Kamis (13.22), 23 Juli 2020
----------------------
“Astaga Dhea, semua jawaban kamu salah!” Geram Al sambil mencorat-coret lembar jawabanku. “Sebenarnya apa saja yang kamu kerjakan selama belasan tahun di bangku sekolah?” Nada suara Al makin meninggi. Dia menghempaskan lembar jawaban yang penuh coretan itu ke atas meja lalu melotot ke arahku.
Sekarang aku membalas tatapannya dengan bibir mengkerut kesal. Tiga minggu yang lalu ketika Al pertama kali mengajariku, aku hampir menangis saat dia membentakku karena tidak bisa menyelesaikan soal metematika. Tapi kini aku sudah terbiasa dengan cara Al mengajar.
“Sudah aku bilang berkali-kali. Aku tidak suka belajar.” Gerutuku kesal.
Al mendengus lalu mengeluarkan lembar soal lain dari tumpukan buku yang tersebar di ruang tamu rumahnya. Dia mengulurkan soal itu padaku. “Soal ini tidak jauh berbeda dari soal sebelumnya. Setelah kau menyelesaikannya, aku akan menjelaskannya satu per satu.”
Aku mendesah lalu merebahkan kepalaku di atas meja. Pipiku menempel di kaca yang dingin dan mataku menatap Al dengan memelas, berusaha tampak selesu mungkin.
“Al, aku lelah.” Desahku. “Jawaban yang sebelumnya saja salah semua. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan yang itu. Lagipula seharusnya kau jelaskan dulu, baru memberi tugas.”
“Aku gurunya. Terserah padaku bagaimana caraku mengajar.” Al mengetukkan pena ditangannya ke dahiku. “Kau harus membiasakan otakmu ini bekerja sendiri. Selama ini kau tidak pernah menggunakannya kan? Pasti otak dibalik tengkorak kepalamu ini sudah karatan dan berdebu. Jadi harus—”
“Oke!” seruku tiba-tiba seraya duduk tegak. Kurebut lembar soal di tangannya dengan kesal. “Sungguh Al, aku lebih suka mengerjakan soal-soal menyebalkan ini daripada mendengar kata-kata manismu.” Sindirku sinis.
Al bergeser lalu menyandarkan punggungnya di kaki sofa. Aku bisa merasakan senyum kemenangannya ketika aku membungkuk di tas lembar soal sambil berpikir keras.
Sepuluh menit berlalu dan aku sudah tidak tahan lagi.
Kuletakkan pena di tanganku dengan geram. Suara kerasnya ketika menghantam permukaan meja berhasil menarik perhatian Al yang sejak tadi fokus pada novel di tangannya. Dia mengangkat satu alisnya dengan bertanya.
“Aku butuh udara segar.”
Al melirik lembar soal di atas meja. “Maksudmu kau ingin menyudahi pelajaran hari ini? Kau bahkan belum menyelesaikan satu nomor pun.”
Aku mendesah dengan keras. “Aku akan menyelesaikannya sambil menghirup udara segar.”
“Baiklah.” Al menutup buku di tangannya lalu berdiri. “Kita pindah ke halaman.”
Aku mendongok menatap mata cokelat muda itu dengan cemberut. “Maksudku, kita pergi ke suatu tempat. Tempat yang teduh dan nyaman untuk menyegarkan otakku yang menurut pendapat profesionalmu sudah berkarat.”
“Seingatku, halaman rumahku juga termasuk kategori teduh dan nyaman.”
“Tapi aku tidak mau disini, ataupun di sekitar sini.” Aku mendesah keras. “Tidak masalah kalau kau keberatan. Aku disini saja.” Aku kembali meletakkan pipiku di permukaan meja yang dingin.
Kali ini aku mendengar desahan frustasi Al. “Cepat bereskan barang-barangmu. Kita akan pergi dalam 10 menit.”
Aku tidak bisa menahan cengiran lebarku ketika memasukkan buku-buku di hadapanku ke dalam ransel. Seperti biasa, kalimat terakhirku selalu bisa membuat Al menuruti keinginanku.
***
Aku melirik Al yang sedang tertidur. Sebelah tangannya dijadikan bantal sedangkan tangannya yang lain bertumpu di atas perutnya. Hembusan angin segar dari arah sungai menyapa helaian rambut yang biasanya selalu membingkai wajahnya.
Kututup buku di hadapanku yang tidak lagi menarik. Aku melingkarkan lenganku di sekeliling kakiku yang menekuk lalu menumpukan daguku di atas lutut.
Kuakui, Al sangat tampan dan anehnya terasa sangat familiar. Kadang aku curiga Al sengaja berpenampilan urakan untuk menutupi sosok aslinya.
Aku menggeser tubuhku agar bisa merperhatikan Al lebih dekat. Selimut tebal yang kami hamparkan di atas rumput liar terasa sejuk ditelapak kakiku. Pohon flamboyan yang menjulang tinggi melindungi kami dari silaunya cahaya matahari. Suara air sungai yang mengalir di sela-sela babatuan bagai melodi. Kami seperti berada di dunia kami sendiri.
Aku tidak bisa menahan diri untuk menyentuhnya. Jemarinya sangat besar jika dibandingkan dengan jemariku. Terasa keras dan kuat. Aku menelusuri jemarinya satu-persatu. Menikmati bulu-bulu halusnya yang menggelitik jemariku.
Tanpa menoleh aku tahu Al sudah bangun. Tatapannya terasa menusuk tapi membuatku nyaman. Aku merasa sepeti mendapat izin karena dia sama sekali tidak menggeser jamarinya. Kubalikkan tangannya lalu kutelusuri telapak tangannya.
Setelah aku menelusuri satu-persatu jemarinya, dia menggenggam tanganku dengan erat. Aku menoleh dan saat itu juga aku tahu, dibawah tatapan mata cokelat madunya, aku mencintainya. Begitu mencintainya hingga terasa menyesakkan d**a.
Aku menyingkirkan tangannya ke samping lalu merebahkan diri di sampingnya. Kepalaku bersandar di bahunya. Aku mengepalkan jemariku untuk menyembunyikan cincin di jari manisku. Kupejamkan mataku, menolak membayangkan raut kecewa keluargaku.
“Seharusnya kamu belajar.” Al mengambil sejumput rambutku lalu memainkannya di antara jemarinya.
Kutatap wajahnya dengan ekspresi cemberut. “Aku sudah cukup belajar untuk hari ini. Aku bahkan belum sepenuhnya bisa mencerna penjelasanmu tadi. Jadi biarkan aku istirahat dulu.”
Al menatapku dengan mata menyipit tanda tidak suka. “Jangan bermimpi bisa mengalahkan Sheryl kalau cara belajarmu seperti ini.”
Aku meniru caranya menyipit mata. “Dan jangan ingatkan aku tentang itu.” Aku segera memejamkan mata untuk menghentikan pembicaraan. Kulingkarkan lenganku melewati perutnya. Wajahku terbenam di samping tubuhnya. Aku bisa mencium dengan jelas aroma maskulin tubuh Al yang mulai familiar.
Sepertinya Al menerima isyaratku hingga tidak melanjutkan topik itu. Kami saling diam, menikmati nyanyian burung parkit yang tiba-tiba bertengger di dahan pohon di atas kami.
Suasananya sangat tenang. Hanya suara alam. Kesunyian yang melingkupi kami membuatku menginginkan sesuatu yng membuat pipiku panas karena malu. Aku ingin Al mengutarakan cinta padaku saat ini juga. Di antara melodi alam yang menyelimuti kami.
“Dhea,” suara Al lembut. Panggilannya membuat jantungku berdebar keras. Apakah keinginanku akan terwujud?
“Dhea, apa yang akan kau lakukan setelah lulus?”
Aku mendesah dengan kecewa. Bukan pertanyaan yang kuharapkan, aku menyingkirkan kekecewaanku, lalu merenung selama beberapa saat memikirkan pertanyaan Al. Jika ada orang yang menanyakan hal itu padaku sebulan yang lalu sebelum aku bertemu Al. Aku pasti bisa menjawab dengan mudah. Menikah, pindah ke kota, lalu mulai membangun keluarga bersama tunanganku.
Sekarang pertanyaan itu membuat bingung. Aku tidak bisa menikah dengan tunanganku setelah mengetahui bahwa dia selingkuh, sedangkan diriku malah jatuh cinta pada pria lain.
Kuliah?
Oh tidak, jangan harap aku mau kuliah, bertemu lagi dengan semua jenis pelajaran yang menyebalkan itu dan tetap terkurung di desa kecil ini.
Aku berpikir lebih keras. Mungkin sebaiknya aku cari kerja dulu sambil mncari cara untuk membatalkan pertunanganku. Lebih bagus lagi kalau aku juga bisa membuat keluargaku mengerti bahwa Al adalah pria yang cocok untukku, dan—
Al menarik rambutku dengan keras untuk menarik perhatianku. “Kenapa diam saja?”
“Kau kasar sekali.” Desisku dengan mata melotot.
“Jika ada yang bertanya padamu seharusnya kau menjawab, bukannya malah ngelamun.”
“Aku masih berpikir.”
“Astaga, Dhea.” Al memiringkan tubuhnya ke arahku lalu memukul keningku dengan kuku-kuku jarinya. “Jangan bilang kalau kau belum punya rencana apapun setelah lulus nanti.”
Merasakan tubuh hangat Al yang melingkupi diriku membuat kepalaku serasa diguyur air es dengan tiba-tiba. Hanya dengan sedikit gerakan lagi dan tubuh Al akan berada tepat di atasku. Ajaran ibu yang mendidikku dengan adat pedesaan membuatku bangkit seketika. Kami seperti hendak melakukan perbuatan m***m di tempat sepi.
Aku menyibukkan diriku dengan membenahi perlengkapan piknik dadakan kami. Entah mengapa degup jantungku meningkat tajam, pipiku terasa panas.
“Ada apa ?”
Aku menghentikan kegiatanku lalu menoleh menatap Al, tapi segera mengalihkan kembali pandanganku. Astaga, sejak kapan dua kancing atas kemeja Al terbuka?
Dia masih berbaring menyamping dengan bertumpu pada sikut. Posturnya benar-benar jantan. Detak jantungku makin meningkat dan nafasku memburu.
Aku memejamkan mata untuk menenangakn diriku. Tiba-tiba salah satu wejangan ibu melintas di benakku. Jika laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berduaan di tempat sepi, maka orang ketiga disitu adalah Syetan.
Kedua mataku seketika terbuka. Aku segera menjejalkan s****h sisa makanan kami ke dalam kantong plastik lalu memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Terakhir adalah selimut yang masih di tindih Al. Dia menatapku dengan heran seolah menunggu penjelasan.
“Sudah mulai sore, aku harus pulang.” Aku mengangkat tali tas ransel lalu menyampirkannya di kedua bahuku. Aku menatap Al dengan kesal, berharap dia segera bangkit dan sedikit merapikan penampilannya.
Selama beberapa saat Al masih menatapku dengan menyelidik. Aku melipat kedua tanganku di depan d**a berharap sikap kesalku bisa membuatnya segera bangkit.
“Dhea, apa yang sedang dipikirkan otak karatanmu sekarang?” Mata Al menyipit curiga. “Mungkin.....kau sedang berpikiran kotor ya?”
Aku yakin pipiku pasti lebih merah dari kepiting rebus. Aku menghentakkan kaki melihat seringai di bibirnya lalu berbalik meninggalkannya. Dia sungguh menyebalkan. Mana mungkin seorang pria bicara seperti itu kepada wanita.
Aku menuju motor Ninja merahnya yang diparkir di jalan setapak dekat sungai. Aku bisa merasakan Al mengikutiku setelah terburu-buru melipat selimut tebal itu. Aku berdiri diam menunggu Al sambil menikmati indahnya aliran sunga di sela-sela bebatuan yang menghalang.
Begitu sampai di dekatku, Al menyerahkan selimut itu kepadaku. Aku menerimanya dengan kesal dan segera memasukkan ke dalam tas. Aku menunggu sampai Al duduk mengangkang di atas motornya dengan mesin menyala. Aku senang dia tidak mengatakan apapun terutama tentang pembicaraan terakhir kami. Aku segera duduk dibelakangnya dan seperti biasa, memeluk pinggangnya.
“Aku harap, kau tidak berpikiran m***m lagi sekarang.”
Aku menatap belakang kepalanya dengan bibir terbuka selama beberapa detik, lalu sekuat tenaga menghajar punggungnya dengan kepalan tanganku. Al hanya mengaduh kesakitan sambil memacu perlahan motornya.
Aku yakin dia menikmati kemarahanku, dan berani sekali dia mengatakan pikiranku m***m? Bahkan kata ‘kotor’ masih lebih sopan daripada kata itu.
Aku sungguh geram sambil memeluk punggungnya, ku cubit pinggannya keras-keras. Kali ini menyeringai puas mendengar Al mengerang kesakitan tanpa ada nada humor dalam suaranya.
------------------------
♥ Aya Emily ♥