Rabu (13.39), 24 Maret 2021
----------------------
Sudah menjadi tradisi di sekolah bahwa pakaian resmi di acara perpisahan adalah setelan ber jas dengan dasi untuk pria dan kebaya untuk wanita.
Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku lalu menyeretku ke penata rias. Rambut panjangku ditata menjadi sanggul. Rasanya make-up di wajahku tebalnya dua senti. Tapi aku tidak mengeluh melihat antusiasme ibu. Rasanya menyenangkan melihat wajahnya berbinar bahagia.
Tapi ketika aku berdiri didepan aula sekolah, berusaha menemukan wajah yang sangat kurindukan, rasa senangku perlahan luntur.
Al tidak hadir.
Bagaimana mungkin Al meninggalkan sekolah begitu saja, mustahil hanya gara-gara aku memergokinya tidur bersama calon adik iparku. Lagi pula Al tidak tahu kalau Regita calon adik iparku, pasti ada alasan yang lebih serius dari pada itu. Tapi apa?
Aku berdiri dengan jemari saling meremas memperhatikan tiap orang yang lalu lalang di depan aula.
“Kenapa masih disini?” suara yang terdengar dingin itu membuatku tersentak.
Aku menoleh dan melihat Sheryl dalam kebaya biru cerah. Dia kelihatan manis. Aku menghembuskan nafas dengan kesal. Aku tidak ingin berdebat saat ini. “Aku masih ingin di luar.”
“Kenapa?” nadanya penuh dengan hinaan. ”Gugup? Takut? Bukankah kau begitu percaya diri ketika mengatakan bisa mengalahkanku?”
Aku memilih diam lalu memalingkan wajah. Aku benar-benar tidak ingin berdebat. Masalahku sudah cukup banyak tanpa harus ditambah membuat kehebohan di depan aula sekolah saat semua wali murid sedang berkumpul.
Tapi tampaknya Sheryl tidak sependapat. Dia pasti merasa di atas angin saat ini karena yakin bisa membuatku malu.
“Dengar, Dhea! Begitu aku menerima piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik, kau harus naik panggung lalu mencium kakiku.” Sheryl langsung pergi tanpa menunggu reaksiku.
Entah kenapa, ancamannya tidak lagi membuatku takut. Detik ini aku seperti mati rasa. Perasaan sedih, bahagia, kecewa, amarah yang melingkupiku selama beberapa bulan terakhir seperti menghantamku secara bersamaan. Ketidakhadiran Al membuat semua perasaan itu melingkupi dan mencekik diriku.
Diantara semua perasaan itu, setitik harapan masih tersimpan dalam diriku. Berharap Al datang. Asalkan dia datang, aku akan melupakan kejadian saat terakhir kali kami bertemu.
Seharusnya ini menjadi momen paling penting bagi kami berdua. Momen penentuan hasil kerja keras kami selama beberapa bulan terakhir.
Aku masih menunggu, hingga Rio datang menghampiriku. “Dhea, acara hampir dimulai. Kau harus masuk.”
Aku hanya tersenyum sebagai balasan. Dia tampak bergerak-gerak gelisah sepertinya masih ada yang ingin dikatakannya tetapi dia tidak tahu bagaimana memulainya.
“Aku sudah dengar tentang Al.” Akhirnya dia memulai. “Aku juga tidak mengerti mengapa dia pergi begitu saja tanpa alasan. Sangat tidak wajar karena dia menghilang tepat menjelang UN.” Rio tampak semakin salah tingkah karena tidak mendapat respon. “Dhea, aku tahu sikapku berlebihan selama beberapa bulan terakhir ini. Seolah aku menghakimi dirimu. Itu sungguh tidak pantas…”
“Kau tidak salah.” Aku memotong ucapan Rio. “Sikapku yang tidak pantas. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu dan merendahkan Sheryl. Sebenarnya Al yang...” aku terdiam mengingat nama itu. Teringat betapa sakitnya merindukan pria itu. “...yang membuat ku bertingkah seperti itu.” bisikku melanjutkan.
Rio tersenyum mengerti. ”Sudahlah, kita lupakan saja.” Rio memasukkan tangannya kedalam saku celananya yang tersetrika rapi. Pendangannya menyapu sekeliling aula yang mulai sepi.
“Sepertinya Al tidak akan datang, jadi percuma saja kamu berdiri disini menunggu dirinya.” Rio mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku tidak bisa menahan rasa kecewa yang melilitku tapi aku memaksakan seulas senyum ketika menerima uluran tangan Rio.
Ketika aku berbalik hendak berjalan menuju aula, aku berhenti dan membuat Rio menatapku heran.
Aku menoleh ke arah rimbunan tanaman bunga yang menghiasi halaman aula. Aku merasa ada orang yang mengamatiku secara diam-diam disana. Dan sepertinya itu…… Al?
Tapi ketika aku menoleh, tidak ada seorangpun di sana. Perasaanku mengatakan orang itu bersembunyi di balik rimbunan dedaunan. Mungkin jika aku berjalan mengitari tanaman itu aku bisa menemukan...
“Dhea.” Rio memanggil sambil meremas jemariku yang berada dalam genggamannya, “Ayo!”
Aku menoleh kearah Rio lalu mengangguk. Sebelum melangkah, sekali lagi aku menoleh ke arah rimbunan itu, tapi teteap tidak ada seorangpun disana.
Aku memutuskan bahwa mungkin itu hanya khayalanku saja yang terlalu mengharap kehadiran Al. Setelah menarik nafas panjang, aku berjalan mantap menuju aula di samping Rio.
***
“Peraih nilai UN tertinggi tahun ini adalah……” Mc sengaja membuat jeda panjang untuk membuat suasana sedikit tegang.
Walau perasaanku seperti mati rasa ketika berada di depan aula, tapi sekarang perasaan was-was menyelimutiku.
Otakku mulai membayangkan bagaimana reaksi orang tuaku jika aku benar-benar mencium kaki Sheryl di atas panggung.
Ketegenganku makin meningkat seiring acara. Apa lagi aku bisa merasakan tataan beberapa teman yang kemungkinan tahu tentang taruhanku.
Ketika Mc membuat jeda panjang, hampir semua murid SMK 1 menatapku terang-terangan. Itu membuatku bertanya-tanya berapa banyak orang yang tahu tentang taruhan kami.
Aku menoleh ketika merasa ada orang yang meremas tanganku dan ternyata Ahmad. Aku duduk tepat di sebelahnya karena berdasarkan urutan absen, namaku tepat setelah Ahmad.
Ahmad tersenyum sambil tangan kirinya yang tidak menggenggam tanganku terangkat dengan jari-jari yang mengepal. “Semangat, Dhea! Jangan khawatir, apapun yang terjadi aku mendukungmu. Kau adalah teman sekelasku, aku pasti lebih mendukung teman sekelasku daripada anak kelas lain.”
Aku sungguh terharu melihat kepeduliannya. Teman-teman sekelas kami yang lain ikut menoleh dan memberi tanda semangat untukku.
“Dhea, jangan terlalu dipikirkan.” Ucap Naina yang duduk di depanku. “Kalau perlu, kami akan ikut naik ke atas panggung untuk membelamu.”
Air mataku bergulir melihat kepedulian mereka. Aku jadi menyesal karena selama ini aku mengabaikan mereka dan tidak berusaha membaur.
“Peraih nilai UN tertinggi adalah…..” Mc mengulang. Temen-temenku kembali memusatkan perhatian ke atas panggung. Aku menyeka air mataku, diam-diam berdo’a semoga aku tidak mempermalukan kedua orang tuaku.
“Ananda Dhea Saksono dari kelas XII B.”
Teman-teman sekelasku seolah melompat dari kursi masing-masing. Bersorak-sorak sambil bertepuk tangan dengan heboh. Aku hanya terpaku dan tidak berani beranjak, seolah menunggu Mc meralat ucapannya.
“Wow, Dhea hebat!” seru mereka nyaris bersamaan.
“Ayo, Dhea. Cepat maju!” ujar Rio yang mengarahkan temen-temen agar menyingkir untuk memberiku jalan.
Aku berdiri dengan ragu sambil berjalan menuju panggung. Aku bisa merasakan tatapan kagum mengiringi langkahku.
“Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya di SMK 1.” Kata Mc. “Sejak kelas 1, Dhea bukanlah anak berprestasi. Bahkan dia termasuk siswi dengan nilai di bawah rata-rata.” Mc mengucapkan dengan nada lucu yang memancing tawa. “Karenanya sempat terjadi kehebohan di antara para guru ketika mulai Try Out Dhea masuk kategori 50 besar dari seluruh murid kelas 3 SMK 1. Prestasinya kian meningkat hingga di Try Out terakhir Dhea berhasil masuk 10 besar. Wow!” Tepuk tangan semakin keras seiring langkahku meniti tangga ke atas panggung.
Rasanya seperti mimpi.
Ini sama sekali tidak seperti kenyataan hingga membuatku merasa takut. Takut kalau aku bangun, sesuatu yang menyakitkan dan memalukan sudah menungguku.
Aku berdiri dengan was-was menatap orang-orang yang nyaris sama sekali tidak kukenal. Aku bisa merasakan luapan kagum dari mereka.
Tenggorokanku serasa tercekat melihat orang-orang yang sangat familiar diantara semuanya masih berdiri dengan heboh. Mereka yang nyaris tidak berbicara denganku. Aku sungguh keterlaluan karena mengabaikan mereka seolah mereka musuhku.
Yang paling membuatku terharu hingga air mataku kembali bergulir ketika melihat ayah dan ibu juga berdiri di antara barisan orang tua. Aku bisa melihat luapan emosi mereka yang penuh kebanggan di setiap tepukan tangan mereka. Sesekali ibu mengusap pipinya lalu membenamkan wajah bahu ayah.
Selama empat belas tahun aku duduk di bangku sekolah, mereka tidak pernah mengomentari nilai-nilai yang aku peroleh. Mereka mengajariku berhitung, membaca, dan menjawab semua pertanyaanku, tapi tidak pernah memaksaku agar berprestasi di sekolah.
Sekarang saat putri mereka satu-satunya bisa meraih nilai tertinggi dan berdiri di atas panggung, mereka tidak sanggup menahan rasa bangga.
Sebelumnya aku hanya berpikir untuk meraih nilai tertinggi agar tidak mempermalukan mereka karena taruhan konyolku. Tapi aku tidak pernah memperkirakan reaksi mereka.
Aku menunduk dan diam-diam menghapus air mataku. Aku sungguh bodoh karena berpikir reaksi mereka akan biasa saja melihatku berdiri di atas panggung. Orang tua mana yang hatinya tidak membengkak oleh rasa bangga melihat anaknya berprestasi.
“Berbeda dengan tahun sebelumnya.” Lanjut Mc, membuat keriuhan di aula berangsur terhenti serta membuat hadirin yang berdiri kembali duduk. “Tahun ini sekolah kita memiliki dua orang lulusan terbaik. Seperti yang sudah kita ketahui, disini sudah ada Dhea sebagai peraih nilai tertinggi UN, dan satu lagi siswa terbaik, bintang kelas kita yang sudah sering membanggakan SMK 1 karena berhasil meraih beberapa juara dalam lomba-lomba akademik, dialah Putri Sheryllia.”
Aula kembali gaduh oleh tepukan tangan yang mengiringi langkah Sheryl ke atas panggung. Tapi kali ini tidak satu orang pun yang berdiri seolah keberadaan Sheril di atas panggung merupakan hal yang biasa. Mungkin karena semua orang sudah memprediksi bahwa dialah sang juara hingga hadirin tidak seheboh tadi.
Rasa bangga kembali mengisi dadaku karena meraka yang hadir lebih antusias terhadap keberhasilanku. Walau antusiasme hadirin terhadap kami jelas berbeda, tapi aku bisa melihat betapa mantapnya langkah Sheryl menuju panggung. Dia tidak terpengaruh dengan susana di sekelilingnya.
Ketika berdiri disampingku, dia membuatku terkejut karena uluran tangannya. ”Selamat Dhea. Ternyata aku salah karena meremehkanmu.” Tatapan matanya diselimuti kekecewaan, tapi aku bisa merasakan ketulusannya dalam senyumnya.
Sambil membalas senyumnya, aku menyambut uluran tangan Sheryl. Sontak ruangan kembali dipenuhi keriuhan yang semakin menggila. Semua yang hadir berdiri.
Sekali lagi aku merasa seperti di alam mimpi ketika menerima piagam penghargaan dan sekolah yang diserahkan langsung oleh kepala sekolah. Dan masih terasa seperti dalam mimpi ketika aku turun panggung dan langsung menghambur kepelukan ibu dan ayah. Aku sampai tersedu ketika mereka mancium ku bergantian.
“Anak ayah hebat.” Ayah bergumam sambil memegang kedua pipiku.
“Ini anak ibu juga, yah.” Gerutu ibu membuat kami terkekeh.
Sekali lagi aku memeluk ibu lalu menoleh menatap ayah dengan heran. Dia sedang menatap ayah seolah-olah mencari-cari sesuatu.
“Mana Raymond?” gumamnya sambil menatap ibu.
Ibu seperti baru tersadar lalu turut menoleh ke-sana kemari. “Tadi disini kan?” Aku menatap mereka dengan heran. “Tadi Raymond datang bersama kami.” Jelas ibu padaku.
Deg .
Jantungku seperti tersentak. Raymond datang ke acara perpisahanku. Kutolehkan kepalaku ke sekeliling dengan panik. Entah kenapa mengetahui Raymond datang ke sekolahku seolah dia akan memergoki diriku selingkuh. Walau hanya hatiku yang selingkuh.
Tapi aku tidak bisa menemukan sosoknya dimana pun. Hingga jemari hangat ayah meremas lenganku dengan sayang. “Dhea, sebaiknya kamu kembali. Acaranya sudah dilanjutkan.”
Aku berusaha menyembunyikan panikku lalu tersenyum pada ayah. Sekali lagi kupeluk tubuh tegapnya. Setelah sebuah pelukan lain untuk ibu, akupun kembali diantara teman-temanku.
----------------------
Saat bikin draft cerita ini, ada banyak pesan yang ingin kusampaikan. Tapi semuanya kacau T__T Feelnya aja gak dapet sama sekali, hiks... bahkan karakter Dhea sama sekali gak kuat.
Tadinya dia itu gadis yang kikuk sebenarnya. Penyendiri juga. Gak pandai bergaul. Mau dibilang introvert, enggak juga sih. Dia cuma gak bisa memulai aja menjalin sebuah hubungan. Tapi kalau orang lain yang lebih dulu mendekat, baru dah kelihatan sifat riangnya.
Tapi saat aku nulis ini, jatuhnya karakter Dhea jadi cewek sombong, hiks. Aku bahkan gak sadar sampai cerita ini selesai lalu publish di mana-mana dan mendapat komentar. Agak kaget pas ada pembaca yang bilang Dhea sombong. Setelah aku baca ulang, ternyata memang iya T__T
Dahlah. Maafkan emakmu ini, Dhea. Anggap aja takdir -,-
♥ Aya Emily ♥