Jumat (09.40), 26 Juni 2020
-------------------------
Aku mengikat rambutku menjadi ekor kuda. Tadinya aku ingin menggerai rambutku, tapi kupikir diikat ekor kuda lebih cocok dengan celana jeans. Baju cokelat madu tanpa lengan yang kukenakan terasa nyaman dan pas di tubuhku. Aku yakin baju ini dijahit khusus untukku. Aku mendapatkannya sekitar sebulan lalu dalam bentuk paket, tapi tanpa nama pengirim. Karena teringat warna kesukaan Al, aku jadi ingin memakai baju ini.
Bel rumahku berbunyi ketika aku memakai sepatu. Aku tersenyum senang dan cepat-cepat keluar kamar. Nyaris saja aku membentur bi Imah yang hendak ke kamarku.
“Baru saja mau bi Imah panggil, tapi keluar duluan.” Bi Imah tersenyum, “Neng Dhea mau kencan, ya?”
“Ih, sok tahu!” aku memalingkan wajahku yang memerah.
“Ternyata den Raymond lebih ganteng aslinya daripada fotonya,” bi Imah terkikik geli seperti anak gadis.
“Oh,” aku tersenyum kecut. Bi Imah mengira Al adalah Raymond, bagaimana caranya aku menjelaskannya. “Dhea pergi dulu ya,” aku langsung menghambur keluar.
Aku masuk ke ruang tamu dan tertegun melihat Al. Al juga memakai jeans yang pas di pahanya yang kekar. Rambut sebahunya di sisir rapi. Dia sungguh tampan. Tapi yang membuatku tidak dapat memalingkan wajah adalah kemejanya. Al memakai kemeja lengan panjang berwarna cokelat madu dengan motif yang persis sama seperti pakaianku. Kami jadi seperti memakai baju couple atau mami papi atau apalah sebutannya.
Al masih belum menyadari kehadiranku. Dia sedang fokus memandangi lukisan dinding. Anehnya, jauh di dalam hatiku, suara kecil berbisik dalam pikiranku, “Raymond.”
Aku memejamkan mata untuk menghapus pikiran itu. Mungkin aku tiba-tiba teringat Raymond karena perasaan bersalah. Setelah mataku terbuka kembali, aku berjalan menghampiri Al.
“Kita berangkat sekarang?” aku sedang tidak mood berbasa basi. Lagipula tidak baik jika ada tetangga atau saudara yang melihat aku pergi dengan seorang pria yang bukan tunanganku.
Al mendongak menatapku. Senyum tipis muncul di bibirnya melihat penampilanku. Al hanya mengangguk singkat lalu berdiri. Aku berjalan mendahuluinya. Aku ingin sekali memberi komentar tentang pakaiannya. Tapi aku benar-benar merasa tidak nyaman berduaan dengan Al di sini. Aku duduk kaku di atas motor, menahan diri memeluk pinggang Al seperti biasa.
“Lho, neng Dhea naik motor?” aku menoleh dan melihat bi Imah melongo.
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Selama beberapa saat, bi Imah masih memandang kami dengan ragu, tapi lalu ikut tersenyum. Dia seperti ibu kedua bagiku.
“Neng Dhea pegangan sama den Raymond, takut jatuh.” Aku tersenyum gugup lalu memegang kemeja Al. Bi Imah tampak tidak puas. Dia menghampiri kami lalu menarik tanganku agar melingkari pinggang Al. “Seperti ini.” Ucapnya.
Aku mendengus kesal karena merasakan tubuh Al bergetar menahan tawa. Tapi aku sedikit heran karena tampaknya Al biasa saja dipanggil dengan nama orang lain.
Al menggangguk pada bi Imah lalu menyalakan motor. Tubuhku mulai rileks dan memeluk Al dengan nyaman ketika kami mulai melintasi jalan raya. Seperti sudah jadi kebiasaan, aku menyandarkan pipiku di punggung Al dan menghirup aromanya dalam-dalam.
Tak terasa kami sudah memasuki area pantai. Kupikir Al akan mengajakku ke taman hiburan yang biasa ditempati anak muda di sekitar sini. Yah, pantai boleh juga untuk kencan.
Pantai yang kami datangi tidak terlalu terkenal. Karena itu walaupun di hari minggu, lumayan sepi pengunjung. Aku berusaha mengingat nama pantai ini, tapi aku sama sekali tidak dapat mengingatnya. Bahkan suasananya terasa asing.
“Sepertinya aku belum pernah ke sini.” Aku bergumam.
“Baguslah,” Al nyengir sambil mengeluarkan tas kresek dari saku celananya.
Aku memandangnya dengan heran.
Senyum Al makin lebar, “Kita akan mencari kerang.”
“Hah?” aku berkedip beberapa kali karena merasa salah dengar. “Bukankah kita akan berkencan?” Aku bahkan tidak bisa menahan nada kecewa dari suaraku. Seharusnya aku tidak terlalu antusias.
“Tentu saja kita akan berkencan,” Al mengecup dahiku sambil menyelipkan tas kresek ke tanganku, lalu berbalik dan langsung menuju pantai.
Aku masih terdiam untuk mengatur desah napasku yang meningkat karena kecupannya. Al tampaknya biasa saja tiap kali melakukannya. Seperti dia sudah biasa mengecupku. Mungkin karena dia sudah biasa dengan pergaulan orang kota yang sering gonta-ganti pacar. Sedangkan bagiku yang tidak berpengalaman ini, rasanya sangat menggetarkan.
Aku membuntuti Al dan sedikit tertegun melihat laut sedang surut. Astaga, indahnya!
Aku buru-buru mengganti raut wajahku yang terkesima ketika Al menoleh ke arahku. Aku tidak akan membiarkan Al tahu ini pertama kalinya aku melihat laut yang sedang surut. Aku sudah menghabiskan masa remajaku di sekitar laut, tapi aku baru menyaksikan keindahan ini sekarang. Sungguh keterlaluan!
Senyum lebar Al masih menghiasi wajahnya. Aku jadi tidak sanggup lagi menahan diri dan ikut tersenyum karena merasakan antusiasmenya.
“Baguskan?”
“Lumayan,” jawabku acuh.
Al terkekeh sambil melepaskan sepatu dan menggulung celana jinsnya. Aku mengikuti perbuatannya dengan girang. Setelah selesai, Al meraih jemariku lalu mulai melintasi pasir laut yang lembab.
Kami berjalan dengan hening, dan rasanya jauh lebih romantis dibandingkan semua kencan yang pernah kubayangkan. Angin laut menerpa tubuh kami diiringi deburan ombak di kejauhan.
“Oke, kita cari mulai dari sini.” Al berjongkok di atas pasir.
Aku ikut berjongkok di depannya. “Bagaimana cara mencarinya?”
“Gali pasirnya. Tapi pelan saja seperti menggaruk” Al menjelaskan sambil menunjukkan caranya.
Aku memperhatikan jemari kekarnya mulai membuat lubang di atas pasir. Tidak sampai satu menit, Al mengangkat tangannya dan memperlihatkan kerang berwarna kopi s**u sebesar koin.
“Wow, semudah itu?” Aku nyaris menjerit kegirangan.
“Ya.”
Aku bersiap hendak melakukannya juga, tapi tiba-tiba teringat dengan kuku indahku. Aku meringis lalu menarik kedua tanganku dan menggenggamnya di d**a.
“Ada apa?” Al menatap tajam padaku sambil menyipitkan mata.
“Kuku.” Satu kata, dan aku yakin Al pasti mengerti.
Al mendesah lalu berdiri. Dia menatap sekeliling sejenak lalu berjalan menjauhiku. Aku sedikit panik. Apakah Al marah padaku? Sekitar lima meter dari tempatku, Al berhenti. Dia membungkuk seperti memungut sesuatu lalu kembali ke arahku.
Saat itu, ketika angin laut yang keras menerpa tubuh Al. Membuat baju yang dikenakannya melambai bebas. Membuat rambut sebahunya bergerak liar. Aku tahu ada sesuatu. Sesuatu dalam dirinya yang tidak diungkapkannya padaku. Sesuatu yang akhirnya membuatku sadar dengan jelas. Bahwa Al adalah lelaki dewasa. Bukan remaja 19 tahun seperti yang selama ini kuduga.
Al kembali berjongkok di hadapanku. Dia menyerahkan kulit kerang sebesar telapak tanganku. Aku menerimanya dan langsung mengerti maksudnya.
Aku menggunakan kulit kerang itu untuk mengais. Tapi tidak bisa seantusias tadi setelah pikiran itu melanda otakkku. Sebagian besar otakku membantah pikiran itu, tapi jauh di sudut otakkuku, dengan tegas membenarkan pikiran itu.
Dengan perlahan, aku mendongak menatap wajah Al. Aku telusuri wajah itu dengan mataku. Dan akhirnya aku menyerah. Aku pasti gila jika tetap mengatakan bahwa Al masih berusia di bawah 25 tahun.
“Ada apa lagi sekarang?” Al tidak mendongak.
Aku menghembuskan nafas sebelum bertanya, “Berapa usiamu sekarang?”
Beberapa detik berlalu seperti Al mencoba mencerna ucapanku. Lalu Al mendongak dan sebuah senyum yang belum pernah aku lihat menghiasi bibirnya. Senyum tipis yang membuat wajahnya tampak liar.
“Aku malu mengatakannya karena aku sedikit terlambat sekolah.” Senyum itu masih membekas di bibirnya.
“Bagaimana bisa kamu terlambat sekolah? Padahal kamu sangat pintar.” Aku teringat ketika dia membantu dalam tugas kelompok.
“Tidak naik kelas bukan satu-satunya alasan yang bisa membuat seseorang terlambat sekolah. Masih banyak alasan lainnya.” Al menunduk kembali lalu melanjutkan mencari kerang.
Aku masih tidak puas dengan alasannya.
“Kalau kamu tidak mendapatkan satu kerangpun, aku akan meninggalkanmu di sini. Aku yakin kamu sudah cukup besar hingga bisa pulang seorang diri.”
Aku ternganga mendengar ancaman Al yang tidak berperasaan itu. Mungkinkah Al berani melaksanakan ancamannya hanya gara-gara kerang? Aku mendengus kesal lalu mulai serius mencari.
--------------------------
♥ Aya Emily ♥