Hidup Mereka

2496 Kata
Ina menarik koper kecilnya melewati lorong rumah sakit yang sudah lumayan lengang di malam hari ini, walaupun di lobby tadi cukup ramai. Jam besuk sepertinya akan selesai sebentar lagi, tapi karena papanya dirawat di ruang VIP yang tidak ada batas waktu untuk dijenguk, Ina bebas melenggang masuk ke lorong ruang perawatan ini. Wajahnya tidak menunjukkan kelelahan sama sekali, langkahnya saja pasti. Hampir dua jam yang lalu ia mendarat dari Singapura, dan bukannya langsung ke rumah atau hotel, ia justru memilih langsung menuju lantai tiga di rumah sakit tempat ayahnya dirawat sejak dua hari lalu. Di tangannya, ia menenteng satu paper bag yang berisi sekotak kue yang ia beli terburu - buru di terminal kedatangan bandara sebelum memesan taksi. Cokelat dan snack untuk adiknya sudah ia beli di Bandara Changi sebelum boarding tadi. Tapi justru oleh - oleh untuk sang papa malah terlupa. Mungkin karena pikirannya terlalu penuh sejak pagi, belum lagi ada insiden di bandara tadi. Ina sempat tersenyum tipis membayangkan hal itu. Saat tiba di depan pintu ruang VIP tempat papanya dirawat, Ina sempat terdiam sesaat, menarik nafasnya dalam - dalam lalu menghembuskannnya pelan. Pintu itu ia dorong perlahan, aroma antiseptik dan wangi buah jeruk yang baru dikupas langsung menyambutnya. Di dalam kamar itu selain Papanya,, sudah duduk seseorang yang sejak dulu membuat hatinya rumit, Tante Yasmin. Perempuan yang akhirnya kini menjadi istri sah Papanya. Tante Yasmin tidak seumur dengan mamanya, usianya hanya terpaut tiga belas tahun dari usia Ina. Dulu, melihat Tante Yasmin saja bisa membuat darahnya mendidih. Perempuan itu, menurut Ina kecil, adalah alasan mengapa rumah tangga orang tuanya hancur. Sekretaris papa yang terlalu manis, terlalu muda, terlalu dekat, dan akhirnya terlalu penting buat hidup papanya. Namun waktu mengikis banyak hal, termasuk kebencian. Kini, setelah bertahun - tahun, Ina bisa berdiri di ruangan ini tanpa amarah membakar dadanya. Ia sudah dewasa. Mamanya pun sudah bahagia dengan pria barunya, pria yang, menurut Ina, jauh lebih baik untuk mamanya daripada sang papa. Bahkan kini Ina punya dua adik, satu dari papa, satu lagi dari mama. Semua sudah berjalan, meski tidak semua luka sepenuhnya sembuh. Ina belajar banyak hal untuk menghadapi hidupnya, sendirian. "Pa…" suara itu keluar pelan, saat Ina berdiri di ambang pintu. Pak Windra menoleh. Mata rabun pria paruh baya itu langsung berbinar, seolah rasa sakit yang dirasakannya selama berhari - hari menguap begitu saja, padahal ia tidak bisa melihat Ina dengan jelas dari tempat tidurnya, tapi ia tahu suara yang memanggilnya "Pa" itu, suara Ina, anak sulungnya. "Kamu datang?" ucapnya penuh haru, sambil mengulurkan tangan seperti hendak memeluk Ina. Ina melangkah cepat dan merunduk ke pelukan ayahnya. Mereka berpelukan cukup lama dan hangat, canggung, tapi nyata. Setelahnya, ia memberikan pelukan singkat pada Tante Yasmin. Basa - basi yang tak lagi membuat hatinya tercekat. "Kok kamu nggak bilang mau datang?" tanya sang Papa, masih menggenggam tangan Ina erat. "Tahu gitu, Papa suruh sopir jemput." "Tadinya tentatif, Pa," jawab Ina, duduk di sisi ranjang. "Aku cuma manfaatin libur akhir pekan. Nggak ambil cuti." Pak Windra tetap tersenyum, seolah kehadiran Ina adalah hadiah terbaiknya saat ini. Ia tahu putri sulungnya bukan tipe yang mudah luluh. Bahkan setelah sekian tahun, Ina masih menjaga jarak. Dulu tinggal bersama mamanya di Singapura, dan sekarang memilih hidup sendiri di apartemen, karena sang mama sudah menikah lagi. Sejak perceraian itu, lima belas tahun lalu, saat Ina masih kelas empat SD, hubungan ayah dan anak ini tidak pernah benar - benar pulih. Terlalu banyak luka, dan sebagian bersumber dari perempuan yang kini duduk anggun di sudut ruangan, dan terlihat asik dengan ponselnya. Mereka berdua adalah tokoh dari kisah klasik bos jatuh cinta pada sekretarisnya. Tapi tak ada yang benar - benar klasik jika luka itu terjadi di keluarga sendiri. "Bagaimana kondisi Papa sekarang?" tanya Ina pelan, duduk di sisi tempat tidur dengan punggung tegak. Ia melirik sekilas ke sofa, memastikan Tante Yasmin sengaja memberi ruang dan duduk agak jauh sambil memainkan ponselnya. Setidaknya, untuk momen ini, hanya ada mereka berdua: Papa dan anak perempuannya yang pernah saling menjauh oleh luka masa lalu. Pak Windra menarik napas. Wajah tampannya yang tampak mulai menua itu kini lebih banyak dihiasi garis - garis kelelahan daripada semangat. "Ada tumor di kepala Papa, dan harus dioperasi," jawabnya pelan. Ina menelan ludah. "Gejalanya apa, Pa? Apa yang Papa rasakan?" "Penglihatan Papa menurun drastis. Tumornya menekan saraf mata. Kata dokter, kalau dibiarkan ... fungsi mata Papa bisa hilang total. Kamu datang tadi, papa nggak bisa lihat, Na. Papa hanya tahu itu suara kamu. Tapi kalau jarak begini papa bisa lihat." "Terus Papa mau dioperasi, kan?" Pak Windra tak langsung menjawab. Pandangannya mengarah ke langit - langit, seperti mencari keberanian di antara jejak - jejak keraguan. "Itu yang Papa belum yakin. Jujur aja, Na ... Papa takut." Ina mengangguk pelan. "Nggak kepikiran cari second opinion ke Singapura, Pa?" "Dokter di sini sudah bagus, Na. Fasilitasnya juga canggih, nggak kalah sama rumah sakit di luar negeri." "Hm," gumam Ina pendek. Pak Windra memutar wajahnya, menatap Ina dalam - dalam. "Keputusan tetap ada di Papa. Mau maju atau enggak." "Kalau memang itu yang terbaik, Papa nggak perlu takut. Yang justru menakutkan itu kalau Papa kehilangan penglihatan selamanya." Dari sofa, Tante Yasmin ikut bersuara, nadanya tenang tapi mengandung nada jengah. "Tante juga sudah bilang itu ke Papa kamu. Tapi sekarang dia ini jadi suka ragu, nggak berani ambil keputusan." Ina tidak menanggapi. Tapi hatinya mencelos. Sebuah kalimat muncul begitu saja di benaknya, tajam tapi terpendam Kalau dari dulu Papa begini, mungkin Papa juga nggak akan berani ambil risiko ninggalin anak dan istrinya demi kamu, Tan. Dan seperti luka yang tertutup kulit tipis, kenangan masa kecil itu kembali menganga. Waktu memang bisa menyembuhkan dan mengajari untuk memaafkan, tapi tidak selalu mampu menghapus sepenuhnya. "Papa mau operasi kalau kamu yang nemenin," ucap Pak Windra tiba - tiba, nada suaranya nyaris seperti anak kecil yang merengek. Ina menoleh lagi. Tatapan mereka bersirobok. Ada harapan di mata sang ayah, tapi juga rasa bersalah yang tak sepenuhnya padam. "Kan sudah ada Tante Yasmin, ada Adel juga," ujar Ina lembut, menyebut nama istri papanya itu dan adik tirinya. Nada suaranya terdengar halus, tapi cukup jelas menyampaikan bahwa ia tidak ingin menempatkan dirinya sebagai pusat dari semua ini. Pak Windra menggeleng pelan. "Semua orang boleh nemenin Papa. Tapi ... Papa tetap maunya kamu." Beberapa detik Ina hanya diam. Lalu ia bertanya, "Kalau Papa setuju, kapan jadwal operasinya?" "Selasa pagi. Tapi keputusan harus dikasih besok pagi paling lambat." Ina langsung menimbang - nimbang. Ia tidak mengambil cuti. Bahkan, rencananya, ia akan kembali ke Singapura Senin pagi dengan penerbangan pertama agar bisa langsung masuk kantor. Ia bukan hanya enggan berurusan dengan perasaan sentimentil, tapi juga takut terjebak terlalu lama di dalam kenangan yang belum sepenuhnya selesai. Tapi ... kalau Papanya sampai menolak operasi hanya karena dirinya tak bisa menemani, itu akan menjadi penyesalan yang mungkin tak bisa diperbaiki. "Aku nggak ambil cuti, Pa," katanya jujur. "Kalau bisa dimajuin jadi Senin, mungkin aku bisa izin satu hari." Pak Windra menggeleng. "Nggak bisa. Dokter bilang operasinya harus Selasa pagi, karena ada tim khusus yang baru bisa turun saat itu. Kalau Papa nolak sampai besok pagi, ya... Papa nggak jadi operasi." Suasana di ruangan mendadak terasa hening. Lampu kamar yang hangat terasa seperti cahaya nostalgia. Ina menghela napas pelan, menatap wajah sang papa yang masih ia cintai meski pernah membuatnya kecewa begitu dalam. Ina terdiam. Ia bimbang. Sesebal-sebalnya ia pada pria yang dulu tak mampu menahan godaan sekretarisnya sendiri, tetap saja lelaki itu adalah ayah kandungnya. Orang pertama yang menggendongnya setelah lahir. Orang yang dulu pernah jadi pahlawan di matanya sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan keluarganya demi cinta yang lain. Namun, meski kecewa, rasa sayang itu tak pernah benar - benar lenyap. Ia tersembunyi, diam, tapi masih ada. Luka itu belum sembuh, tapi tidak cukup parah untuk menutup pintu empati sepenuhnya. "Aku telepon bosku dulu," ucap Ina akhirnya, suaranya datar, tapi ada keputusan di dalamnya. Pak Windra mengangguk perlahan. Wajahnya yang lelah dan matanya yang mulai buram itu tampak sedikit berbinar, seolah ucapan Ina memberi harapan. Tatapannya mengantar kepergian Ina saat perempuan itu bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar dari ruang rawat. Lorong rumah sakit malam itu terasa sepi. Lampu yang terang memantulkan bayangan pucat di lantai keramik. Di luar jendela, langit Jakarta menggantung kelam. Ina berjalan pelan, melewati beberapa bangsal sebelum akhirnya berhenti di pojok lorong yang memiliki bangku tunggu. Ia duduk, membuka ponselnya, lalu memandangi layar sejenak. Pukul delapan malam di Jakarta berarti pukul sembilan malam di Singapura. Ini hari Sabtu. Kemungkinan besar bosnya tidak akan menjawab. Bahkan bisa jadi ponselnya dimatikan. Ina menggigit bibir bawahnya. Kalau saja ini hari kerja, ia bisa langsung mengurus cuti dengan sistem kantor. Tapi malam ini, semua serba tidak pasti. Ia menatap daftar kontak. Ada dua nama yang langsung terpikir: Jimmy, teman satu divisi yang duduk di kubikel sebelahnya dan sesama perantau Indonesia. Atau Cheni, anak marketing yang dulu teman satu kampus, dan samapai sekarang masih suka nongkrong saat pulang kantor, kadang juga paham urusan atasan mereka karena sering pegang proyek bersama. "Duh … stres banget kalau udah kayak gini," gumam Ina, ibu jarinya menggulir daftar kontak. Ia mendesah pelan. "Kenapa juga harus hari Selasa, sih…" Telepon langsung ke atasannya? Terlalu riskan. Tapi kalau minta tolong Jimmy, bisa - bisa masalah cutinya malah didiskusikan di grup kantor. Belum lagi nanti kalau si bos tersinggung karena dia melewati jalur formal. Ia menutup mata sejenak, lalu membuka lagi sambil menarik napas dalam. Akhirnya, ia mengetuk ikon telepon di sebelah nama Cheni. Kalau ada yang bisa dia percaya dalam hal semi - formal seperti ini, mungkin Cheni. Setidaknya, ia tahu cara menyampaikan pesan dengan nada yang pas, tidak terlalu memaksa, tapi cukup mendesak. Tiga nada sambung. "Halo, Zel" suara di seberang terdengar ceria, padahal jam segini sudah cukup malam disana. Dan hanya Cheni yang memanggilnya Zel dari awal perkenalan sampai sekarang. "Chen, ganggu ya?" suara Ina terdengar sedikit serak, mungkin karena kelelahan atau emosi yang belum reda. "Nope, kenapa, Zel, ada masalah?" tanya Cheni yang menyadari perubahan suara Ina, apalagi ia tahu tujuan Ina pulang ke Jakarta hari ini. Ina menarik napas, lalu menjelaskan cepat tapi padat. Ia tidak mau terdengar drama, tapi juga tidak bisa mengabaikan urgensinya. Tumor. Operasi. Tidak bisa dipindah hari. Harus ada keputusan besok pagi. Cheni langsung paham. "Kamu maunya cuti berapa hari?" "Tiga, maksimal. Senin, Selasa dan Rabu, setidaknya aku sudah memastikan kondisi my Dad sudah baik - baik saja setelah operasi. Hari Kamis aku udah masuk lagi." "Oke. Saranku, coba hubungi Bu Melissa sekarang. Kalau nggak angkat, kamu kirim text. Biasanya dia tetap baca walau nggak bales langsung, usahakan dulu malam ini, setidaknya kamu bisa dapat jawaban secepatnya." "Kalo tidak dijawab sampai besok?" "Kamu tetap saja stay disana, hari Senin pagi aku akan datangi ruangan bu Melissa." "Chen … makasih ya. Aku tidak bisa berpikir kalau tidak ngobrol sama kamu sekarang." "Tenang. Kamu fokus sama Papa kamu dulu, ya." "Oke." "Bagaimana perjalanan kamu pulang tadi? Tidak sampai terlambat, kan?" Ina memang sempat mengeluh ke Cheni ketika dalam perjalan ke bandara tadi sore, ia khawatir terlambat karena urusan membereskan apartemennya yang berantakan. "Tidak terlambat, tapi aku ketemu orang aneh, tapi sialnya dia tampan, jadi aku maafkan keanehannya," jawab Ina yang jadi tersenyum menjelaskan itu karena wajah Dhannis tiba - tiba melintas dibenaknya. "Hmm, aku jadi tertarik mendengar ceritanya ketika kamu bilang dia tampan." "Haha ... bukannya itu bonus ya?" "Kamu sempat kenalan?" "Owh jelas, dia bahkan duduk di sebelahku selama perjalanan Singapore Jakarta." "Aku ingin mendengar ceritanya sekarang, tapi kamu harus menghubungi bu Melissa dan juga mengurus papamu, aku harus sabar menunggu sampe hari kamis saat kita makan siang di kantor." "Oke ... aku akan ceritakan semuanya nanti. Terimakasih ya, Chen, aku akan kontak bu Melissa dulu. "Oke." Setelah sambungan telepon terputus, Ina menatap layar beberapa saat sebelum meletakkan ponselnya di pangkuan sebelum menghubungi bu Melissa, atasannya. * Sementara itu, Dhannis baru saja tiba di rumah Eyangnya. Hujan gerimis menyertai langkahnya masuk ke dalam rumah yang selalu menjadi tempat paling nyaman untuk pulang. Kehangatan langsung menyambutnya, Eyang Nino, Yangti Sarah, serta Papa dan Mama yang sedang makan malam bersama di ruang makan. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Lho, Mas Dhannis, kok nggak bilang - bilang mau pulang hari ini? Naik apa dari bandara?" tanya Mama Dea yang terkejut ketika melihat Dhannis masuk dari pintu samping dengan membawa koper kabin dan satu tentengan paper bag putih. Setahunya, Dhannis baru akan pulang Senin pagi, sebab jadwal praktiknya baru dimulai siang hingga sore hari. "Aku naik taksi, Ma," jawab Dhannis singkat sambil meletakkan barang bawaannya di dekat sofa ruang tengah. "Itu bawa apa?" tanya Mama Dea sambil menoleh penasaran. "Buat Mai, Mau, sama Devan," jawab Dhannis menyebut nama tiga keponakannya. "Aku beliin cokelat, biar mereka nggak lupa Omnya ini," jawab Dhannis sambil tersenyum dengan candaan kecilnya. Mama Dea ikut tersenyum, "Biar Mama aja yang bawain ke sana. Soalnya malam ini Mama sama Papa mau nginep di rumah Popa." "Oke, titip ya, Ma," balas Dhannis. "Sini, makan bareng, Mas," ajak Yangti Sarah hangat tanpa bertanya apakah cucunya itu sudah makan atau belum. Dhannis mengangguk, lalu menarik kursi kosong di sebelah Papanya. Ia sebenarnya memang sudah makan di pesawat, ya meskipun tidak dihabiskan karena terus mendengar obrolan random si 'cerewet' Ina yang entah kenapa masih terngiang sampai sekarang. Lucunya, pertemuan tadi terasa menyebalkan sekaligus ... memancing rasa penasaran, belum pernah ia bertemu dengan cewek kelewat percaya diri dan cenderung tidak tahu malu seperti Ina tadi. Akhirnya Dhannis ikut makan malam dengan keluarganya ini. Obrolan malam itu mengalir ringan. Yang dibahas adalah anak - anak Dhevi yang kini semakin lincah dan penuh kejutan karena kepintaran mereka. Tidak ada satu pun yang menyebut-nyebut soal pernikahan Mas Dharren dua minggu yang lalu dan acara bulan madu mereka ke Eropa yang akan berakhir beberapa hari lagi, seolah semua kompak menjaga ruang hati Dhannis agar tak tersenggol. Setelah dua minggu di Jakarta mengurus pernikahan anak sulung mereka, Mas Dharren, Papa dan Mamanya akan segera kembali ke Bandung. Dulu, Dhannis dan kakaknya, Mas Dharren, tinggal di rumah Eyang ini bersama, berbagi ruang dan cerita, menghabiskan masa kuliah dan koas dari rumah ini. Tapi setelah bulan madu nanti, kakaknya itu akan pindah ke rumah barunya di Kemang tentu saja sama istrinya, Disti. Dan rumah ini… akan kembali sepi. Terlalu sepi malah. Rasa kosong itu perlahan menyelinap lagi. Beberapa hari yang lalu ia pikir Singapura bisa jadi tempat pelarian, tempat ia bisa menepi dan melupakan bahwa tinggal ia satu-satunya yang belum menikah diantara dua saudara kembarnya, yang lebih mengenaskan adalah status jomblo yang disandangnya, alih-alih segera menyusul mereka. Tapi ternyata, kota itu hanya memperbesar gema kesendiriannya, ia jenuh, suntuk dan merasa paling sengsara. Makanya ia memutuskan untuk pulang lebih cepat, tentu saja bukan karena rindu, tapi karena kesepian. Akhirnya Dhannis berpikir kalau di rumah sendiri jauh lebih bisa diterima daripada kesepian di negeri orang. Malam ini, Dhannis berdiri sejenak di depan jendela kamarnya, menatap lampu jalan yang buram tertutup tirai hujan. Ada desir asing di dadanya. Semacam firasat yang tak bisa dijelaskan. Mungkin yang tidak ia sadari, semesta sedang memutar roda pertemuan dengan seseorang yang akan menjadi pendampingnya kelak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN