10.Menggoda

936 Kata
Bangunan yang didatangi Alula adalah panti asuhan. Di bangunan itulah, ia merasa dimanusiakan oleh manusia. Di situ, ia mendapatkan kasih sayang meski bukan dari kerabat. Sementara yang tersambung darah, tidak pernah terasa dekat. Alula ambruk di bawah kaki Jannah, ibu asuh sekaligus pemilik panti. “Alulaa, bangun, Nak. Jangan kayak gini. Ada apa?” Jannah mencekal lengan Alula, memintanya bangkit. Ia menatap koper yang dibawa Alula dengan perasaan bingung. Alula menggeleng, terus menangis, dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Bukannya beberapa hari lalu kamu baru nikah? Apa suamimu menyakitimu? Mengusirmu?” tanya Jannah yang sudah diberitahu sebelumnya tentang pernikahan Alula. Namun, tidak diminta menjadi saksi pernikahan. Tangis Alula kian kencang. Bukan, bukan Yongki yang menyakitinya, tetapi ia yang mungkin telah menyakiti pria yang selama ini begitu baik dengannya tersebut. Wanita itu tidak bisa membayangkan seperti apa ekspresi kecewa yang ditunjukkan Yongki jika nanti bertemu dengannya. “Alula, berdiri, Sayang. Jangan kayak gini. Berdiri dulu, tenangkan diri.” Alula bangkit dibantu Jannah. Ia dipapah untuk duduk di kursi. Sementara kopernya diserat Jannah, dimasukkan ke dalam rumahnya. Jannah tidak langsung menginterogasi Alula, tetapi ke dapur untuk membuat minuman hangat untuk anak asuh di pantinya itu. Selesai dibuat, ia membawa kembali ke depan di mana Alula masih terisak. “Ambil napas panjang, keluarkan pelan,” titah Jannah. Alula menurut. “Diminum dulu tehnya.” Dengan tangan gemetar, Alula mengambil gelas dan menyesap pelan isinya. Sementara mata Jannah terpaku pada punggung tangan Alula yang diplester. Ia ingin melayangkan banyak tanya, tetapi masih menahan diri. Wanita paruh baya itu tahu, sedang ada masalah berat yang menimpa sang anak asuh. Akan tetapi, belum waktunya bertanya. “Istirahatlah, La. Ayo ke kamar biasa.” Alula menggeleng. “Aku nggak jadi nikah sama Mas Yongki, Bu.” Tanpa diminta, ternyata gadis itu sudah lebih dulu buka suara. “Ke-kenapa?” “Aruni menginginkan Mas Yongki. Aruni dan Mas Adi memaksaku pergi, menyekapku di malam hari, membuangku di persawahan ketika malam hari sebelum aku dan Mas Yongki ijab kabul. Aku nggak tahu cara menghadapi dunia, Bu. Bagaimana cara menghadapi teman dan orang yang sudah kuundang sementara ponselku disita Mas Adi, juga bagaimana aku menghadapi Mas Yongki dan keluarganya. Aku bingung, malu, ingin marah, tapi nggak tahu harus kulampiaskan kepada siapa.” Jannah membawa kepala Alula untuk tidur di pangkuannya. Dielusnya kepala yang terbungkus hijab tersebut lembut. Tidak berselang lama, wanita berkerudung lebar itu merasakan pahanya basah tersebab air mata Alula. Alula lalu menceritakan kronologi semua yang menimpanya dengan suara terputus-putus karena bicara sambil menangis. “Alula, tidak ada tempat mengadu paling aman dan nyaman selain kepada Allah. Lampiaskan kepedihanmu kepada-Nya. Ungkapkan semua yang kau rasa. Kelak, Dia akan memberimu keadilan. Tangan ajaib-Nya akan membantu. Percayalah pada kekuasaan-Nya. Untuk undangan, tenang. Nanti biar Ibu yang urus. Ibu yang akan mengabari mereka yang sudah kamu undang kalau semuanya batal.” "Makasih, Bu. Makasih. Nanti aku pinjam ponsel Ibu buat kirim pesan ke temenku lewat F* aja, biar dia yang meneruskan ke temen lain." “Begitu juga bisa. Ibu ikut geram mendengar ini semua. Keluarga tirimu dari dulu memang sangat keterlaluan. Kalau bertemu Yongki, katakan sejujurnya biar dia tidak salah paham.” “Tapi aku diancam Mas Adi, Bu.” “Dari dulu dia suka mengancam, kan? La, jujur atau bohong, selamanya Adi akan kayak gitu. Kamu bohong sama Yongki sesuai keinginan mereka pun, nggak jaminan keluarga tirimu akan baik sama kamu. Sekarang, mungkin kamu harus sedikit tegas dengan mereka. Jangan takut. Ada Allah bersama orang yang benar dan baik. Katakan kebenaran biar setidaknya Yongki tahu alasanmu menghilang dan tidak membencimu.” Alula mendengarkan dengan saksama. Perkataan Jannah ada benarnya. Ia merasa, tidak seharusnya ia terinjak-injak terus menerus. Kadang, di satu kondisi seseorang harus berani. “Mereka tidak suka melihatmu bahagia. Hadapi mereka, La. Toh, selama ini kamu tidak pernah minta makan sama mereka. Tunjukkan kalau kamu wanita kuat yang tidak bisa seenaknya diremehkan.” Alula mengangguk. “Mereka selalu meng-kambing hitamkan kesalahan ibuku. Apa itu adil buatku? Aku juga nggak tahu sebenarnya ibuku salah atau tidak dan getahnya aku yang nanggung.” “Mereka itu salah kaprah. Masalah dosa, seharusnya itu urusan Allah, bukan ranah manusia yang berhak membalasnya. Ya sudah, udah nangisnya. Sekarang istirahatlah.” Alula menggeleng. “Aku harus segera kembali ke kos-kosan untuk ambil barang, Bu. Takutnya nanti dibuang sama pemilik kos atau teman di sana.” “Baiklah. Setidaknya makanlah dulu. Perlu diantar ke sana?" “Nggak perlu, Bu. Aku pinjam motornya aja buat ambil barang.” “Lalu tanganmu diplester ini kenapa?” “Ah, bukan apa-apa. Hanya luka dikit.” Alula sengaja tidak cerita kalau baru pulang dari rumah sakit agar Jannah tidak menahannya untuk kembali ke kos-kosan. Ia lalu meminjam ponsel Jannah dan mengirim pesan kepada teman terdekatnya, Aprilia, melalu Messe****. [Pril, ini aku Alula. Aku nggak jadi nikah. Tolong kabari ke temen-temen yang merasa aku undang untuk nggak usah datang ke resepsi. Masalah kronologi kayak apa, nanti kalau udah ketemu aja aku cerita. Makasih sebelumnya.] Satu masalah dirasa Alula beres. "Kamu yang sabar, yang kuat. Insyaallah nanti akan ada kebahagiaan atau jodoh lain yang lebih baik untukmu." Jannah kembali memotivasi. Alula mengangguk lemah. ** Yongki memasuki kamar setelah menelepon para karyawannya untuk mengecek bisnis laundry-nya. Bisnis yang mempunyai beberapa cabang itu kini sedang berkembang pesat di tengah masyarakat yang ingin hidup serba instan. Semua masih aman. Selain pemilik laundry, Yongki seorang guru olahraga di sekolah swasta di mana Alula magang. Hanya saja, masih honorer. Yongki jugalah yang dulu memasukkan Alula di sekolah yang sama dengannya. Begitu masuk sempurna di kamar, Yongki terkejut saat melihat Aruni tersenyum. Istrinya itu memakai baju 'nakal'. "Bang ...." Suara Aruni terdengar menggoda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN