“Alula! Kamu masih hidup ternyata!” lanjut pria itu.
Alula menoleh dan saat itu juga, sebuah undangan dilemparkan ke wajahnya. Wanita itu terpejam sambil mengatur napas.
“Datanglah ke resepsi pernikahan Aruni dan Yongki. Kalau kamu nggak datang, berarti kamu pecundang, cemen,” ledek Adi.
“Tadi aku ke sini mau ngundang pemilik kos-kosanmu. Sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah berkenan ketika kusuruh mengusirmu, tapi ternyata kamu ada di sini. Ya udah, undangannya buat kamu aja,” lanjut pria pemilik sebuah bengkel sepeda motor tersebut.
Alula masih diam. Ia menunduk, menatap undangan itu. Undangannya dan Yongki sudah selesai dicetak dan sudah disebar, tetapi sekarang ia menerima undangan baru atas nama wanita lain sebagai pendamping Yongki.
Alula baru tahu kalau Aruni benar-benar sudah merebut sang tunangan darinya. Lalu bagaimana caranya nanti mengatakan kalau pernikahannya dan Yongki telah batal padahal undangan sudah disebar? PR berat untuk Alula.
Pandangan Alula kosong. Ia sudah memprediksi kalau mereka benar-benar akan menikah, tetapi tetap saja rasanya sakit saat kenyataan terpampang nyata. Air mata wanita itu kembali menitik.
“Apa kamu dan Aruni sudah puas, Mas?” tanya Alula. Ia mengalihkan pandang pada Adi. Titik air lainnya berlomba berjatuhan di pipi.
“Belum. Sebelum kamu mati perlahan karena tekanan batin. Apa yang dialami mamaku karena ulahmu dan wanita pe la cur alias ibumu itu, harus kamu rasakan juga. Biar kamu tahu sedalam apa rasa sakit hati mamaku, juga kami. Anak-anaknya.”
“Ibuku bukan pa la cur! Ibuku tidak sejahat itu!”
“Iyakah? Kalau tidak jahat, kenapa mau dinikahi pria beristri? Wanita baik tidak akan merebut suami orang sampai hamil dan melahirkanmu!”
“Lalu apa bedanya dengan Aruni yang sudah merebut Mas Yongki dariku? Bisakah kukatakan juga kalau Aruni itu pela*ur?”
Plak!
Satu tamparan Adi mendarat di pipi Alula.
“Kamu dan Yongki baru tunangan, jadi jangan samakan dengan ibumu yang lac*r itu!”
“Aku bisa melaporkanmu ke polisi karena udah melakukan tindakan kriminal padaku, Mas!” Mata Alula nyalang menatap Adi. Ia juga memegangi pipinya yang panas.
“Ayo laporkan! Aku nggak takut. Aku punya uang, jadi bisa dengan mudah membeli hukum di negara ini. Lalu kamu punya apa untuk melawanku? Ada bukti? Ada saksi? Yang ada, aku akan memutar balik fakta dan bisa jadi kamulah yang akan mendekam di penjara. Sangat mudah bagiku.”
“Kalian memang kejam!”
Adi hanya tertawa.
“Mana ponselku? Pasti ponselku kamu bawa, kan? Di sini nggak ada.” Alula mengalihkan bahasan.
“Iya, aku bawa. Ada di tong sampah rumah. Mungkin sudah mau dibuang sama pembantu.”
“Mas Adi!”
“Hey, jaga nada suaramu! Hanya demi ponsel jadul aja berani berteriak kamu!”
“Balikin ponselku!”
“Ponselmu itu cocoknya buat dilempar untuk mengusir an jing. Ingat, Alula. Jika kamu bertemu Yongki, bilang kalau kamu kabur bersama pria lain. Awas kalau sampai kamu ngaku tentang kejadian kemarin. Aku bisa melakukan hal lebih dari yang sudah kamu alami.”
“Memangnya kenapa kalau aku ngaku? Mas Adi dan Aruni takut?”
“Enggak. Hanya mungkin hidupmu nggak akan tenang. Buatlah Yongki ben*ci sama kamu.”
“Kalau begitu, bu*nuh saja aku sekalian! Biar kamu puas!”
Adi hanya tersenyum miring. Ia berlalu, menuju sepeda motornya yang sudah dimodifikasi sedemikan rupa. Namun, ia kembali lagi setelah sempat melajukan kendaraannya sebentar.
“Aku punya penawaran menarik. Datanglah ke acara resepsi Aruni dan Yongki. Nanti kukasih suvenir spesial buatmu. Ponsel bulukmu itu. Kalau kamu nggak datang, jangan harap ponselmu kembali. Ponselmu akan benar-benar kubuang.”
Adi tertawa, lalu menyalakan sepeda motornya dan sempat mengegas kuat tepat di samping Alula. Wanita itu hanya terpejam dan menulikan telinga.
Di perjalanan, pria itu mencengkeram kuat telapak tangannya pada setir. Bara dendam di hatinya tidak pernah padam untuk Alula.
“Kukira keluarga kita sempurna, tapi ternyata di belakangku kamu menciptakan noda menjijikkan, Pa!” teriak Haryanti, mamanya Adi.
Adi ingat betul. Pertengkaran orang tuanya itu terjadi saat ia baru pulang sekolah.
“Apa maksud Mama?”
“Kamu selingkuh di belakangku!”
“Enggak!”
“Jangan bohong! Aku sudah tahu semuanya!"
“Ma-maaf, Ma.”
“Maaf saja tidak akan cukup menghapus dosamu itu. Dosamu nyata dan sekarang ada di sini. Ada di kamar Mak Rub.”
“A-apa maksudmu?”
“Hasil perselingk*hanmu menghasilkan anak seumuran Aruni. Ada orang yang mengantarkan kemari. Katakan, aku harus membunuhnya, membuangnya, atau membunuhmu! Katakan!” Haryanti kian kalap.
Sebagai anak yang sudah cukup dewasa, Adi cukup tahu apa yang tengah dibahas orang tuanya.
Jasman berderap menuju kamar Rub, asisten rumah tangga mereka. Saat itulah, Adi mendatangi sang mama yang menangis sesenggukan.
“Ma,” panggil Adi sambil menyentuh lengan mamanya.
“Adi, balaskan sakit hati Mama ke wanita ja lang itu melalui bocah itu.”
Adi mengangguk. “Hati Mama sakit saat mengetahui papamu punya anak dari wanita lain dan sekarang malah dititipkan di sini. Sakit rasanya, Di.” Haryanti mulai sesak napas.
“Mama!” Adi kebingungan.
Sementara di kamar Rub, Jasman terpaku melihat wajah bocah yang mirip seseorang di masa lalunya. Bocah perempuan itu duduk sambil makan.
‘Seorang’ yang dimaksudnya, ialah wanita yang dinikahi siri, lalu sebulan setelahnya ditinggal begitu saja. Dalam diri bocah itu, Jasman seperti melihat dosanya terpampang nyata.
“Pa, Mama sesak napas!” Teriakan sang putra membuat Jasman berlari ke sumber suara.
Haryanti terus memegangi dadanya. Sehari dirawat di rumah sakit, ia menyerah saat malaikat maut menjemput paksa nyawanya.
Adi tidak akan melupakan masa-masa itu. Pinta sang mama akan berusaha dikabulkan karena ia menganggap itu wasiat. Alula harus membayar semuanya sampai titik nyawa penghabisan.
Di teras kos-kosan, Alula masih menata barang-barang yang bisa dibawa bersamanya. Tidak sengaja, matanya terpaku pada kartu keluarga yang dimiliki. Di sana, hanya namanya saja yang mengisi. Tidak ada nama ibu dan ayahnya.
Sendiri, sebatang kara. Alula tersenyum kecut.
Wanita itu terus berkemas. Untuk barang besar yang tersisa, ia berniat menitipkan ke penghuni kos-kosan lain sebelum nanti diambil kembali. Gadis itu bangkit, tetapi matanya masih fokus melihat undangan dari Adi. Tangannya gatal untuk melihatnya.
Dengan napas berat, Alula membuka undangan itu. Benar, di sana tertera nama Aruni Mustika dan Yongki Aryawan. Ia menyisir tanggal akad nikah. Tanggal sama di mana ia meregang nyawa di rumah sakit. Sementara tanggal resepsi, diundur dari rencana resepsinya dulu bersama Yongki.
Air mata Alula terjatuh, tetapi cepat-cepat dihapus. Tidak ada yang bisa disalahkan untuk hal ini.
Alula terpaksa pergi karena perintah dari Adi dan Aruni. Yongki pun melakukan mungkin karena alasan kuat. Sementara saudara tirinya, tergerak melakukan itu sebab rasa sakit hati dan dendam di masa lalu.
Alula sadar, mereka tidak bisa disalahkan, tetapi tindakan mereka juga tidak dibenarkan. Jika ia berada di posisi mereka, mungkin juga akan melakukan hal yang sama. Mungkin. Karena tidak seorang pun yang rela berbagi suami dan berbagi orang tua. Namun, tetap saja rasanya sakit.
Alula mengetuk pintu kamar kos-kosan di sebelah kamarnya. Hana, pemilik kamar memicing saat membuka pintu, melihat Alula.
“Balik juga kamu? Nggak malu apa, balik setelah membuat kekacauan,” ujar Hana sinis. Ia juga teman sekampus Alula.
Alula diam, mencoba mengabaikan perkataan pedas itu. “Aku cuma titip bentar barang-barangku, Han. Nanti aku ambil lagi.”
Hana bersedekap. “Apa, sih, yang kamu pikirkan sampai kabur, La? Calon suamimu itu tampan, mapan, malah kamu tinggal gitu aja. Adikmu yang dapat rejeki nomplok.”
“Makasih, ya, Han. Aku pergi dulu. Bentar lagi, aku balik, kok.” Alula mengabaikan racauan Hana. Ia berjalan menuju jalan raya. Setidaknya ia sudah menitipkan barangnya.
Beruntung dompet masih ada meski isinya tinggal beberapa padahal saat ditinggal, isinya lumayan banyak. Dompet dan berkas penting diutamakan dibawa terlebih dulu.
Alula menyetop bus, lalu naik setelah kondektur membantunya menaikkan koper. Dalam bus, air matanya kembali menitik.
“Ayah sebenarnya yang paling salah, tapi aku dan Ibu yang selalu jadi sasaran amarah. Allah, kuatkan aku,” gumam Alula.
Tiba di tempat tujuan, Alula turun. Ia menggeret kopernya lemah ke arah sebuah bangunan.
“Assalamualaikum.” Suara Alula bergetar saat berdiri di ambang pintu.
“Waalaikumussalam. Alula!” Seseorang menyambut dengan raut terkejut.
Tubuh Alula ambruk di bawah kaki orang itu.