DOL.010 ADA AKU DI SINI UNTUKMU
TIFFANY SHERIA
Pada bulan Juli, New York mengalami musim panas. Suhu udara sering kali melebihi 30 derajat celcius. Meskipun keadaan cuaca pada musim ini lebih panas dan lembab dari musim-musim lainnya, namun sesekali hujan pun turun membasahi kota New York yang padat dan selalu sibuk ini. Seperti pagi ini, saat aku hendak keluar apartemen untuk menghadiri Jr Intensive dari Summer Program yang diselenggarakan oleh Joffrey Ballet School, hujan pun turun dengan deras membuatku sulit untuk keluar dari gedung apartemen menuju stasiun subway terdekat.
Saat ini aku yang telah keluar dari apartemen beberapa menit yang lalu, sedang berdiri di depan pintu lobby gedung apartmenku. Aku berdiri sendirian dengan suasana hati yang resah karena hujan yang tak kunjung reda. Pagi ini aku akan pergi ke Joffrey Ballet School bersama Senior Rei yang menjadi mentor utama dalam acara Jr Intensive 3 hari kedepan. Kami akan bertemu di Avenue I Station yang ada di kawasan Brooklyn. Meski sebenarnya stasiun itu cukup jauh dari lokasi Joffrey Ballet School dan apartemenku, namun Senior Rei mengatakan bahwa ia menungguku di sana. Karena sebelum pergi bersamaku, ia harus pergi ke kampusnya yang lain untuk mengurus sesuatu.
Dari pagi hujan turun begitu deras membuatku tidak bisa pergi ke mana-mana dengan leluasa. Kalaupun aku bisa pergi ke stasiun menggunakan payung, namun hujan yang begitu deras ini tetap saja akan membuatku basah sebelum sampai di stasiun terdekat. Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk lobby apartemen menunggu hujan reda. Dan aku menunggu hujan reda sambil mengingat kejadian kemarin sore yang membuatku harus bangun lebih awal dari biasanya.
Jika bukan karena ucapanku kepada Brenda yang salah grup saat mengirim pesan kemarin sore, mungkin pagi ini aku masih bisa tidur nyenyak di apartemen seperti yang Brenda lakukan saat ini. Namun ucapanku kemarin sore seolah sudah sangat menyinggung Senior Rei di depan teman-teman. Sehingga ia memberiku hukuman seperti sekarang ini untuk ikut pergi bersamanya menjadi mentor di kelas ballet anak-anak di musim panas. Meski aku akan pergi bersama pria yang aku sukai yang begitu tampan, namun membayangkan kedisiplinannya yang seperti seorang tentara saat latihan, tetap saja membuatku merasa tidak nyaman.
"Ya Tuhan, apa hujannya masih lama?" aku berbicara sendiri dengan suara rendah saat menunggu hujan reda di depan pintu lobby.
TING! TING! TING!
Ponsel yang ada di tanganku terus berbunyi pertanda ada pesan masuk. Mendengar nada pesan masuk ke ponselku yang terus berbunyi tanpa henti, aku yang merasa cemas karena sudah terlambat beberapa menit pun membuka pesan tersebut. Baru saja membuka pesan, terlihat puluhan pesan suara masuk yang dikirimkan oleh Senior Rei ke kontak ponselku. Aku menatap layar ponselku yang berisikan pesan suara cukup lama, namun aku tidak berani membukanya. Dengan perasaan resah dalam hati aku berkata, Banyak sekali pesan suara yang ia kirimkan. Apa ia sedang marah karena lama menungguku? Bagaimana ini?
Satu setengah jam kemudian...
Setelah melewati berbagai drama sambil menunggu hujan benar-benar reda, akhirnya aku pun sampai di Evenue I Station, Brooklyn dengan selamat meski sedikit basah. Aku yang baru saja turun dari kereta bawah tanah, berlari menaiki eskalator menuju lantai dimana hall ruang tunggu penumpang berada. Aku berlari dengan nafas tersengal-sengal sambil sesekali melirik arlojiku karena sudah sangat terlambat dari waktu yang telah dijanjikan. Aku terus berlari melewati beberapa lantai dengan menggunakan eskalator. Hingga akhirnya aku pun sampai di lantai di mana ruang tunggu berada.
Aku yang sudah lelah berlari dengan segera menghentikan langkahku saat telah sampai di ruang tunggu. Kemudian aku menoleh ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Senior Rei. Sambil mengatur nafas aku pun bertanya pada diri sendiri dengan suara rendah, "Dimana dia?"
Aku berkeliling beberapa saat mencari keberadaan Senior Rei. Hingga akhirnya aku pun melihat seorang pria berperawakan sepertinya menggunakan kaos dan topi berwarna putih sedang duduk di kursi tunggu yang ada di ujung lobby. Dalam waktu bersamaan, ia yang sedang memainkan ponselnya mengangkat wajahnya menatapku yang sedang berjalan menghampirinya. Dalam hati aku berkata, Ya Tuhan, habislah aku.
Melihatku yang berjalan ke arahnya, Senior Rei bangkit dari kursinya. Dan di saat aku telah sampai di hadapannya ia melemparkan sebuah jacket ke arahku bersamaan denganku yang hendak meminta maaf, "Senior... Maaf!"
Jacket yang baru saja ia lempar tepat mengenai wajahku. Seketika rasa kesal pun muncul di hatiku. Namun aku yang telah terlambat datang sangat tahu diri, sehingga aku bisa meredam emosiku melihatnya yang sedang kesal kepadaku. Ini semua salahku. Salahku yang sudah sangat terlambat datang dari waktu yang telah dijanjikan. Membuat Senior Rei merasa kesal karena menungguku terlalu lama.
Saat Senior Rei melempar jacket ke wajahku, aku merasa akan dibunuh waktu itu juga. Namun aku tidak bisa berbuat apa selain meminta maaf kembali kepadanya. "Senior Rei, maafkan aku. Maafkan aku yang datang terlambat. Dari tadi hujan deras, jadi aku sulit pergi ke stasiun dari apartemenku."
Senior Rei mengambil tasnya yang ada di atas kursi tunggu tanpa berkata apa-apa. Kemudian ia mengambil dua gelas minuman yang tadinya ada di samping tasnya. Ia terdiam sejenak melihat kedua gelas itu. Kemudian ia mengulurkan tangannya ke arahku memberi salah satu dari dua gelas minuman tersebut. Dan aku yang kebingungan melihatnya memberiku segelas minuman pun bertanya, "Ha? Apa ini untukku?"
Ia menganggukan kepala dan aku menerima segelas minuman itu. Saat segelas minuman itu sudah ada di tanganku, Senior Rei berkata, "Tadi aku mengirim pesan suara padamu, tapi kamu mengabaikannya. Aku tidak tahu kamu mau minun apa. Jadi aku membelikanmu minuman vanilla latte saja."
Senior Rei mulai melangkah dan berkata, "Ayo kita pergi!"
Apa aku tidak salah dengar? Senior Rei membelikanku kopi? Untunglah jika ia tidak marah padaku, aku berbicara dalam hati dengan tubuh berdiri mematung.
Senior Rei yang telah lebih dulu berjalan, menghentikan langkahnya dan membalikan tubuhnya sembari berkata, "Ayo! Tunggu apa lagi?"
"Oh iya, oke." Aku yang tersadar oleh suaranya mulai mengayunkan langkah sambil memegangi jacketnya. Aku berjalan mengikuti Senior Rei dari belakang. Kemudian aku tersenyum sendiri melihat gelas kopi yang ada di tanganku. Sikapnya ini membuatku sedikit tersentuh.
****
REI MAXWEL
Dengan yang lain tidak banyak kata yang ingin aku ucapkan. Namun dengan Tiffany Sheria, aku bagaikan orang gila yang tidak bisa berhenti bicara saat ia tidak membalas pesan suaraku. Itulah yang aku rasakan saat menunggunya di ruang tunggu stasiun. Aku bukanlah orang yang suka menunggu. Namun untuk Tiffany Sheria, aku mau duduk lama menunggunya dengan sabar. Ini adalah waktu terlama bagiku untuk menunggu seseorang yang selama ini tidak pernah aku lakukan.
Berulang kali aku mengirimkan pesan suara padanya, sekali pun ia tidak membalasnya. Membuatku yang sedang menunggunya merasa sedikit khawatir. Namun rasa khawatir itu langsung menghilang saat aku melihat dirinya telah hadir di hadapanku, meski ia muncul dengan wajah pucat karena cemas. Sepertinya ia sangat takut kalau akan memarahinya karena terlambat.
Aku dan Tiffany Sheria pergi ke The New York City Ballet yang didirikan oleh Joffrey Ballet School. Mulai hari ini hingga dua hari ke depan, aku dan ia akan menjadi mentor bagi murid ballet yang berumur 8 hingga belasan tahun dalam program Summer Intensive yang mereka adakan. Joffrey Ballet School adalah sekolah tari yang mengembangkan penari klasik menjadi seniman profesional yang ekspresif dan beragam. Dan tiga hari kedepan kami akan mengajarkan para murid tersebut berbagai teknik, point, dan variasi pada ballet modern. Kegiatan ini akan sangat menyibukan karena berhadapan dengan anak-anak kecil yang baru mempelajari seni ballet. Namun aku yakin kelas ini akan menyenangkan karena akan bertemu dengan anak kecil yang menggemaskan.
Kelas ballet hari ini di The New York City Ballet di mulai pada siang hari. Satu kelas ballet yang diikuti oleh puluhan anak kecil yang berusia 8 hingga 15 tahun, dibagi menjadi dua kelompok dengan studio dance berbeda. Studio dance pertama dengan murid berumur 12-15 tahun, di mentori olehku. Sedangkan untuk anak berumur 8-14 tahun dimentori oleh Tiffany Sheria di studio dance lainnya. Kelas ballet dance ini berlangsung cukup lama, sekitar 4 jam dengan dua kali jeda. Dan menurutku kelas ballet dance di hari pertama aku mengajar ini berjalan dengan lancar, dari awal mulai kelas hingga berakhir pada sore hari.
Setelah kelas ballet dance berakhir, aku yang sudah selesai mengajar kelompok pertama, keluar dari studio dance hendak menghampiri Tiffany Sheria di studio dance lainnya. Namun baru saja aku berjalan beberapa langkah di koridor depan studio, aku telah melihat Tiffany Sheria berdiri menungguku sendirian. Dengan segera aku melangkah menghampirinya. Namun tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakang, "Mr.Rei... Mr.Rei... Mr.Rei..."
Aku yang sudah hampir sampai di dekat Tiffany Sheria menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Terlihat Madam Shanice yang merupakan seorang Master Faculty tersenyum sambil melangkah menghampiriku. Dengan sopan aku berkata, "Ya, Madam. Apa Madam memanggilku?"
"Ya, Mr.Rei. Aku memanggilmu."
"Ada apa, Madam? Apa ada hal yang bisa aku bantu?"
Madam Shanice terdiam sejenak melirik Tiffany Sheria yang kini telah berdiri di sampingku. Kemudian beliau kembali menatapku sambari menjawab, "Mr.Rei, aku tidak pintar berbasa-basi. Jadi kita langsung bicara pada topiknya saja. Aku sudah melihat bagaimana cara Mr.Rei dan Miss Tiffany mementori anak-anak didik kami hari ini. Namun sepertinya cara mengajar Miss Tiffany belum seperti yang aku harapkan."
"Aku mengerti, Madam. Untuk itu aku minta maaf atas segala kekurangan yang telah kami buat saat menjadi mentor di kelas ballet dance. Lagi pula ini pengalaman pertama bagi Tiffany sebagai mentor. Jadi aku harap Madam Shanice bisa memakluminya."
Madam Shanice melirik pada Tiffany Sheria sejenak dan berkata, "Sepertinya... Ilmu ballet Miss Tiffany ini belum sepenuhnya matang."
"Ini baru hari pertama, Madam. Mungkin saja ia merasa gugup karena ini pengalaman pertamanya. Madam tenang saja, kedepannya aku yakin ia bisa lebih baik lagi dan membuat Madam puas. Karena ia salah satu mahasiswa terbaik di kelasnya."
"Baiklah, kalau begitu. Aku harap kedepannya bisa lebih baik lagi." Madam Shanice menoleh pada Tiffany Sheria yang saat ini berdiri dengan wajah menunduk. Kemudian beliau kembali berkata, "Miss Tiffany, aku harap besok kamu bisa memberikan yang terbaik yang kamu punya pada murid-muridku."
"Baik, Madam. Maaf kesan pertama dariku kurang menyenangkan." Tiffany Sheria menjawab dengan gugup.
"Tidak masalah Miss Tiffany. Semua kita bisa bertumbuh asalkan mau belajar dari semua yang telah terjadi."
"Baik, Madam."
"Baiklah. Aku hanya ingin menyampaikan itu Mr.Rei dan Miss Tiffany. Kalau begitu aku permisi dulu."
"Baik, Madam. Silahkan."
"Sampai jumpa."
"Sampai jumpa, Madam." Aku berbicara sambil menganggukan kepala.
Beberapa saat kemudian, aku dan Tiffany Sheria yang sudah selesai mengajar, keluar dari gedung The New York City Ballet dan berjalan bersama menuju stasiun terdekat. Baru saja kami keluar dari gedung tersebut, terlihat langit sudah mulai menggelap pertanda matahari akan segera terbenam. Malam akan menjelang, sudah waktunya untuk pulang untuk melepas lelah setelah seharian beraktivitas.
Tidak banyak kata yang terucap di antara kami berdua di sepanjang perjalanan menuju stasiun terdekat. Kami berjalan bersama di pedestrian dengan langkah santai dan larut dalam pemikiran masing-masing. Banyak kata yang ingin aku ucapkan pada Tiffany Sheria. Namun aku yang tidak terbiasa banyak bicara dan dekat dengan seorang wanita berusaha untuk menahannya. Kami baru beberapa hari saling kenal, jadi belum waktunya aku banyak bicara padanya.
Semakin jauh kami berjalan menuju stasiun, Tiffany Sheria yang dari tadi diam semakin memperlambat langkahnya lalu berhenti. Membuatku yang merasa penasaran, ikut menghentikan langkah dan bertanya, "Tiffany, kenapa kamu berhenti?"
Dengan ragu-ragu dan suasana hati yang buruk ia menjawab, "Aku... Aku sedang tidak ingin segera pulang. Aku ingin jalan-jalan sebentar."
"Apa kamu tidak apa-apa?"
"Ya, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang ingin sendiri. Senior pulang lebih dulu saja."
"Baiklah. Kalau begitu jaga dirimu baik-baik."
"Oke."
Setelah Tiffany Sheria menanggapi ucapanku, aku pun kembali melangkah pergi meninggalkannya sendirian di pedestrian yang ada di pinggir jalan. Aku melangkah menjauhinya, lalu menyeberangi jalan menuju cafe yang ada di seberang sana. Saat aku sampai di cafe yang ada di seberang jalan, aku pun memesan segelas kopi dan duduk di kursi yang ada di pinggir jendela menghadap ke jalan raya. Dari kejauhan aku melihat Tiffany Sheria berdiri dengan tubuh bersandar pada dinding gedung yang ada di belakangnya dan wajah yang muram. Sepertinya ucapan Madam Shanice tadi membuatnya merasa sedih dan tertekan. Sehingga aku yang melihatnya sedang bersedih dari kejauhan, merasa tidak tega dan ingin mengatakan, Jangan bersedih, ada aku di sini untukmu.
Namun sayangnya apa yang ingin aku katakan, tidak sanggup aku ucapkan padanya. Hingga akhirnya aku pun memilih untuk mengirim pesan padanya untuk menghiburnya.
"Tiffany, tidak apa-apa jika Madam Shanice memberi penilaian seperti tadi. Tapi aku yakin kamu telah memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Jangan dibawa stress, nanti kamu bisa cepat menua."
-RM-