosan." "Oh, buat kos ya. Kalau begitu Aku punya beberapa rekomendasi warna yang akan membuat ruangan sempit terkesan luas dan terlihat aesthetic." Naura membuka galeri pada ponselnya, lalu memperlihatkan kamar para ART-nya di rumah. Kebetulan bulan lalu dia baru saja merenovasi ulang kamar-kamar itu. "Ini after dan yang ini before-nya," ujar Naura sembari menggeser layar ponsel. "Wah, bagus sekali Kak. Budget habis berapa ini?" tanya pembeli dengan tersenyum. Senang dengan pelayanan yang diberikan oleh Naura. "Low budget ini mah. Kalau Kakak berminat nanti aku kasih link pembelian barang-barang yang ada di foto ini." "Sekalian bantuin dekor gimana Kak?" "Beneran? Aku ini tukang dekor abal-abal loh." "Abal-abal gimana? orang bagus banget gini dekornya." Akhirnya, Naura merekomendasikan merk cat dan warna yang bagus untuk kosan. Dia pun membantu pelanggan itu mendekor kamar agar barang-barang terlihat rapi. Naura paling pandai mengambil hati orang. Sikapnya yang selalu ceria dan ramah membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Meski orang itu tak mengenalnya. "Terima kasih, Kak. Sudah dibantu secara gratis," ujar pelanggan. "Sama-sama, jika ada kesulitan atau ada yang ingin ditanyakan langsung hubungi toko kami. InsyaAllah, kami siap membantu," jawab Naura. Dimas memanggil Naura setelah pelanggan yang dilayaninya pergi. Meminta gadis itu masuk ke dalam ruang kerjanya. Ada hal penting yang harus ditanyakan. Karena menurut Dimas hanya Naura yang dapat membantu. "Ada apa, Ai?" "Duduk dulu. Aku akan membuatkan es jeruk untukmu." "Banyakin esnya dan kurangi gulanya." Naura mengatakan itu tanpa sungkan. Malah menyunggingkan senyuman lebar. Hingga deretan gigi rapinya terlihat. "Hmmm." gumam Dimas sebagai jawaban. Sembari menunggu es jeruk jadi, Naura mengambil iPad milik Dimas yang tergeletak di atas meja, kebetulan layarnya tak terkunci dan masih menyala, menampilkan beberapa kos-kosan yang tak jauh dari kampus mereka. Ternyata Dimas benar-benar akan pindah kos. Karena skripsinya hampir selesai dan dosen pembimbingnya sangat sibuk. Sering merubah jadwal bimbingan sesuai waktu senggangnya. Maka dari itu dia harus selalu stand by di kos. "Ai, kamu kok pilih kosan bebas?" tanya Naura saat Dimas telah duduk di kursi single. "Hanya tersisa kost bebas untuk bulan ini. Kos khusus pria semuanya penuh," terang Dimas. "Kalau begitu lebih baik kamu ngekos saja di kosan temen aku. Disana bebas tapi tertib. Lingkungannya juga nyaman jadi kamu bisa fokus mengerjakan skripsi," tawar Naura, dan Dimas memang membutuhkan referensi kosan yang nyaman. "Pacar kamu itu?" Dimas malah membahas hal yang tak penting. "Ah, maaf. Lupakan pertanyaanku barusan." Naura memicingkan kedua matanya ke arah Dimas. "Ai, jangan bilang kamu cemburu!" Bukan Dimas namanya jika tak pandai mengelak. Bukannya menjawab justru sibuk dengan ponselnya. Sementara Naura tertawa girang, senang melihat Ayang-nya cemburu. "Ini kosannya. Di dalam perumahan, jadi tidak sembarang orang bisa masuk," kata Naura lagi sambil memberikan iPad pada pemiliknya. Dimas meletakkan ponselnya pada meja. Lalu melihat-lihat kos milik teman Naura. Cukup bagus menurutnya dan lingkungannya pun bersih. "Luas juga kamarnya. Lengkap dengan dapur, mesin cuci dan tempat jemuran. Kayak mini apartemen." "Harganya lumayan pricey tapi menurutku worth it dengan segala fasilitas yang didapat." "Apa masih ada kamar yang kosong?" "Ada dua kamar. Kemarin aku baru tanya. Dan, ada potongan harga jika kamu membayar langsung 3 bulan." "Kamu marketing kos-kosan?" Naura terkekeh pelan mendengar pertanyaan dari Dimas. Bisa-bisanya dikatai sebagai marketing kosan. "Asal kamu tahu ya Ai, aku tuh sebenarnya sibuk, tapi aku menyempatkan waktu di sela kesibukanku untuk melihat keadaanmu," terangnya kemudian. "Ada nomor yang bisa aku hubungi?" tanya Dimas lagi tanpa peduli dengan ucapan Naura barusan. "Aku sudah mengirimnya. Tolong buka dan jangan diabaikan." Dimas mengernyitkan keningnya. Bingung, karena dia tak merasa telah mendapatkan pesan dari Naura. "Kapan?" "Dih, orang aku udah kirim nomor temanku kemarin. Pasti nggak dilihat. Ckck, kebiasaan buruk," omel gadis itu, kemudian mengirim ulang nomor temannya. Selagi, Dimas berbalas pesan dengan pemilik kosan. Naura meminum es jeruk buatan Ayang sambil menyantap camilan yang ada di atas meja. Ruang kerja Dimas sangat rapi, dan juga wangi. Ada kamar pribadi berukuran kecil yang biasa dipakai olehnya untuk beristirahat sejenak. Kadang jika malas pulang ke kosan, Dimas akan menginap di toko, karena dia tak memiliki tujuan pulang ketika lelah bekerja. Kedua orang tuanya telah meninggal. Perusahaan milik keluarganya direbut oleh orang kepercayaan Papi-nya. Hingga dia harus bertahan hidup dengan tabungan yang telah dipersiapkan oleh orang tuanya. "Kenapa kamu tidak tinggal saja di rumah Om Restu lagi?" tanya Naura. Dimas melirik sejenak gadis yang ada di depannya, lalu kembali fokus pada iPad. "Kamu pasti tahu jawabannya." "Om Restu dan Tante Tania pasti sedih melihatmu luntang-lantung seperti tak memiliki keluarga." "Memang seperti itu keadaannya. Mereka berhak berbahagia dengan anak-anaknya. Aku sebagai orang luar harus sadar diri." Naura menghela nafas perlahan, tak melanjutkan pembicaraan tentang orang tua angkat Dimas. Kehidupan lelaki itu memang sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya. Jika, Naura sejak kecil dilimpahi kasih sayang oleh Bunda dan Papanya. Beda dengan Dimas yang harus berjuang seorang diri setelah kepergian Mami dan Papinya. "Ayo, temani aku melihat kosan," ajak Dimas saat Naura sedang melamun. *** Naura yang paling antusias ketika Dimas memutuskan ngekos di kosan temannya. Bahkan dia tak tanggung-tanggung meminta diskon besar karena p********n langsung lunas selama 3 bulan kedepan. Padahal yang akan tinggal di sana merasa harga yang diberikan oleh pemilik kosan masih termasuk murah. Dan, tidak ada niatan untuk meminta diskon. "Aku tidak suka dengan warna catnya. Terlalu suram dan memuat suasana hati mendung. Kayaknya sebelum pindah kamu harus merenovasi kamar." "Tidak perlu melakukan renovasi. Aku hanya akan tinggal di sini saat ada jadwal bimbingan. Karena hari-hariku habis di toko cat dan sering menginap di sana." "Harus tetap dicat ulang. Kamu tuh jangan pelit dengan diri sendiri. Kenyamanan itu yang paling utama. Jika kamar yang kita tempati nyaman pasti kualitas tidur terjaga dengan baik." Panjang lebar Naura menjelaskan mengenai manfaat menjaga kualitas tidur. Dimas terpaksa mendengarkan dan mengiyakan semua yang dikatakan oleh gadis itu. Selesai bicara, Naura menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Merentangkan kedua tangannya sambil berkata, "Nyaman sekali kasurnya." Sementara Dimas melihat isi laci dapur. Ternyata tak hanya kompor dan gas, pemilik kosan juga menyediakan alat makan. Benar yang dikatakan oleh Naura, jika kosan temannya sudah lengkap, tinggal bawa badan dan baju saja ketika pindahan. "Aku akan mengantarmu pulang," ujar Dimas. Naura membalik badannya menjadi tengkurap. Menolak diantar pulang karena mau membantu Ayang pindahan. "Ra, Om Gio pasti marah jika kamu terlambat pulang." "Aku pergi sudah bilang sama Papa. Bakal bantuin kamu dan pulang saat jam makan malam." "Aku hanya perlu membawa pakaian. Jadi tidak perlu dibantu." "Lemari es kamu masih kosong. Terus, perlengkapan mandi juga belum ada. Aku akan menemaniku belanja." "Besok saja belanjanya. Setelah mengantarmu, aku akan kembali ke toko." Naura beranjak dari kasur, lalu menarik tangan Dimas menuju ke arah pintu. "Kita ke supermarket sekarang. Jangan banyak alasan!" Dimas seperti anak SMP yang baru pertama kali ngekos. Perlakuan Naura membuatnya sedikit kesal. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Motor besar miliknya terparkir di depan gerbang kosan. Karena saat dia datang tadi halaman kos sedang dibersihkan. Untungnya tak ada mobil milik penghuni kos yang keluar. "Nanti aku bakal sering ke sini. Soalnya nongkrong di cafe terus bosan." "Gak boleh main ke kosan pria!" Naura diam seperti patung saat Dimas memakaikan helm. Hanya dua mata bulatnya saja yang berkedip. Jarak mereka saat ini sangatlah dekat membuat jantung gadis itu berdetak dengan cepat. "Jaket kamu mana?" tanya Dimas ketika tak melihat jaket Naura. "Tadi Aku diantar sama sopir. Lupa nggak bawa jaket," jawabnya. Dimas membuka resleting jaketnya, lalu melepas dan memakaikan pada Naura. Matahari masih terik meski hampir pukul 5 sore. Jika tak memakai jaket dia takut kulit Naura gosong. Ya, meskipun gadis itu memakai pakaian syar'i. "Terima kasih, Ai." Naura naik ke atas motor, lalu memeluk ransel yang ada di belakang punggung Dimas. Ransel itu berfungsi sebagai penyekat diantara keduanya. Juga sebagai pegangan Naura agar tidak terjungkal ke belakang. Karena gadis itu sering mengantuk saat dibonceng menggunakan motor. "Ai, nanti mampir sebentar ke apotek ya." "Mau beli apa?" "Obat anti nyeri. Perut aku tiba-tiba sakit. Kayaknya mau kedatangan tamu bulanan." Dimas tak menjawab, namun memelankan laju motornya, memutar arah menuju ke apotek terdekat. Sedangkan Naura mengeratkan pelukannya pada ransel. Wajahnya sesekali meringis kesakitan. Perutnya mulai terasa kram sekaligus nyeri. "Ra, kamu tidur?" tanya Dimas setelah sampai di depan apotek. Naura menggelengkan kepala, matanya terpejam namun dia tidak tidur. "Sudah sampai supermarket ya. Ah, aku tak melihat jalan." "Belum, kita ke apotek dulu untuk membeli alat kompres dan obat," jawab Dimas. Dimas turun dari motor lebih dulu, setelahnya baru membantu Naura, kemudian meminta gadis itu agar duduk di kursi depan apotik. Dia yang akan masuk ke dalam untuk membeli keperluan Naura ketika kedatangan tamu bulanan. "Selamat sore Kak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya karyawan apotek. Dimas memasang wajah datar ketika para perempuan di sekitarnya menatap penuh minat. "Saya mau beli alat kompres perut, obat anti nyeri datang bulan dan pembalut," ujarnya kemudian. Karyawan apotek mengulum senyum. Jarang ada lelaki yang masih muda mau membeli pembalut. "Mau yang ukuran berapa Kak?" "Yang ada sayapnya, ukuran 35 cm." Setelah membayar Dimas bergegas meninggalkan apotek. Tak ada senyum ramah yang biasa dia tunjukkan pada pelanggan tokonya. Meskipun begitu para wanita yang ada di apotek tadi masih menatapnya dengan takjub. Melihat Naura memegang perutnya sambil meringis kesakitan, membuat Dimas sedikit cemas. "Masih bisa naik motor?" "Bisa kok, tapi kayaknya aku tembus deh Ai." "Kita cari SPBU terdekat. Aku sudah memberikan pembalut." Naura tak kaget, karena bukan kali pertama Dimas membeli kebutuhan pribadinya. "Iya," jawabnya lirih. Dengan sabar Dimas memakaikan helm juga membantu Naura naik ke atas motor. Setelah memastikan gadis itu duduk dengan nyaman. Barulah dia menjalankan motor besarnya. "Pegangan yang erat dan sandarkan kepalamu pada punggungku," titah Dimas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN