Delapan

1471 Kata
Rabu (13.15), 24 Maret 2021 ---------------------- Aku menarik nafas panjang ketika berdiri di depan pintu ruang ujian. Tegang dan gelisah menyelimuti diri ku sejak pagi tadi. Ekspresi aneh ayah dan ibu malah menambah gelisahku. Masih jelas terbayang di benakku ekspresi heran, kaget sekaligus bertanya di wajah mereka ketika aku mencium punggung tangan mereka sekaligus meminta do’a agar ujianku lancar. Yah, ini memang kali pertama aku meminta do’a untuk kesuksesan ujian. Walau ekspresi lucu mereka belum hilang, mereka tersenyum menanggapi lalu menyuarakan do’a mereka sambil memelukku bergantian. “Ehem!” suara itu mengembalikanku ke dunia. “Kau tidak mau masuk?” Aku langsung berbalik dan berhadapan dengan Putri, Anita dan Dewi. Aku terdiam selama beberapa detik untuk menelaah pertanyaan yang menurutku diajukan oleh Putri. Aku selalu merasa semua orang di sekolahku ini tidak menyukaiku, jadi aku selalu mencoba menemukan sarkasme atau hinaan dalam tiap pertanyaan, tapi kali tidak bisa menemukannya. Jelas itu adalah pertanyaan biasa karena aku sudah menghalangi jalan mereka. Tapi bagaimanapun aku bisa melihat rasa iba dalam mata mereka. Mereka pasti sudah tahu tentang taruhanku. Aku tersenyum lalu menggeleng. “Belum.“ Jawabku singkat lalu menyingkir ke bangku panjang yang di letakkan di luar tiap kelas. Aku duduk sambil menyandarkan punggung. Sekarang aku tak sanggup lagi membohongi diriku. Aku rindu pada Al. Aku ingin bertemu dengannya. Aku berharap dia disini sekarang lalu meyakinkan diriku bahwa aku bisa. Setelah kejadian beberapa minggu yang lalu itu, ini pertama kalinya aku berharap dia benar-benar ada di depanku. Bahkan ketika semua temen sekelasku heboh membicarakan Al yang tidak masuk cukup lama tanpa keterangan, aku sama sekali tidak peduli dan berusaha menghindari mereka karena aku tahu mereka menganggap aku memiliki hubungan spesial dengannya hingga mungkin aku tahu dia dimana. Walau aku berusaha menghindar, beberapa anak berhasil memojokkanku lalu menanyakan keadaan Al. Aku hanya menjawab ‘tidak tahu’ karena memang demikian kenyataannya. Bukannya membuatku khawatir, pertanyaan mereka hanya membuatku semakin jengkel dan kembali teringat kejadian mamalukan, menjijikkan, dan menyedihkan hari itu. Tapi anehnya sekarang aku ingin bertemu Al sebelum ujian. Jadi aku menunggu, menunggu dengan ragu karena aku tidak tahu Al ada di ruang mana. Kelasku dibagi ke dalam dua ruang, ruang satu dan ruang dua. Aku sama sekali tidak bisa mengawasi siswa yang lalu-lalang di depan ruang dua karena terhalang rimbunan tanaman. Hingga akhirnya pengawas datang, aku masih belum bisa bertemu Al. Aku berdiri lalu menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku, dan bertekad tidak akan menyia-nyiakan perjuangan kami selama beberapa bulan terakhir. Walau dengan perasaan kecewa tidak bisa berjumpa Al sebelum ujian, aku yakin pasti bisa melewati ujian ini. *** Aku berjalan menuju ruang dua dengan perasaan ringan. Ternyata soal UN tidak sesulit yang kukira, bahkan jauh lebih mudah daripada soal Try Out. Sekarang aku tidak sanggup lagi menahan keinginan untuk bertemu Al. Lucu juga kenapa aku tidak tahu pasti dia ada di ruangan mana padahal kami sudah melewati Try Out bersama. Mungkin karena aku sangat tegang menghadapi ujian hingga tidak memperhatikan hal seperti itu. Kembali aku diliputi keraguan ketika melihat ruang dua nyaris kosong karena kebanyakan siswa langsung pulang begitu ujian selesai. Di antara siswa yang sedikit itu, aku sama sekali tidak melihat keberadaan Al. Aku benar-benar kecewa dan memutuskan untuk pulang saja. Ketika aku baru berjalan beberapa langkah, seseorang memanggilku dan tiba-tiba Niko sudah berdiri di sampingku. “Lagi cari siapa?” tanyanya santai. Sejauh ini hanya dia dan Ahmad yang tetap memperlakukanku seperti teman biasa walau sudah mendengar tentang taruhan konyolku. Bahkan Rio pun menjaga jarak dariku. “Aku sedang mencari Al. Tapi sepertinya dia sudah pulang.” Jelasku padanya. “Al tidak ada di ruang dua. Kupikir dia di ruang satu.” “Dia tidak ada di ruang satu.” Sahutku. “Kamu yakin dia tidak ada disini?” tanyaku lagi sambil menunjuk ruang dua. “Yakin seribu persen Dhea. Kalau Al ada di ruang dua, aku pasti sudah mengetahuinya sejak Try Out.” Aku mengerutkan kening sambil menatap Niko dengan bertanya. “Selama Try Out Al juga tidak ada di ruang dua?” Kebingungan juga mulai terpancar di wajah Niko. “Kalau dipikir lagi, aneh juga ya.” Niko mengusap pelipisnya dan tampak sedang berpikir keras. “Menurutmu Al tidak terlibat sesuatu yang buruk, kan? Seperti geng motor misalnya?” Aku menggigit bibir dengan panik. “Apa maksudmu?” “Kau tahu kan, sekarang geng motor banyak dibicarakan. Mungkin saja Al terlibat dengan mereka. Lalu masalah datang dan Al mencoba melarikan diri. Tapi pindah kesini sekalipun tetap tidak aman untuknya hingga dia memutuskan untuk pergi lagi ketempat lain yang jauh lebih aman.” Niko menjelaskan dengan berapi-api. Aku menatap Niko tidak percaya. “Apa kau sedang membicarakan serial tv?” “Aku serius Dhea, mungkin saja…….” Aku tidak lagi mendengar ucapan Niko karena aku langsung menghambur keluar sekolah menuju mobil yang menungguku. *** “Baiklah, aku berlebihan,” desisku pada diri sendiri. Aku sudah berdiri di depan rumah Al tapi belum berani mengetuk pintu. Sepanjang perjalananku berkali-kali aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku berlebihan menaggapi perhatian Al. Mungkin memang begitulah Al memperlakukan teman  wanitanya di kota. Sedangkan aku adalah gadis desa yang tidak terbiasa mendapat perhatian khusus dari pria. Selama ini Al tidak pernah menyatakan suka padaku. Walau dia cukup dekat denganku, tapi hubungan kami hanya sebatas teman. Jadi aku tidak punya hak untuk marah ketika Al bersama wanita lain. Tapi kenapa wanita lain itu harus Regita, adik kandung tunanganku. Kenapa bukan orang lain yang tidak punya hubungan apapun denganku. Tapi kalaupun bukan Regita, sanggupkan aku menerimanya? Aku mondar-mandir di depan pintu rumah Al dengan pikiran berkecamuk. “Sudahlah!” tegasku pada diri sendiri sambil memandangi taman bunga di halaman rumah Al yang terawat. Terserah apapun yang mereka lakukan, itu sama sekali bukan urusanku. Mereka mau pacaran, mau kumpul kebo, terserah. Yang jelas, Al adalah teman sekaligus guruku dan aku butuh bertemu dengannya sekarang. Selain itu aku tidak peduli. Suara kunci diputar itu membuatku tertegun. Detak jantungku meningkat seketika. Aku memejamkan mata karena aku malu mengakui bahwa aku sangat merindukan Al setelah sebulan lebih tidak bertemu. Aku belum berani membalikkan tubuh walau aku bisa merasakan tatapan heran dari balik punggungku. Rasa panik mulai menyelimuti ketika aku menyadari tidak tahu harus mengatakan apa. Lalu aku ingat bahwa Al tidak hadir UN. Sebaiknya kutanyakan saja apa alasannya, pikirku. Aku sudah siap berhadapan dengan pemilik mata cokelat madu yang sudah kurindukan selama berminggu-minggu ketika suara itu membekukan langkahku. Bukan suara yang kuharapkan karena sangat asing ditelingaku. “Neng mencari siapa?” Aku membalikkan badan dengan ragu. Seorang wa nita paruh baya berusia sekitar empat puluh tahunan sedang menatapku dengan heran. Penampilannya tampak seperti wanita desa pada umumnya. Aku berdehem sejenak karena tiba-tiba kerongkongan terasa kering. “Apa rumah ini sudah dijual?” Astaga, kenapa aku bertanya seperti itu. Kedengarannya aku seperti makelar rumah. “Setahu saya tidak.” Wanita itu tampak kebingungan. “Maksud saya, apa Al masih tinggal di sini?” Wanita itu tersenyum tampak mengerti apa yang sedang kupikirkan. “Oh, Neng temannya Den Al. Pasti tadi Neng pikir saya pemilik baru rumah ini.” Dia terkekeh geli. Aku tersenyum malu padanya. “Kalau begitu Mbok siapa? Dan apakah Al ada di rumah?” “Saya Mbok Inem. Tukang bersih-bersih disini. Biasanya saya datang dua minggu sekali. Tapi sejak Den Al kembali ke Kota, saya diminta datang ke sini tiap hari.” Jantungku serasa diremas. “Al kembali ke Kota? Kapan?” “Sudah lebih dari sebulan.” Tiba-tiba wanita itu melebarkan pintu lalu mengajakku masuk. “Mari Neng bicara di dalam saja, ndak enak bicara sambil berdiri.” “Ndak usah Mbok,” tolakku halus. “Saya ndak bisa lama-lama. Sudah ditunggu.” Jelasku sambil menunjuk mobil yang diparkir di luar pagar. Aku segera mengucapkan terima kasih dan berpamitan lalu bergegas menuju mobil. Setelah aku duduk nyaman di kursi belakang, kata-kata Niko mengisi benakku. Walau kedengarannya mengada-ngada, tapi cukup masuk akal mengingat tingkah Al yang tidak biasa. Atau jangan-jangan Al kembali ke kota bersama Regita karena merasa kehidupan kota yang glamor lebih cocok untuk mereka. Aku mengusap wajah dengan frustasi dan mengabaikan tatapan bertanya Pak Dirman dari kaca mobil. ----------------------- Kerasa gak banyak kejanggalan di cerita ini? -_- Waktu nulis ini fokusku cuma satu. Bikin novel sampai tamat! TAMAT. Jadi alur dan segalanya gak terlalu aku pikirin. Aku bahkan nulisnya gak berurutan. Dari Prolog, bab1, bab2, lompat ke epilog, trus jalan mundur, wkwkwk... intinya tamat. Dan kalian tahu berapa lama waktu yg aku butuhkan sampai tamat. 2 TAHUN! -_- Tapi aku gak menyesalinya. Walau alurnya masih terasa malu-maluin dan tulisannya amburadul, tapi aku selalu menyertakan karya pertama ini ke platform manapun aku menjelajah. Karena bagiku, cerita ini adalah ibu dari karya-karyaku yang lain. Kalau aku gak pernah bisa menamatkan cerita ini, mungkin kalian gak akan pernah kenal Aya Emily dan baca Kaisar Kesayanganku... eh ☻ ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN