Ina duduk di tepi tempat tidur rumah sakit dengan pelan, nyaris tanpa suara. Ruangan itu remang, hanya disinari lampu temaram dari sudut langit-langit, memberikan suasana yang hening dan penuh perenungan. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana rumah sakit menjelang malam hari selalu membuat segalanya terasa lebih berat setelah semua pulang, lebih sunyi, lebih mencekam.
Di ranjang, terbaring Papanya, Pak Erwindra di depan kamar salam. Mata yang mulai rabun itu menatap langit-langit, namun pikirannya melayang entah ke mana. Besok pagi akan dilakukan tindakan operasi pengangkatan tumor di kepalanya. Operasi yang penuh harapan sekaligus ketidakpastian. Sejak kedatangannya tiga hari lalu, hanya Ina yang setia berjaga. Tante Yasmin dan Adelia, adik tirinya yang masih remaja, sudah pulang ke rumah seperti biasa. Rumah megah di Pondok Indah yang dulunya terlalu asing bagi Ina, kini justru menjadi saksi rekonsiliasi yang tak terucap.
Ia sebenarnya belum sepenuhnya siap untuk kembali ke lingkaran keluarga sang Ayah. Ada luka lama yang belum benar-benar sembuh. Rumah lama mereka di kawasan itu sudah dijual lama, diganti dengan apartemen yang sempat ditinggali Ina bersama ibunya di Singapura, sebelum akhirnya apartemen itu pun disewakan. Kini, Ina hidup mandiri di apartemen studio kecil, cukup untuk dirinya sendiri, cukup untuk menata hidup yang retak sejak kecil.
Sunyi itu akhirnya pecah oleh suara Ayahnya, pelan, namun mengendap di telinga.
"Mama kamu … apa kabar?" tanya papanya. Sudah tiga hari Ina di sini, papanya baru menanyakan soal mamanya, itu pun saat tante Yasmin sedang tidak ada
Pertanyaan itu seperti suara berisik di malam sunyi. Ina sempat terdiam sesaat, lalu menjawab datar.
"Baik - baik aja, Pa."
Pak Windra menarik napas panjang, lalu bertanya lagi, kali ini lebih dalam, lebih ragu.
"Apa … hidupnya bahagia?"
Ina memutar kepalanya, memandangi wajah yang mulai ada keriput kecil itu, tapi tetap tampan di usia menjelang senjanya, Papanya sudah berusia lima puluh delapan tahun saat ini. Ina tak ingin menjawab dengan sinis, tapi juga tidak ingin memalsukan kebenaran.
"Aku pikir… mama sekaarang sangat bahagia, Pa. Dulu aku terlalu kecil untuk menilai apa Mama pernah bahagia hidup sama Papa. Tapi sekarang aku sudah dewasa, dan aku baru benar - benar melihat … Mama sebahagia itu hidup dengan Uncle Adam."
Perkataan itu menghujam batin Pak Windra. Ia hanya mengangguk pelan, seolah sedang menelan sesuatu yang pahit, tapi layak ia terima.
"Syukurlah," gumamnya lirih.
Ina tidak merespons lagi. Ia tak suka membahas hal - hal sentimentil seperti ini. Tapi malam ini berbeda, terlalu banyak rasa yang muncul bersamaan, marah, rindu, kecewa, iba.
"Tolong sampaikan permintaan maaf Papa ke Mama kamu …"
Nafas Ina tercekat. Bukan karena ia tidak bisa menyampaikan pesan itu, tapi karena betapa seringnya kata 'maaf' datang terlambat.
"Pa, ini udah lebih dari lima belas tahun yang lalu. Kata Mama, Papa udah berulang kali minta maaf, dan Mama juga udah memaafkan. Papa dan Mama udah punya kehidupan masing - masing sekarang. Jadi ya … udah. Nggak ada yang bisa diulang, nggak ada yang bisa disesali. Tapi … aku tetap ada di tengah - tengah kalian yang harus nanggung semuanya sendirian."
Kata - kata itu keluar dari mulut Ina dengan tenang, namun bagi Pak Windra, itu seperti belati yang menggores pelan - pelan, dalam dan menyakitkan. Rasanya ia tak sanggup membalas.
"Maaf, Nak … ini semua salah Papa … Papa yang nggak bisa menahan diri," ucapnya dengan suara bergetar.
Ia terisak lirih. Bukan menangis keras, hanya tubuhnya yang bergetar dan suara yang tenggelam. Dulu, di masa muda yang naif, ia mengejar kebahagiaan pribadi dan mengabaikan 'rumah' yang ia bangun dengan susah payah bersama istri dan anaknya. Ia tidak hanya menghancurkan pernikahan, tapi juga merenggut sesuatu dari masa kecil Ina yang tak pernah bisa dikembalikan, yaitu rasa aman dan utuh dalam sebuah keluarga. Ia memang sangat menyesali apa yang sudah terjadi bertahun - tahun yang lalu, di saat ia berkhianat kepada istrinya dan juga anak semata wayangnya. Bukan hanya dari mereka saja ia mendapat tatapan sinis dan penuh amarah, bahkan ibu kandungnya, ayahnya dan adiknya, semua memusuhinya dan tidak menerima Yasmin sebagai istrinya, bahkan sampai kedua orang tuanya meninggal, Yasmin tidak diperkenankan datang, ada pesan yang disampaikan orang tuanya kepada adiknya, selain dirinya, yang boleh datang melayat hanya Citra dan anaknya, Ina.
"Pa … sekarang fokus aja dulu buat operasi besok, ya, kita berdoa semuanya berjalan lancar. Papa bisa lihat lagi dengan terang., masih bisa kerja, masih bisa lihat Adel tumbuh besar."
Ina benar - benar bisa setenang itu menasehati papanya sendiri.
Pak Windra mengangguk. Matanya yang buram menatap wajah anak gadisnya yang kini sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang tangguh, walau tangguh karena terpaksa. Ia memang sangat jarang bisa berkesempatan ngobrol panjang dengan anaknya ini. Dulu Ina lebih pendiam, apalagi setelah perceraian itu ia di bawah penanganan psikiater di Singapura dan cenderung tidak mau banyak bicara dengannya, tapi seiring waktu ketika ia mulai kuliah, Ina mulai mau banyak bicara, walaupun yang mereka bicarakan hanyalah hal - hal ringan, seperti bertanya soal kabar, dan soal kuliahnya. Tapi baru kali inilah pembicaraan mereka sangat serius, dan untungnya Ina sudah lebih jauh lebih dewasa dan lukanya sudah 'terlihat sembuh'.
"Papa … ingin lihat kamu menikah, Na."
Ina tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena getir. Barusan tadi petang ia mengalami perasaan terluka karena hubungan khayalannya yang gagal. Dan sekarang, Papanya bicara soal menikah.
"Kenapa ketawa? Jangan bilang kamu nggak mau nikah karena trauma lihat perceraian Papa sama Mama. Nggak semua laki - laki kayak Papa, Na. Masih banyak yang baik dan nggak sebrengsek papa ini."
"Nggak, Pa. Aku nggak takut nikah, cuma … belum ketemu aja orang yang aku mau, dan dia juga mau sama aku. Lagian … aku nggak sebodoh itu untuk menolak pernikahan cuma karena trauma. Tapi, ya ... selama masih banyak perempuan seperti Tante Yasmin di dunia ini, urusan selingkuh nggak akan pernah habis, kan? Dan aku nggak mau jadi wanita seperti itu, akan ada lagi wanita seperti Mama yang pergi dengan anaknya bernama Ina dalam kesedihan, aku nggak mau jadi begitu."
Ucapan Ina terdengar dewasa, namun juga menyiratkan luka yang belum sembuh. Luka yang ia rawat sendiri, tanpa pernah tahu harus mengadu ke siapa kecuali ke terapis jiwanya, dulu. Ia tumbuh sendirian, jatuh bangun sendirian, karena mamanya, orang dewasa yang selalu di sampingnya, juga sama hancurnya seperti dirinya. Dan kini Ina bicara bukan sebagai anak yang merengek, tapi sebagai perempuan yang punya prinsip.
"Tapi sekali lagi aku pastikan, anak Papa ini nggak akan jadi seperti itu. Dan semoga Adel juga nggak. Banyak anak - anak lain yang nggak seberuntung aku, Pa. Nggak semua bisa bertahan. Aku bisa sekolah tinggi, kerja bagus, karena aku paksa diriku kuat. Tapi di luar sana banyak anak - anak korban perceraian orang tuanya yang hancur, hidup tanpa arah."
Pak Windra terdiam. Ia tahu. Ia menyadari bahwa putrinya ini menyimpan luka terlalu lama. Dan baru malam ini, luka itu dibuka, bukan untuk menyakiti, tapi untuk menunjukkan bahwa luka itu pernah ada, dan mungkin sesekali masih terasa perih.
"Udah ya, Pa. Selanjutnya nggak usah banding - bandingin aku sama anak temen papa atau mungkin saja Adel yang mungkin sudah dewasa dan punya calon, atau siapa pun juga itu. Aku ini aku. Kalau nanti jodoh datang, pasti aku kabarin Papa untuk menikahkan aku. Tapi jangan ditanyain terus. Jangan juga berharap aku harus menikah hanya demi membuat Papa bahagia."
Air mata Pak Windra jatuh. Tidak bisa dicegah. Tidak bisa dihentikan. Ina pun terdiam, lalu menggapai tisu dan mengusap pipi ayahnya dengan lembut, seperti dulu ia mengusap tangan ayahnya yang terluka waktu memperbaiki sepeda kecilnya.
"Aku bilang semua ini bukan karena aku mau hukum Papa, tapi ini prinsipku. Tolong hargai itu."
"Ya … Papa ngerti. Tapi Papa nggak bisa tahan air mata ini. Semoga bukan air mata terakhir yang keluar dari mata Papa setelah operasi besok. Papa masih ingin menangis … tapi karena bahagia. Melihat kamu menikah, melihat kamu punya anak, melihat kamu hidup … benar - benar bahagia."
Ina mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Ayahnya. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasakan tangan itu tak sekuat dulu. Tapi genggamannya tetap hangat, tetap penuh cinta.
"Aamiin, Pa. Itu berarti … operasi Papa akan berhasil, kan?"
Pak Windra memejamkan mata. Dalam diamnya, ia berdoa. Bukan hanya untuk kesembuhan matanya, tapi juga untuk kesembuhan hati anak perempuannya yang selama ini ia sakiti, diam - diam, tapi dalam.
***
Pengantin baru itu baru saja menjejakkan kaki di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Rabu sore yang murung. Dharren dan Disti memutuskan mempersingkat bulan madu mereka di Eropa tiga hari lebih awal setelah mendapat kabar mengejutkan, Papa Disti dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Tanpa banyak berpikir, keduanya langsung naik pesawat pertama yang tersedia menuju Jakarta.
Sopir keluarga sudah menunggu di area penjemputan. Tanpa banyak bicara, mereka langsung masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit Royal Jakarta, suasana dalam kabin mobil terbungkam. Hanya deru mesin dan panggilan telepon dari eyang Nino yang menanyakan keberadaan mereka.
Sambil memandangi jalan tol yang padat sore itu, Disti bertanya pelan setelah melihat Dharren selesai berbicara di telepon.
"Gimana kata Eyang Nino?"
"Eyang baru aja pulang dari Royal, katanya kondisi Papa stabil. Kalau perkembangannya bagus sampai malam ini, besok bisa pindah ke ruang rawat inap biasa," jawab Dharren dengan nada tenang, meski jelas terlihat letih.
Disti menghela napas, pelan tapi panjang. Dua hari terakhir ia seperti berada dalam mimpi buruk penuh kecemasan, tangis, dan ketidakpastian. Kini, untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lega. Setidaknya ayahnya sudah sadar dan dalam pengawasan ketat.
Begitu tiba di rumah sakit, mobil langsung masuk ke halaman dan berhenti di lobby. Sopir turun lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka.
"Ayo, pelan - pelan ya," ucap Dharren sambil menggenggam tangan Disti, seakan ingin mentransfer ketenangan padanya.
Mereka naik lift menuju lantai ICU. Langkah Disti tak lagi tergesa - gesa, beban di dadanya perlahan terasa lebih ringan setelah mendengar kabar dari Eyang Nino.
Di luar area ICU, mereka bertemu Mama Disti, Om Tono, adik Papa Disti dan adik bungsunya, Dina. Setelah saling berpelukan dan menanyakan kabar singkat, mereka diizinkan masuk.
Saat Disti dan Dharren masuk, suasana ruangan langsung berubah. Papa Disti masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya, tapi matanya terbuka dan sorotnya jauh lebih segar dari foto yang sempat dikirimkan ke Disti dua hari lalu. Melihat anak sulungnya datang, bibirnya membentuk senyum tipis.
Disti segera mendekat, menggenggam tangan ayahnya yang terasa dingin tapi masih kuat mencengkeram.
"Papa, aku pulang. Aku senang Papa sudah lebih baik. Jangan ngomong dulu ya, istirahat aja," katanya, menahan haru.
Beberapa menit kemudian, setelah memastikan kondisi Papa stabil, mereka keluar dari ruang ICU. Mama Disti langsung menyarankan agar mereka pulang lebih dulu untuk beristirahat.
"Kalian itu baru pulang dari Eropa, pasti capek banget. Jet lag belum hilang, badan pasti masih ngambang. Besok pagi kalian bisa ke sini lagi," ujar Mama, seperti sedang menenangkan anak kecil.
"Aku di sini aja, Ma," ujar Disti pelan.
Mamanya menggeleng. "Kamu dengerin Mama deh. Papa udah jauh lebih baik. Sekarang giliran kalian jaga kesehatan. Kalian baru nikah lho, masa habis honeymoon langsung masuk UGD juga," canda Mama Disti, mencoba mencairkan suasana.
Disti menoleh ke arah suaminya. Dharren hanya mengangguk, matanya sudah tampak lelah.
"Kita pulang ke mana?" tanya Disti.
"Mau ke rumah kalian juga bisa, udah siap semua," sahut Mama.
"Nggak ah, masih sepi. Nggak pas momennya," jawab Disti cepat.
"Ke rumah Eyang aja deh, lebih dekat juga ke rumah sakit," usul Dharren.
Mama Disti mengangguk setuju. Rumah Eyang Nino yang berada di kawasan Kebayoran lebih dekat dari rumah sakit, jauh lebih praktis dibanding rumah keluarga Disti di Pasar Minggu.
Setelah pamit, mereka turun menggunakan lift. Saat pintu lift terbuka di lantai dasar, Dharren melirik ke arah kafetaria.
"Sayang, makan dulu yuk. Nanti di rumah tinggal mandi terus tidur."
Disti menoleh. "Ya udah, aku juga pengen makan sate ayam."
Kafetaria rumah sakit yang biasanya sepi, sore itu justru cukup ramai. Mereka memilih meja dekat jendela. Setelah memesan makanan, Dharren baru sadar... seseorang sedang menatap mereka dari meja lain.
Tatapan itu tidak biasa. Awalnya kaget, lalu berubah sinis, menusuk. Perempuan itu cantik, elegan, mungkin lebih cocok disebut 'berkelas', dengan rambut diikat satu dan memakai blus berkerah pas di badan. Tapi bukan gaya sosialita yang mencolok, lebih seperti seseorang yang tahu cara tampil berkelas tanpa perlu usaha keras.
Dharren diam. Tatapan perempuan itu tidak berpaling, bahkan ketika mata mereka bertemu, wanita itu tetap menatap, seolah sengaja ingin membuat Dharren tidak nyaman. Tapi ia sama sekali tak mengenalnya. Setidaknya begitu pikirnya. Dan ia tak merasa perlu menyampaikan hal ini ke Disti. Belum.
Di seberang meja, wanita itu mengangkat gelas jusnya perlahan, lalu tersenyum kecil. Bukan senyum ramah, melainkan senyum penuh makna. Seperti membuka pintu konflik yang belum jelas bentuknya.
Dan Dharren, untuk pertama kalinya hari itu, merasa tidak nyaman.