Nervous but I Like

1036 Kata
Ilsung tidak bisa menggambarkan perasaannya ketika langkah kakinya benar-benar menuju ke arah panggung. Jantungnya berdebar sangat kencang. Dia tidak tahu harus bagaimana, awalnya dia ingin berjalan mundur dan lari dari panggung ini. Namun itu semua tidak semudah yang dia bayangkan. Entah kenapa sorakan orang-orang yang mengharapkan dia tampil di atas panggung membuatnya sangat senang hingga tanpa sadar dia tengah berada di atas panggung sekarang. Ketika Ilsung sadar bahwa dirinya tengah berada di atas panggung sekarang, lelaki itu mendadak membeku di tempat. “Apa yang harus aku lakukan,” batin Ilsung. “Halo, terima kasih sudah mau mengiringiku bernyanyi. Siapa namamu?” Sang penyanyi menyodorkan mic ke arah Ilsung. Tangan Ilsung mendadak gemetar. Ilsung mencoba mengatur detak jantungnya sendiri. Anak itu menerima mic dengan tangan gemetar. “Namaku Ilsung. Kim Ilsung.” Gumamnya dengan tangan gemetar. Sang penyanyi melirik Ilsung yang tengah gugup, “Jangan gugup, aku tidak menggigit kok,” gumamnya sambil tersenyum. “Apa kau bisa bermain piano?” Tanya sang penyanyi. Dia bernama Haru, Kim Haru. Setelah memperkenalkan diri Haru akhirnya mengajak Ilsung berbincang. Ilsung kembali mengangkat micnya, “Aku bisa, namun aku tidak begitu mahir,” tukas Ilsung. Kemudian keduanya berdikusi tentang lagu apa yang akan mereka bawakan. Haru memilih lagu yang berjudul Blue dari Bigbang. Kebetulan Ilsung juga penggemar Bigbang jadi dia hafal not lagu hampir separuh lagu Bigbang Ilsung tahu. Ilsung sudah duduk di depan piano. Mereka memang berencana membawakan lagu Bibbang versi piano version. Tangan ilsung sudah berada di atas tuts, lelaki itu menarik napas. “Tuhan tolong bantu Ilsung,” batinnya berdoa sebelum jemarinya menyentuh tuts. Seperti sebuah keajaiban jemari Ilsung menari dengan lincah di atas tuts piano. Rasa gugup yang sejak tadi mendera dirinya pelan-pelan menghilang. Semua orang tampak fokus memperhatikan Ilsung. Beberapa orang yang tertarik dengan penampilannya. … Suara merdu Haru tampak harmonis dengan nada yang dimainkan oleh Ilsung. Untuk pertama kalinya Ilsung merasakan yang namanya gugup dan senang dalam waktu yang bersamaan. Orang-orang tampak turut bernyanyi dengan mereka. Ilsung menyukai suasana ini dan rasanya setelah sekian lama dia menemukan apa yang dia suka. Awalnya dia pikir bermain piano hanya hal yang dia suka, tapi sejak saat itu Ilsung berpikir bahwa dirinya bukan hanya suka main piano. Ilsung mulai suka berada di atas panggung dan membawakan musik yang dia suka. Tangannya seperti tersihir dan memainkan piano dengan sendiri. Rasanya seperti sesuatu yang ajaib dan Ilsung akhirnya menemukan jawaban kenapa dia menyukai piano, karena dia menyukai musik dan ingin membawakan musiknya di atas panggung suatu hari nanti. *** Lisya tampak tak percaya dengan keinginan Hajoon. Perempuan itu tampak berkaca-kaca ketika Hajoon bilang bahwa dia ingin mulai belajar lagi. Hampir dua tahun Hajoon berjuang melawan Anxiety dan Panic Attack yang dia derita. Sulit baginya untuk bertemu dengan orang asing maupun belajar di sekolah. Dulu Hajoon sama seperti anak lain.Dia normal dan suka bergaul dengan yang lain. Namun setelah kejadian mengerikan itu Hajoon tidak dapat lepas dari bayang-bayang ketakutan yang membuatnya tidak bisa bertemu dengan orang banyak. “Kamu yakin dengan keputusanmu?” Tanya Lisya. Hajoon yang tengah duduk di sofa mengangguk, tak ada keraguan di matanya. “Sudah lama aku tidak belajar, Ma. Aku juga masih ingin lulus High School” tukas Hajoon. “Oh my God, aku senang sekali mendengarnya,” Lisya tidak dapat menutupi kebahagiaannya, wanita itu memeluk Hajoon dengan erat. “Baiklah aku akan segera mencarikan guru privat untukmu,” tukas Lisya. Lisya tahu bahwa putranya belum siap untuk belajar di sekolah umum. Hajoon masih butuh waktu buat pulih. Setelah dua tahun mendampingi Hajoon berobat rasanya Lisya benar-benar bangga pada putranya bahwa dia akhirnya bisa melalui titik terburuknya. Dulu setiap kali bertemu dengan orang asing tubuh Hajoon akan gemetar dan berkeringat dingin. Anak itu pasti hanya akan bertahan kurang dari lima belas menit di dalam satu ruangan dengan orang asing. Setelah kejadian tempo hari, meski pada akhirnya Hajoon dan Ara sempat saling mendiamkan, tapi Lisya cukup berterima kasih untuk ide Ara saat itu. Hajoon mulai pelan-pelan mengurangi obat yang dia minum. Lisya melepaskan pelukannya dan menatap Hajoon dengan tatapan bangga, “Maafkan mama ya HaJoon, mungkin mama tidak seharusnya mengajak kamu pindah ke sini,” tukas Lisya dengan nada menyesal. Hajoon menggeleng. Dia tidak akan menyalahkan siapapun atas semua hal yang menimpanya. Semua itu bukan salah Lisya. Apa yang terjadi padanya di masa lalu adalah sebuah pelajaran dan bukan kesalahan siapapun “Bukan salah mama dan aku harap mama berhenti menyalahkan diri sendiri.” Ujar Hajoon. Tring! Bunyi pesan berdenting di hape Hajoon. Bukan hanya sekali sejak dia memulai pembicaraan dengan Lisya hapenya terus bergetar. Aneh sekali. Padahal Hajoon tidak punya teman yang suka mengiriminya pesan. Jika bukan karena Lisya dan Ara mungkin Hajoon tidak akan menggunakan handphone karena hari-harinya selalu dipenuhi dengan game PC dan dia merasa tidak terlalu membutuhkan hape. “Apa kau punya pacar? Kenapa hapemu berbunyi terus sejak tadi,” tukas Lisya gemas. Hajoon cepat-cepat menggeleng, jangankan punya pacar untuk saat ini dia bahkan tidak dekat dengan gadis manapun saat ini. Hari-harinya hanya terisi dengan shooting game dan permainan game video lainnya. “Aku tidak punya pacar, Ma,” gumam Hajoon mencoba meyakinkan sang mama. Lisya termasuk ketat dalam peraturan berkencan untuk anaknya. Dia ingin Ara dan Hajoon fokus belajar dan mengembangkan diri terlebih dahulu baru kemudian mereka boleh pacaran. Mungkin ini terdengar kuno tapi Ara dan Hajoon masih terlalu mudah untuk menjalin hubungan. Dia tidak ingin anaknya terluka karena hubungan sesaat. Namun Lisya tidak melarang jika sang anak menyukai seseorang karena itu hal yang wajar. “Baiklah kalau begitum aku akan segera mencarikan guru yang bagus untukmu Hajoon. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah ya,” ujar LIsya mengusap puncak kepala Hajoon. Anak itu mengangguk. Hajoon merogoh hape yang berada di kantongannya. Anak itu menatap hapenya dengan tatapan aneh. “Kenapa pemberitahuan youtubeku banyak sekali?” Hajoon mengerutkan keningnya. Hajoon tidak pernah memposting apapun di channel Youtubenya.D ia membuat channel hanya untuk menyimpan draft video miliknya. “What the heck!” Iris mata Hajoon melebar ketika sebuah video cove miliknya tengah berada di halaman depan channelnya dengan 200.000 views dan lebih dari seribu orang menyukainya. Hajoon kembali mengingat-ingat apa dia pernah mengunggah video tersebut? Namun semakin dia ingat dia benar-benar yakin tidak pernah mengunggahnya. Lalu siapa yang sudah mengunggah videonya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN