Seoul tidak seindah dalam Kdrama yang kalian tonton. Kehidupan di sini begitu keras. Orang-orang sibuk bekerja. Kerja pagi pulang malam, makan-makan hingga minum adalah agenda paling umum yang bisa dilihat dari kehidupan di kota yang selalu menarik perhatian banyak orang ini.
Tujuan utama Hyunsu pergi ke Seoul bukan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tapi dia jelas menghindar dari Hyunjin dan ibunya. Meski selama di Seoul Bibi Jung selalu mengirimkan uang untuknya namun Hyunsu tidak ingin hidup seperti ini. Dia harus tahu diri dan tidak merepotkan Bibi Jung.
"Apa kau makan dengan baik, Nak?" Tukas Bibi Jung di seberang sana. Setiap kali mendengar suara Bibi Jung, Hyunsu seperti mempunyai sebuah keluarga. Keluarga harusnya seperti itu, hangat dan membuatmu nyaman namun Hyunsu tidak pernah mendapatkan itu dari keluarganya sendiri.
"Aku makan dengan baik, Bi. Apa bibi makan dengan baik juga?" tanya Hyunsu pada Bibi Jung.
"Tentu saja, kau tidak perlu khawatir akan itu. Jangan terlalu berhemat kau boleh memakai uang yang kukirimkan untuk membeli kebutuhan belajarmu. Daganganku sangat laris di sini jadi aku dapat banyak uang sekarang. Hyunsu, " bohong Bibi Jung. Sebenarnya kondisi keuangan Bibi Jung sedang tidak bagus. Akhir-akhir ini tidak banyak pembeli datang ke kedainya. Namun Bibi Jung tetap berjualan . Dia sudah menganggap Hyunsu seperti putranya sendiri. Dia tidak akan membiarkan Hyunsu terlantar di Seoul.
Sementara itu Hyunsu tidak pernah memakai uang pemberian dari Bibi Jung. Bibi Jung sudah membantunya terlalu banyak bahkan membantu biaya sekolahnya . Hyunsu tidak ingin berhutang lebih banyak lagi. Anak itu berpikir untuk segera mendapatkan pendapatan tambahan dengan mencari pekerjaan sampingan. Hyunsu membiarkan uang dari Bibi Jung tetap berada di dalam rekening, suatu hari Hyunsu bertekad untuk mengembalikannya baik-baik.
“Hyunsu apa kau masih di sana?” Hyunsu terlarut dalam lamunannya hingga tidak sadar tengah mengabaikan Bibi Jung di telepon. Anak itu tergagap.
“Iya, aku masih di sini Bi,” tukas Hyunsu.
“Kau pasti tengah melamun lagi kan? Jangan banyak melamun, kau ini masih muda, jalan hidupmu masih panjang, jangan pikirkan hal-hal yang membuatmu tertekan,” pesan Bibi Jung. Hyunsu mengangguk namun kemudian dia sadar bahwa dia tidak sedang bicara dengan Bibi Jung secara langsung. “Tidurlah Hyunsu ini sudah malam, aku akan menutup teleponnya,” tukas Bibi Jung . Telepon pun tertutup. Hyunsu masih tertegun di tempatnya. Sepertinya dia memang harus segera mencari pekerjaan tambahan.
***
Hyunsu merapatkan jaketnya. Pagi datang di kota Seoul yang mulai sibuk dengan aktivitas penduduknya. Hyunsu menggendong tasnya sambilberjalan menuju keluar gosiwon. Anak itu melirik jam yang ada di hapenya, masih terlalu pagi untuk melamar sebuah pekerjaan. Hyunsu tidak berharap banyak. Dia bersedia untuk bekerja apa saja, yang penting Hyunsu punya uang untuk bertahan hidup di Seoul.
Hyunsu duduk di halte sambil melepas lelah. Semalam dia bergadang untuk belajar. Hyunsu bertekad untuk mendapatkan beasiswa di sekolahnya. Tak ada yang istimewa dengan sekolah barunya di Seoul. Mesli Bibi Jung pernah menawarinya untuk sekolah di salah satu SMA paling bergengsi di Soul namun Hyunsu memilih untuk bersekolah di sekolah biasa. Baginya dimanapun sekolahnya dia tidak masalah.
Hyunsu membuka buku pelajarannya sambil menunggu bus. Kebetulan hari ini sekolah Hyunsu libur, para murid dibebaskan untuk memilih masuk sekolah atau tidak. Ada kegiatan pentas seni di sekolah, Hyunsu memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari pekerjaan part time.
Bus yang ditunggu Hyunsu datang, anak itu segera naik ke bus dan membayar ongkos bus lalu duduk dengan tenang. Lime belas menit berlalu, Hyunsu turun dari bus dan mulai memasuki deretan toko yang ada di kota ini satu per satu.
“Maaf kami tidak bisa menerima karyawan yang masih sekolah. Kau mungkin bisa melamar di tempat lain.”
Hyunsu menarik napasnya kasar ketika lamaran kerjanya ditolak, bahkan mereka tidak melihat CV yang Hyunsu buat sedikit pun. Anak itu paham tidak mudah bagi para pemilik toko mempekerjakan karyawan yang masih sekolah karena ada peraturan yang melarang para pemilik toko menerima karyawan di bawah umur.
Hyunsu mengangguk dan mengambil CV-nya tanpa mengajukan protes. Anak itu berjalan ke luar toko lalu masuk ke supermarket yang berada di sampingnya. Jawaban bernada senada diterima Hyunsu, mereka tidak bisa menerima Hyunsu karena masih sekolah. Hyunsu menarik napasnya. Hingga 3 toko dia masuki, jawabannya tetap sama. Semangat Hyunsu pelan-pelan luntur. Anak itu berada di ambang putus asa. Hyunsu duduk di depan sebuah toko kosong dan merogoh tasnya. Perutnya terasa lapar, namun dia harus berhemat. Hyunsu memutuskan untuk tidak makan siang ini, dia harus berhemat agar bisa bertahan sampai akhir bulan.
Kruk!
Perut Hyunsu berbunyi. Par Hyunsu bisa merasakan rasa lapar yang kini melilit perutnya. Bayangan ramen atau kimbap kini memenuhi pikirannya. Hyunsu mengelus perutnya. “Apa kau lapar?”
Hampir saja Hyunsu terjungkal ke belakang jika dia tidak berpegangan pada ujung kursi. Seorang dengan kaos hitam dan celana robek-robek tengah duduk di sampingnya. Sejak kapan dia duduk di situ? Batin Hyunsu bertanya-tanya. Mungkin karena Hunsu terlalu asyik melamun sehingga di a tidak sadar ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya.
“Kau siapa?” Tanya Hyunsu dengan hati-hati. Dia tidak ingin menyinggung seseorang yang tengah duduk di sampingnya. Jika diamati dia mungkin sumuran dengan Hyunsu. Anak itu tampak santai dan banyak senyum. Dia memakai waist bag berwarna hitam dengan satu pierching menghiasi telinga kanannya.
“Aku Jeyoon, apa kau sedang lapar? Mau makan denganku?”
Kening Hyunsu berkerut, meski Jeyoon tidak terlihat menyeramkan namun Hyunsu tidak ingin percaya begitu saja pada orang yang baru dia temui. Tidak semua orang yang berada di kota ini baik jadi Hyunsu harus waspada.
Hyunsu menggeleng, “Maaf aku tidak ingin makan denganmu,” Hyunsu beranjak dari tempat duduknya dia harus segera lanjut mencari pekerjaan. Jeyoon menatap Hyunsu dengan tatapan datar, lalu dia tersadar akan sesuatu, “Aku tidak bermaksud membuatmu takut, aku bukan orang aneh. Dari tadi aku melihatmu mengelus perutmu sendiri, apa kau sedang lapar? Makanlah denganku, kau tidak perlu khawatir aku yang akan membayarnya,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum. Jeyoon mencoba menahan tangan Hyunsu, tapi Hyunsu menghempaskan tangan Jeyoon. Sekali lagi dia tidak ingin menerima bantuan dari orang lain, dia tidak mau dikasihani.
“Aku sudah bilang padamu bahwa aku tidak ingin makan denganmu, jangan memaksaku,” tukas Hyunsu dengan wajah kesal. Hyunsu berbalik dan beranjak dari sana.
“Apa kau sedang butuh pekerjaan?” tanya Jeyoon yang membuat Hyunsu menoleh. Dia menatap Hyunsu dari atas sampai bawah. Haruskah dia mempercayainya?