Penuh Prasangka

2438 Kata
Ina masih terpaku di tempat duduknya di kafetaria Rumah Sakit Royal. Waktu sore menjelang malam ini seharusnya menjadi penutup manis dari kunjungannya ke Jakarta sebelum kembali ke Singapura setelah menemani Papanya operasi tumor di kepala kemarin pagi. Kondisi papanya yang terus membaik membuatnya senang dan lega meninggalkan Papanya. Namun, semesta seolah punya rencana lain. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang membuat jantungnya tercekat, sesosok pria yang dikenalnya masuk ke dalam kafetaria ini lalu duduk santai di salah satu meja yang ada bersama seorang wanita cantik, berbeda dari wanita yang beberapa hari lalu juga dilihatnya bersama pria itu… di tempat yang sama. Wajah Mereka terlihat lelah, Ina tidak mau berpikir macam - macam lagi, misalnya, apa yang mereka baru lakukan sehingga terlihat sangat lelah dan kurang tidur itu. Mata Ina menatap tak percaya. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena gugup bahagia seperti saat pertama kali berbincang dengan Dhannis, melainkan karena amarah yang mulai mendidih. Ia merasa seperti ditampar oleh kenyataan. Ia masih ingat betul bagaimana perasaannya dua hari yang lalu ketika Dhannis datang dengan istrinya, saat itu perasaan Ina layu sebelum berkembang, patah hati sendiri yang tidak jelas karena memang dia tidak punya hubungan apa - apa dengan pria itu, "Hebat ya, ternyata aku sempat jatuh hati sama pria beginian," gumamnya lirih sambil memalingkan wajah, berusaha menahan getir di d**a. Tanpa ia sadari, bahunya mulai menegang, dan genggaman tangannya mengepal kuat di gelas minumnya. Ia berusaha keras untuk tidak menoleh lagi ke arah meja itu. Meja di mana pria yang menurutnya pura - pura setia sedang berbincang akrab dengan seorang wanita lain. Wanita yang bahkan tidak sama dengan yang sebelumnya. 'Dua wanita dalam satu minggu?' Hati Ina mencelos. Jijik, marah, kecewa, semua rasa bercampur jadi satu. "Padahal tadi aku sudah pamit dengan Papa, kenapa pake mampir disini segala sih,"desah Ina kini setengah menyesal dalam hati. Padahal kopernya sudah diambil sopir papanya untuk dibawa ke mobil, dan kini ia juga sudah ditunggu di lobby. Tapi entah kenapa ia malah mampir sebentar ke kafetaria. Ya memang sih makanannya lebih enak, daripada di bandara, itu sebenarnya yang menjadi alasan utamanya. Tapi ternyata ... bukan hanya makanan yang ia dapatkan. Tapi kenyataan pahit yang lebih pahit dari kopi hitam tanpa gula. Ina menahan napas, menenangkan dirinya. Tapi matanya, tanpa ia minta, kembali melirik ke arah pria itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pria itu yang ia yakini Dhannis, sempat menatapnya. Tatapan yang hanya bertahan dua detik, tapi terasa menampar lebih dari dua jam. Tatapan yang … kosong. Tidak menunjukkan bahwa pria itu mengenalnya. Bahkan tidak sekadar anggukan ramah. Seolah mereka tak pernah saling bicara. Sialan! Ina meremas tali tas selempangnya dengan kesal. Jemarinya menegang, menggenggam erat seolah itu satu - satunya cara menahan agar emosinya tak tumpah ruah di tengah keramaian kafetaria. Matanya menatap lurus, menusuk ke arah meja itu, tempat pria sialan itu duduk bersama wanita yang berbeda lagi. "Oh, jadi begini caranya? Setelah 'menegaskan' soal istrinya kemarin, sekarang pura - pura nggak kenal karena lagi duduk bareng cewek lain, ya?" gumam Ina dengan suara nyaris tak terdengar, napasnya berat. "Keren banget, mainnya. Sumpah!" Suara ramai para pengunjung lain terdengar bagai dengung lebah di telinganya, mengganggu, membuat kepalanya terasa penuh. Segala angan yang sempat ia bangun tentang sosok pria baik, dokter muda yang tampan, cerdas, dan terlihat setia, tiba - tiba runtuh seperti istana pasir diterjang ombak. Ternyata, semua itu cuma imajinasi perempuan yang terlalu pemilih untuk jatuh hati. Ina mencoba tetap tenang. Ia telah menghabiskan makan sorenya, berbeda dari dua hari lalu saat ia meninggalkan makanan tanpa menyentuhnya karena terlalu kesal. Kali ini ia menolak terlihat lemah. Soto Betawi yang tadi ia pesan kini tinggal mangkuk kosong. Minumnya pun sudah tandas. Sudah saatnya ia pergi ke bandara. Langkahnya mantap menuju pintu keluar kafetaria. Sebenarnya ia bisa memilih jalan memutar agar tidak harus melewati meja 'Dhannis', tapi kali ini ia ingin sesuatu. Setidaknya, menatap lagi secara langsung seperti tadi ke pria itu dan membuatnya gugup. Kalau bisa, biar wajah pria tukang selingkuh itu memerah malu di depan wanita barunya. Wanita yang bersama 'Dhannis' kali ini, Ina harus mengakui, lebih cantik dari perempuan yang kemarin. Sekilas ia tampak elegan, cantik alami, dan penuh pesona di balik mata lelahnya. Ina mencibir dalam hati, "Kalau ini selingkuhannya, berarti Dhannis memang tahu cara naik level. Pintar juga dia milih." Ina sempat membandingkan dengan kisah rumah tangga orang tuanya. Papanya dulu juga berselingkuh, tapi beda kasus, Mamanya jauh lebih cantik dibanding Tante Yasmin. Tapi tetap saja, godaan bisa datang dari mana saja. Dan kalau pria sudah lemah iman, selesai sudah. Ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi dari meja mereka, kejadian tak terduga terjadi. 'Brukk!' Ina hampir saja jatuh ketika kakinya terhalang oleh kaki wanita selingkuhan 'Dhannis'. Rupanya wanita itu juga hendak keluar dari kursinya, dan salahnya ia tidak menoleh ke belakang saat hendak berdiri dan mengeluarkan kakinya ke samping jadi dia tidak melihat ada Ina yang sedang berjalan hendak melewati mejanya, membuat Ina tersandung. Ponsel Ina terlepas dari genggaman, terjatuh ke lantai, nyaris mengenai kaki pria yang ia sebut - sebut sebagai pengkhianat. "Ups! Maaf!" kata wanita itu gugup, terlihat merasa bersalah. "No problem," sahut Ina singkat, meski dalam hatinya mendidih. Tanpa banyak bicara, 'Dhannis' segera berjongkok untuk mengambilkan ponsel itu, tapi Ina pun refleks ikut menunduk, tak ingin pria itu menyentuh barang miliknya. "Nggak apa - apa, biar saya ambil sendiri," katanya cepat, tapi telanjur. Ponselnya sudah ada di tangan pria itu. Untuk beberapa detik, jarak mereka begitu dekat. Tapi tak ada percikan apa pun di hati Ina. Tidak seperti kemarin, saat bertatapan mata bisa membuat jantungnya berdebar. Sekarang, hampa, biasa saja. Apakah ini pengaruh parfum? Beda aroma, beda rasa? Masa iya dia jatuh cinta hanya karena wangi parfumnya? Atau karena rasa bencinya sudah di ubun - ubun? Entahlah Ina tidak tahu apa persisnya yang terjadi tapi dia ingin segera pergi dari sini. "Terima kasih," ucap Ina dingin, menerima ponselnya. Pria itu hanya mengangguk, diam. Entah kenapa ekspresinya terasa … berbeda. Tapi Ina tak peduli. "Maaf ya, Mbak. Saya nggak sengaja," kata wanita itu lagi, suaranya tulus. "Nggak apa - apa, HP-nya juga nggak rusak kok," jawab Ina sambil tersenyum tipis. Ia bahkan belum memeriksa ponselnya, tapi ia tak peduli. Kalau rusak, tinggal beli yang baru. Lagipula ponsel itu sudah hampir dua tahun usianya. "Mari, saya duluan," ujar Ina kepada wanita itu, lalu melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke arah 'Dhannis'. "Edan ... pakai nabrak, lagi," gerutunya dalam hati sambil berjalan keluar. --- Sekarang Ina duduk di dalam mobil, dalam perjalanan menuju bandara. Tak ada percakapan dengan sopir papanya yang bahkan baru pertama kali ia temui. Mobil melaju tenang, tapi pikiran Ina masih bergolak. Matanya menatap ke luar jendela, lampu - lampu kota mulai menyala. Tapi dalam benaknya hanya satu pertanyaan berulang: "Kok bisa, sih? Papa Waktu itu berselingkuh saat sudah sangat mapan dan di usia empat puluh-an. Sedangkan 'Dhannis' ini sepertinya ia masih muda, umur mereka kurang lebih sama, tapi kok sudah selingkuh? Apa zaman sudah sangat berubah? Kok bisa pria itu dengan santainya duduk dengan perempuan lain, setelah dua hari yang lalu secara tidak langsung mengenalkannya kepada istrinya .Hebat juga aktingnya, kenapa harus jadi dokter kalau dia bisa jadi aktor? Apakah jadi orang tampan memang selalu membuatnya merasa punya hak untuk mendua? Lebih gilanya lagi ia bisa bersama perempuan lain di rumah sakit dan di kafetaria itu, padahal jelas - jelas istrinya dokter di rumah sakit yang sama. Ah sinting!" hujat Ina lagi, tapi dalam hati. Mobil yang membawanya sudah masuk tol bandara. "Eh apa kalau kencan sama cewek baru, parfumnya juga ganti, ya? Biar ceweknya nggak ngerasa sama, gitu?" pikir Ina semakin sinis. "Pura-pura nggak kenal pula. Profesional banget. Orang tuh kalau ganteng dikit langsung pengen selingkuh. Dikasih mapan dikit langsung pengen punya dua istri. Ck ... Tuhan kayaknya salah kasih kelebihan deh ke orang kayak gitu!" Ina menyandarkan kepala ke sandaran jok. Ia menarik napas panjang. Sakit hati, iya. Tapi juga lega karena setidaknya, sebelum semuanya terlalu jauh, ia sudah tahu siapa pria itu sebenarnya. Untuk saja rasa sukanya itu hanya dalam khayalan, coba kalau sampai di dunia nyata, terus mereka jadian, terus ia diselingkuhi, ckkk! Apakah benar karma itu ada, ya?" Perjalanan ke bandara yang memakan waktu kurang lebih lima puluh menit itu diisi Ina dengan umpatan-umpatan dan juga pikiran buruk kepada Dhannis, di kepalanya. Pria tampan, introvert, galak tapi lucu, sialnya malah masuk dalam khayalannya.... menyebalkan! *** "Mas, ada Om Sulis sama Tante Tia datang, boleh nggak aku ke atas sebentar? Mumpung mereka ada di sini," ucap Disti, sambil menatap layar ponselnya. Ia baru saja menerima kiriman foto di grup keluarga. Tampak Om Sulis kakak dari Papanya dan istrinya berdiri di depan ruang ICU, datang jauh - jauh dari Bandung. Dharren, yang duduk di depannya sambil menyendok sisa nasi goreng di piring, langsung menatapnya. "Ya, boleh. Aku temenin ke atas, ya?" "Nggak usah, kamu pasti capek banget. Tadi aja mukamu udah kayak zombie kecapekan, Mas," ujar Disti setengah bercanda. Ia menyentuh lembut lengan suaminya. "Aku cuma sebentar, kok. Nanti aku bilangin salam dari kamu." Dharren tertawa pelan. "Zombie yang setia nemenin istrinya ya?" "Pastinya," jawab Disti tersenyum. Ia kemudian berdiri, merapikan tas kecilnya dan meraih ponselnya. "Kamu tunggu di sini aja ya, Mas. Istirahat dulu sebentar." "Ya udah, hati - hati ke atas." Disti melangkah pergi, meninggalkan kafetaria rumah sakit yang masih cukup ramai sore menjelang malam ini. Sementara itu, Dharren menghabiskan sisa minumannya. Duduk sendirian di kafetaria tiba - tiba terasa hampa setelah Disti pergi. Ia melirik jam tangannya, masih ada sekitar lima belas menit waktu kosong sebelum harus menunggu Disti turun lagi. Karena tak tahan hanya duduk dan menatap layar ponsel, ia memutuskan menuju poli tempat adiknya, Dhannis, biasa praktek. Kebetulan, ada satu-dua hal yang ingin ia tanyakan langsung. Ia berjalan melewati koridor rumah sakit, menyapa beberapa staf medis yang mengenalnya. "Sore, dok," sapa seorang suster muda di Nurse Station "Sore. Dokter Dhannis masih praktek?" tanya Dharren. "Masih, dok, tinggal satu pasien lagi di dalam. Barusan suster Tia dari sini dan masuk ke ruangan," jawabnya ramah. "Oh, oke. Makasih ya," balas Dharren sambil melanjutkan langkah menuju ruang praktek adiknya. Di depan pintu ruangan yang tak asing baginya, karena memang itu juga ruang tempat ia biasa praktek, Dharren duduk di kursi tunggu pasien. Ia menyandarkan tubuhnya, menikmati momen tenang di tengah hari yang padat dan penuh kejutan. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Seorang pasien pria paruh baya melangkah keluar, diikuti oleh suster Tia yang tersenyum ramah. "Eh, Dokter Dharren. Mau ketemu Dokter Dhannis?" sapa suster Tia begitu mengenali wajah yang sangat familiar itu. "Iya, udah selesai ya?" tanya Dharren sambil berdiri. "Udah, dok. Silakan masuk," jawab suster Tia, lalu berjalan menuju nurse station sambil mengantar si pasien. "Sus, itu dokter juga ya?" tanya si pasien penasaran. Ia melirik ke arah Dharren yang baru saja masuk ke ruangan. "Iya, Pak. Mereka kembar," jawab Tia sambil tersenyum. "Ooh pantesan, mirip banget." "Iya, Pak, tapi ada bedanya kok. Monggo silakan Pak, untuk administrasi dan resep obatnya nya bisa ke meja suster Gusrin, ya," ujar suster Tia, melanjutkan tugasnya. Sementara itu, di dalam ruangan, Dharren yang baru masuk langsung disambut adiknya yang sedang membereskan meja. "Loh, Mas Dharren udah pulang? Bukannya masih beberapa hari lagi ya?" Dharren berjalan mendekat dan duduk di kursi pasien yang kosong. "Ya kali mertua gue sakit gue masih bulan madu? Yang ada Disti nangis - nangis terus." "Oh iya aku juga sudah lihat ke atas, kondisinya membaik kok." "Iya tadi juga sudah ke sana sudah sadar, kayaknya besok juga udah pindah ke ruangan." "Disti masih di atas?" "Sebenarnya kami sudah dari tadi nyampe, sudah ke ICU juga, terus sebelum pulang, sempat makan dulu di Kafetria, cuma barusan dia dapat kabar kalau ada Omnya baru datang dari Bandung, jadi Disti ke atas lagi, gue ke sini." "Owwh." "Gue ada mau nanya sama lo, deh." "Nanya apa?" "Akhir - akhir ini lo ada dekat sama cewek nggak?" tanya Dharren tiba - tiba. Alis Dhannis bertaut mendengar pertanyaan kakaknya ini, rasanya belum pernah seserius ini ia bertanya soal cewek. Dulu waktu dia dekat dengan Vira, memang kedua saudara kembarnya ikut terlibat dan akhirnya membubarkan hubungannya itu. "Tumben nanya - nanya, aku nggak mau ya alo sampe di jodoh - jodohin." Belum apa - apa Dhannis sudah membuat garis pembatas yang tegas. "Siapa juga yang mau jodoh - jodohin, emangnya nggak sanggup nyari sendiri?" "Ya mungkin aja ... biasanya kan gitu, Mama aja udah mulai ngirimin foto anak temennya." Dharren tergelak kecil. "Gue nggak sanggup nyariin lo, mama mungkin cuma tes jimat aja." "Kenapa memangnya sampai Mas Dharren nanya aku deket sama cewek atau enggak?" tanya Dhannis yang menarik kembali kakaknya itu ke pertanyaan awalnya. "Gue tadi masuk kafetaria, awalnya sih biasa aja, wajar kan kalau kita baru masuk dilihatin orang? Tapi sampai gue duduk, ada nih cewek yang ngeliatin gue terus, waktu ke gap sama gue bukannya dia panik atau gugup gitu malah dia kayak nantangin ... Eh bukan nantangin sih, maksudnya kayak tetep aja dia ngelihat ke gue gitu, pandangannya itu yang gue nggak suka, kayak ngeremehin." "Terus apa hubungannya sama aku?" "Ya bisa aja dia salah sangka dikirain gue itu elo." Dhannis langsung tertarik. "Orangnya kayak apa?" "Cantik, dia juga pintar berpenampilan, kelihatan terpelajar juga, nggak ada yang salah selain wajah sinisnya itu ya." "Ciri-cirinya?" "Tinggi, rambutnya nggak terlalu panjang tapi nggak pendek juga, pokoknya bisa diikat sama dia, wajahnya sih sebenarnya kelihatan menyenangkan tapi nggak tahu dia ngelihat gue itu sinis jadi ya gitu deh. Dan jelas dia wangi juga." "Kok Mas Dharren bisa - bisanya tahu kalau dia wangi?" tanya Dhannis heran. "Pas dia mau keluar dari kafetaria, nggak sengaja dia kesandung kaki Disti, terus hp-nya jatuh di dekat kaki gue, ya udah gue bantu ambilin, tapi dia juga mau ngambil ... tahu kan kayak adegan-adegan film itu? Jadi secara enggak langsung dia ada di dekat gue dan gue bisa mencium parfumnya wangi banget, dan itu parfum mahal." "Dia pakai tas apa?" Kini giliran Dharren yang mengerutkan dahinya. "Sampai tasnya ditanyain?" "Iya, siapa tahu dari tas itu aku bisa kenal." "Owwh, menarik juga, sampai tasnya aja kenal." "Dia pakai tas apa?" tanya Dhannis tidak sabaran. "Sling bag kecil." Dhannis langsung berdiri, "Dia masih ada di Kafetaria, kan?" "Kan gue udah cerita dia ketabrak Disti pas mau keluar dari kafetaria, lo nggak nyimak ya?" "Berarti dia masih ada di lobby sekarang," ucap Dhannis lalu keluar dari pintu ruangannya menuju ke arah lobby, sementara Dharren hanya geleng - geleng kepala. "Dia nggak nanya ya itu sudah berapa menit yang lalu? Udah sampai rumahnya kali tuh orang," gumam Dharren. Ia tetap bertahan menunggu di ruangan Dhannis karena dia yakin adiknya itu akan kembali lagi ke ruangan ini karena ia melihat HP dan tasnya masih tertinggal di ruangan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN