Rasa trauma Genara

1339 Kata
Nara tidak pernah berpikir jika ia bertemu dengan Damar sebanyak tiga kali hari ini adalah sebuah takdir. Jika saja Sita yang mengalami hal itu, bisa saja wanita itu berpikir seperti demikian. Berpikir jika Damar adalah takdir dalam hidupnya. Namun, tidak dengan Nara. Dalam kepala wanita itu, jangankan memikirkan jika Damar adalah takdirnya. Jujur saja, Nara merasa tidak nyaman karena ia terus menerus bertemu dengan Damar hari ini. Bertemu dengan Damar saat di kantor bukan suatu masalah yang besar karena dia adalah bos di tempat ia bekerja. Wajar saja bukan? Kalau mereka terus bertemu. Namun, kenapa Nara juga harus bertemu dengan pria itu saat di luar kantor? Hhh, Nara ingin sekali menghindar. Jika saja ia bisa. "Syukur saja aku terselamatkan karena dia mendadak memiliki sebuah panggilan yang mendesak. Jadi, aku tidak harus ikut di mobil miliknya saat ingin kembali ke kantor," gumam Nara sembari mengusap dadanya dengan pelan. Beberapa saat yang lalu, ketika Damar masih menunggu jawaban dari Nara. Pria itu tiba-tiba mendapat sebuah panggilan telepon yang sangat mendesak. Dari raut wajahnya saja, Pria itu terlihat sangat khawatir. Usai menutup panggilan itu pun, raut wajah Damar jelas sekali terlihat masam. "Sesuatu hal yang sangat besar pasti sedang terjadi," ucap Nara kala mengingat kembali ekspresi wajah Damar tadi. Detik kemudian, sekelebat bayangan tentang wajah tampan Damar yang terlihat masam itu pun segera ia usir dari kepalanya. Semenjak bercerai dengan mantan suaminya dan menyandang status sebagai seorang janda tanpa anak. Nara selalu memilih untuk menghindari makhluk yang bernama laki-laki. Nara bertekad tidak ingin terlibat dengan mereka lagi. Sudah cukup hatinya dipatahkan dan dihancurkan oleh Herdian. Nara tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi. Mungkin orang lain berpikir, Nara adalah wanita yang lemah. Trauma untuk berkomitmen usai dihancurkan oleh sebuah komitmen itu sendiri hanya dalam sekali pukulan. Terserah saja apa yang orang lain pikirkan, Nara tidak ingin ambil pusing. Yang jelas, rasa takut itu sangat besar dan kuat. Hingga Nara sendiri tidak bisa mengatasinya. Bayangkan saja jika kalian menjadi Nara. Selama bertahun-tahun, hidup dalam ketidakakuran bersama sang Ibu Mertua. Meski begitu, Nara tetap melayani keluarga suaminya dengan sungguh-sungguh dan setulus hati. Selalu bersabar saat dirinya dihakimi, jika pernikahannya dengan Herdian tidak memiliki keturunan adalah karena kesalahan dirinya. Semua Nara hadapi dengan sabar dan ikhlas. Namun, buah dari kesabarannya itu adalah ia dikhianati dan mendapat talak tiga dari suaminya. Coba kalian beri tahu Nara, apa yang harus ia lakukan dan apakah kalian akan merasa trauma seperti Nara juga? Nara sendiri juga tidak tahu dan tidak mengerti. Kenapa rasa trauma itu begitu mendominasi dirinya bahkan berhasil membuat citra laki-laki di mata Nara menjadi cacat. Sebenarnya, sebelum ia menikah dengan Herdian, Nara sudah tidak mempercayai laki-laki. Hidup dalam keluarga broken home, Nara jelas sekali melihat ayahnya sendiri berkhianat. Menelantarkan dirinya dan sang Ibu. Dan Nara juga menyaksikan sendiri betapa sakitnya hati sang ibu hingga sampai akhir hayatnya pun, ibunya meninggal membawa rasa sakit itu. Herdian sendiri sudah tahu bagaimana kehidupan remaja Nara yang berusaha mengisolasi dirinya agar jauh dari laki-laki. Nara tidak pernah berpacaran. Ia selalu menolak laki-laki yang mengatakan ingin memiliki hubungan dengannya. Hingga ia bertemu dengan Herdian yang benar-benar jatuh cinta kepada dirinya. Herdian berusaha mati-matian masuk ke dalam hati Nara yang tertutup begitu rapat. Herdian terus berusaha hingga ia berhasil menjadikan Nara sebagai miliknya. Namun apa yang terjadi sekarang? Herdian seakan melupakan bagaimana perjuangan mereka berdua. Bagaimana dirinya berjuang untuk menyakinkan Nara. Dan bagaimana perjuangan Nara untuk membuka hatinya dan menerima Herdian. Nasi sudah menjadi bubur. Nara tidak ingin terlarut dalam rasa sedih dan sakit itu. Tetapi, ia sama sekali tidak bisa membuang kedua hal itu dalam hidupnya. Nyatanya, Nara hidup dalam bayangan rasa trauma karena pengkhianatan Herdian kepadanya. Taksi online yang Nara tumpangi berhenti tepat di depan pintu masuk gedung kantor. Setelah membayar ongkos tersebut, Nara bergegas keluar dari kendaraan roda empat itu dan masuk ke dalam gedung kantor. Seperti biasa, Pak Dwi yang berjaga di depan pintu masuk kantor tak pernah absen menyapa Nara yang lewat di depannya. Petugas keamanan itu sedikit menaruh hati kepada Nara yang begitu cantik luar biasa. "Siang, Mbak Nara," sapa Pak Dwi dengan ramah. "Siang juga, Pak," sahut Nara tak kalah ramah. Sebuah senyuman yang manis juga ia berikan kepada petugas keamanan bernama Pak Dwi itu. "Astaga, bagaimana aku akan mengatasi hal ini? semakin hari aku merasa semakin sakit saat melihat senyumnya yang menawan itu," gumam Pak Dwi sembari meremas dadanya sendiri. *** Nara baru saja kembali dari kantor. Wanita itu telah memposisikan dirinya di balik meja kerja dan bersandar dengan nyaman sebab ia merasa sangat kenyang sekali. "Nara ...," panggil Sita sembari menipiskan jarak mereka. Wanita itu duduk di atas kursinya tepat di samping Nara. Nara menoleh ke samping, menatap Sita yang saat ini berada di sampingnya. Bertanya kepada wanita itu, ada apa gerangan ia memanggil dirinya. "Gimana tadi rasa Nasi Padang nya? Enak nggak?" tanya Sita. Nara menghela napas pelan. Kedua bola matanya berputar dengan malas. "Pertanyaan macam apa ini, Sita? Kenapa kamu bertanya padahal kamu sendiri mengetahui jawabannya," sahut Nara tak habis pikir. Sita menyengir tipis. "Makan siang ku jadi tidak enak karena aku terus memikirkan Nasi Padang." Wanita itu mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut ke depan. Nara tersenyum tipis. "Namanya juga diet, Ta. Banyak cobaan yang harus dilalui," sahut Nara. "Iya, kamu benar, Ra. Banyak cobaan yang harus kulalui sekarang. Terlebih karena sekarang di kantor kita ada pria yang sangat tampan," balas Sita sedikit mendramatisir. Hhh, jika sudah seperti ini keadaannya. Jujur saja, Nara malas sekali untuk mendengarkan ocehan Sita. Wanita itu pasti akan menyeret para pria tampan yang katanya sudah masuk ke dalam daftar list calon pendamping hidupnya. Dan Nara tidak ingin mendengarkan semua itu. "Uhm ... Ta, aku mendadak sakit perut nih. Aku ke toilet dulu ya." Nara beranjak dari posisi duduknya kemudian bergegas pergi ke toilet. Lebih baik ia kabur seperti ini daripada harus mendengarkan segala kehaluan Sita tentang para pria tampan. Sedangkan di suatu tempat yang lain. Damar yang berada di balik kemudi dalam perjalanan menuju sebuah rumah sakit, merasa panik dan tidak tenang. Beberapa saat yang lalu, saat ia berada di depan Rumah Makan Padang bersama dengan Nara. Ia menerima sebuah panggilan telepon dari Arni yang mengatakan jika Kalia sedang berada di rumah sakit. Putri kecilnya itu tiba-tiba muntah akibat keracunan makanan. Jarak demi jarak Damar kikis hingga akhirnya ia tiba di kawasan rumah sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, Damar pun bergegas turun dari kendaraan roda empat itu lalu menuju ruang UGD. Setibanya di ruangan itu, kedua mata Damar berkeliling mencari keberadaan putrinya. Damar terus mencari hingga ia menangkap sosok yang ia cari sejak tadi. Damar membuka langkahnya dengan lebar untuk menghampiri bed di mana Kalia sedang berbaring di atasnya. "Mama ...," sapa Damar dengan nada getir. Arni mengedarkan pandangan ke arah sumber suara dan mendapati putranya sudah berada di sana. "Damar, maafkan Mama," ucap Arni dengan kedua mata berkaca-kaca. Damar menarik Arni ke dalam pelukannya sejenak. Kemudian segera mengurai pelukan itu dan berjalan menghampiri Kalia. Damar mengulurkan tangannya, mengusap dengan lembut puncak kepal Kalia. "Sayang, putri kecilku," gumam Damar begitu lembut. Sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Papa ...," sahut Kalia begitu senang saat mendapati Damar berada di hadapannya. Damar semakin tersenyum dengan sangat lebar. Dikecupnya punggung tangan putrinya itu. Dan mengucapkan kalimat cinta yang selalu ia katakan hampir setiap saat. "Papa di sini untuk Kalia, kan?" tanya gadis kecil itu. Dijawab dengan sebuah anggukan kepala oleh Damar. "Tentu saja Papa di sini untuk Kalia tersayang," sahut Damar. Kalia bersorak. Gadis kecil itu merasa sangat senang hingga kedua matanya berbinar dengan terang. Kalia merasa sangat senang setiap kali Damar berada di sisinya. Semenjak Kania meninggal dunia. Damar selalu berusaha untuk menjadi ayah yang baik untuk Kalia. Damar selalu merawat dan menjaga putri kecilnya itu dengan sepenuh hati. Dan memastikan jika ia tidak akan pernah kesepian meski hidup dan tumbuh tanpa seorang Ibu. Sering kali, Kalia bertanya ke mana ibunya pergi. Kenapa ibunya meninggalkan mereka dan tak pernah kembali. Jika Kalia sudah bertanya seperti itu, Damar selalu menjadi emosional dan tak kuasa. Maka dari itu, Damar selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk putrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN