Suasana Bandara Changi sore ini cukup ramai, seperti biasa. Penerbangan ke Jakarta dijadwalkan tepat pukul lima sore waktu Singapura dan boarding gate mungkin baru dibuka lima belas menit lagi.
Tapi Zellina, dengan langkah terburu - buru, menyeret koper pink-nya yang tampak mengkilat. Jepit bermotif bunga menghiasi rambutnya yang tidak terlalu panjang itu tergerai bebas. Dia sebenarnya belum terlambat, tapi hanya takut terlambat. Ia sibuk membuka boarding pass dari aplikasi ponselnya untuk memastikan kalau ia tidak salah gate, dan saat itu pula tubuhnya tanpa sengaja menyenggol seorang pria yang tengah berdiri di depan gate enam belas, gate yang sama dengannya.
"Oops!" ujar Zellina cepat, ia kaget lalu melirik sekilas ke arah pria yang ia tabrak barusan, dan ntah mengapa ia tidak melakukan apa - apa selain menutup bibirnya dengan telapak tangan, biasanya ia tdak begitu, mungkin karena kaget dan dalam keadaan terburu - buru ia jadi lupa kebiasaan baiknya untuk meminta maaf.
Pria itu mendelik ke arah Zellina ketika paper bag-nya yang berisi coklat dan snack anak - anak jadi terjatuh. Pria itu berkemeja biru rapi, dengan jas abu - abu tergantung di lengannya. Penampilannya terlalu formal untuk seorang penumpang economy class. Sorot matanya tajam, rahangnya tegas. Wajahnya cocok untuk iklan skincare mahal, tapi ekspresinya ... hmm, menyebalkan.
"Kamu nabrak orang dan cuma bilang 'oops'?" suaranya datar tapi terdengar pedas dalam bahasa inggris yang bagus.
Zellina yakin pria ini bukan keturunan penyanyi karena ucapannya tidak enak di dengar, apalagi ekspresinya.
Zellina menoleh sebentar, ia mendadak ingin jadi orang sombong karena pria itu terlihat tidak ramah.
"Ya kan cuma nyenggol, bukan tabrak sampai kamu jatuh pingsan dan perlu tenaga medis datang, jangan berlebihan."
"Kalau kamu nyenggol orang sampai tulang kakinya patah atau geger otak, lalu pingsan dan tidak sadarkan diri, baru kamu mau minta maaf, ya?" tukas pria itu sambil mengatur posisi koper hitamnya setelah mengambil kembali paper bag nya yang jatuh tadi yang bahkan tidak ditolong juga oleh Zellina.
"Detail amat sampe geger otak segala, situ dokter, ya?" tanyanya sembari menaikkan satu alis. Wajah Zellina benar - benar membuat lawan bicara bisa naik tensi dibuatnya, dan itu memang niatnya membalas pria yang terlihat angkuh ini.
"Bukan. Saya montir pesawat!" jawab pria itu sarkastis, lalu berlalu mencari tempat duduk untuk menunggu.
Zellina sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya terkekeh sendiri. "Lucu juga montir pesawatnya ganteng gitu, kalo nggak judes gue pikirin buat jatuh cinta, deh," gumamnya sambil meninggalkan tempat kejadian perkara tabrakan tadi.
Mereka belum tahu kalau mereka akan naik pesawat dengan tujuan yang sama dan berasal dari negara yang sama pula, karena Zellina tidak menunggu di depan gate, tapi langsung berjalan menuju duty free, mendadak dia ingin membeli coklat dulu buat adiknya karena tiba - tiba ia teringat tidak membeli apa - apa, tadi ia sangat terburu - buru dari apartemennya.
Tadi malam ia lembur dan baru sampai jam sebelas malam di apartemen, badan sudah lelah dan menganuk pula, alhasil ia bangun kesiangan. Belum lagi menjelang siang ia harus memasukkan sprei dan baju ke laundry, sampah juga belum dibuang dan ia sempatkan berbenah apartemen dulu supaya pas pulang nanti apartemennya sudah dalam keadaan rapi, tapi itu justru membuat harinya benar - benar kacau, untung saja dia tidak terlambat ke bandara.
Beberapa menit kemudian Zellina sudah kembali ke antrian para penumpang yang sedang boarding, dia termasuk tiga orang terakhir yang akan masuk ke pesawat.
Ketika sudah masuk ke dalam pesawat, Zellina menoleh ke sebelah kanan untuk mencari kursi yang sesuai dengan boarding pass-nya, harusnya tempat duduknya tidak terlalu jauh ke belakang karena masih di deret belasan. Ia fokus mencari nomor kursinya dan akhirnya dengan mudah menemukan barisan kursi itu ... saat memastikan nomor kursi di boarding pass-nya: 13A, ia menahan napas
ketika melihat siapa yang duduk di 13B, tampak pria bermulut pedas tadi sudah duduk duluan dan tengah membaca buku berjudul 'The Body Keeps the Score'.
"Seriusan pesawat Airbus, tuh, sekecil ini? Kenapa kok harus ketemu dia lagi, mana sebelahan lagi, ckk ..." gumam Zellina lirih nyaris tidak terdengar sambil memasukkan koper ke atas rak kabin. Saat itu pria di 13 B mendongak melihat ke arah Zellina sebentar, hanya sepersekian detik, lalu ia menunduk lagi membaca bukunya.
Zellina harus melewati pria itu kalau mau duduk di kursinya, 13 A, tapi entah bagaimana caranya melewati pria itu tanpa mengganggunya. Memang agak mustahil karena Ina duduk di sebelahnya, tepatnya di bagian jendela. Zellina mencoba berpikir cepat bagaimana cara lewat tapi tidak bersinggungan lagi dengan si montir pesawat tampan ini.
"Jangan bilang kursi kamu tiga belas A," ujar pria itu tanpa menoleh, tapi kali ini berbahasa Indonesia, entah mengapa mendadak ia yakin perempuan yang sedang berdiri diam di sampingnya ini adalah orang Indonesia juga.
Mungkin dia merasa Zellina hanya diam, bilang permisi tidak, bertanya juga tidak, tapi berdiri disamping kursinya agak ke depan sedikit.
"Okay, kalo gitu saya nggak akan bilang apa - apa," jawab Zellina ringan, Tapi dia tetap berdiri menunggu pria itu untuk beranjak dari kursinya, kalau tidak, dia tidak akan bisa lewat.
"Ini benar - benar hari sial saya," gumamnya sambil menutup bukunya dan berdiri untuk keluar dari tempat duduknya dulu.
Zellina tersenyum, "Tenang aja, saya penumpang yang damai dan bersahabat. No drama," jawabnya sambil masuk menuju kursi 13 A miliknya.
"Tapi berisik."
"Terima kasih. Tapi saya belum mulai ngobrol lho ini."
Tidak tahu ucapan terima kasih Zelina itu untuk jalan yang sudah diberikan oleh pria itu atau jawaban sarkas karena dibilang berisik.
"Kamu nggak perlu mulai. Energinya udah nyebar ke satu kabin ekonomi ini."
Zellina memutar bola matanya sambil tertawa kecil. "Wow, ternyata kamu tipe orang yang nyebelin dari asalnya, atau itu semacam defense mechanism?"
"Apapun itu, tapi tolong jangan sok akrab."
Zellina menoleh, menatap pria itu dengan kepala miring. "Saya Zellina, by the way. Jadi sekarang kita udah akrab secara resmi. Oh ya, jangan panggil saya 'hei' ya, call me Ina."
"Dhannis," jawabnya malas, dia menjawab ini karena demi kesopanan saja, Zellina sudah menyebutkan namanya lebih dahulu dan tidak mungkin dia tidak menjawabnya, itu tidak sopan namanya. "Dan saya tetap tidak tertarik jadi akrab!" tambah Dhannis lagi.
"Baik lah," jawab Ina sambil menahan senyumnya, ia langsung bisa menilai kalau pria disebelahnya ini adalah pria introvert yang perlu ia terapi.
Sekarang Dhannis sudah duduk kembali sambil memasang sabuk pengamannya dan membuka buku yang dibacanya tadi.
Ina melihat sedikit ke arah buku yang dibaca Dhannis.
"Being able to feel safe with other people is probably the single most important aspect of mental health," ucap Ina tiba - tiba dan membuat Dhannis menoleh kepadanya.
"Bener kan? Atau belum sampe ke situ bacanya?" tanya Ina lalu memberikan cengirannya membuat Dhannis mendengus.
Sudah dipastikan Ina sudah pernah membaca buku yang dipegang Dhannis sehingga dia bisa mengutip salah satu kalimatnya.
*
Pesawat take off dengan mulus meninggalkan daratan Singapura dengan lampu - lampu yang mulai menyala di setiap gedung maupun jalanan di bawah sana, Ina bisa melihat dengan jelas karena dia duduk di sisi jendela. Selama sepuluh menit pertama, tidak ada percakapan. Zellina sibuk mengatur playlist-nya dan Dhannis kembali membaca dengan bantuan lampu baca karena lampu utama di kabin pesawat ini belum dinyalakan, pesawat masih menanjak mencapai ketinggian yang aman untuk mematikan lampu tanda sabuk pengaman bisa dilepaskan dan awak kabin bisa melakukan pekerjaan service kepada penumpang. Tapi sesekali ia melirik perempuan di sebelahnya dengan ekor mata, karena menurut Dhannis, wanita ini sekarang terlalu tenang untuk ukuran orang yang tadi banyak omong dan mungkin mengklaim seat-nya sebagai tempat takdir.
"Mental kamu terganggu ya jadi montir pesawat makanya baca buku itu?" tanya Ina akhirnya. Sepertinya dia sudah menyelesaikan urusannya sendiri sehingga membuka percakapan lagi dengan Dhannis yang hanya tampak diam, atau tepatnya kegabutan Ina membuatnya mengganggu fokus Dhannis yang sedang membaca
"Hmm," jawab Dhannis malas.
"Kamu tuh montir jenis pesawat apa emangnya?" tanya Ina mulai penasaran.
"Semua pesawat," jawab Dhannis asal karena ia tidak menguasai soal pekerjaan montir pesawat, jadi dia menjawab secara umum saja.
"Uhm bisa ya general gitu, berarti kamu ahli dalam ... mendeteksi semua hal yang salah dalam pesawat ya? Keren sih," ucap Ina sambil memainkan tangannya ketika sedang berbicara, mirip orang yang sedang berbicara serius dan akrab dengan lawan bicara.
"Sangat ahli, kecuali dalam memilih posisi duduk di pesawat," jawabnya tanpa senyum.
Ina terkekeh karena jawaban Dhannis lebih mirip sindiran untuknya.
"Kamu tuh sebenarnya menyebalkan banget orangnya, tapi entah kenapa saya nggak kesel lho, beneran, malah jadi lucu sebenarnya," ucap Ina meyakinkan Dhannis.
"Bagus deh, kemungkinan kamu punya tingkat toleransi yang tinggi terhadap toxic people."
Ina mengangguk yakin.
"Bisa jadi. Tapi biasanya saya paling benci sama cowok dingin yang sok cool, kayak sok ganteng gitu kesannya, padahal belum tentu ganteng. Kalo orang ganteng kan bebas mau apa aja, sok cool kek, sok pasang stelan cuek juga nggak masalah."
Dhannis menutup bukunya dan menatapnya dengan serius. "Dan sekarang kamu duduk sebelahan dengan salah satunya."
"Yeah, saya tahu,"Ina menanggapi santai. "Tapi nggak apa - apa karena sikap dingin kamu ketolong sama wajah, setidaknya malam ini saya punya hiburan selain playlist lagu - lagu saya," jawab Ina dengan wajah terlihat polos dan tidak merasa bersalah menjadikan Dhannis sebagai hiburan malam minggu di di ketinggian empat ribu kaki dan semakin terus meninggi.
Dhannis akhirnya terkekeh kecil, tapi cuma sebentar, mungkin saja cuma tawa sarkas. Setidaknya itu tawa pertama sejak dia masuk ke pesawat.
Sebenarnya duduk di kelas ekonomi premium bukanlah pilihan Dhannis. Bukannya dia tidak bisa membayar tiket untuk duduk dikelas bisnis seperti biasa, tapi rupanya mendadak ingin pulang ke Jakarta sore ini bukanlah pilihan yang bagus karena ketersediaan tempat duduk di kelas bisnis ternyata penuh, mungkin karena ini weekend. Tapi karena perjaalanan ini tidak terlalu lama, hanya satu setengah jam, Dhannis akhirnya memilih terbang di kelas ekonomi premium ini. Harusnya ia memang masih dua hari lagi di Singapura, tapi rasa jenuh membuatnya ingin segera pulang dari healing tipis - tipisnya. Kalau saja ia tahu kepulangannya ini menjadi suatu kesialan duduk di nomor 13 B, dan bersebelahan dengan wanita cerewet yang bernama Zellina ini, mungkin Dhannis lebih memilih suntuk saja di Singapura.
*
Penerbangan berjalan mulus. Saat makanan datang dan harus memilih makanan yang menjadi makanan utamanya, Ina mengajak Dhannis berdiskusi kecil soal makanan yang akan mereka pilih, ia membuat Dhannis seolah - olah memang teman perjalanannya dari awal, padahal belum ada satu jam mereka saling mengenal, itupun tidak sengaja.
Tapi bagi Dhannis, ini penerbangan paling aneh sekaligus ... menarik yang pernah ia alami. Ia belum pernah merasa ditantang sekaligus dibuat kesal oleh seorang perempuan yang kelihatannya tidak tahu malu tapi punya cara sendiri untuk membongkar dinding pertahanan orang, dan ia juga tidak mau berbagi keramahan dengan wanita yang cuma ia kenal bernama Zellina ini.
Bagi Dhannis, Ina ini adalah 'Once-in-a-flight chaos', dia berharap kalau ini akan menjadi pertemuan pertama dan sekaligus terakhir mereka. Ia juga punya harapan lain, semoga saja tidak ada wanita seperti ini lagi yang berinteraksi dengannya dikemudian hari, bertemu satu wanita serupa ini saja hari ini sudah membuat mood-nya berantakan.
Pesawat yang membawa mereka dari Singapura itu akhirnya mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Getaran roda menyentuh landasan disambut pengumuman dari awak kabin menandakan perjalanan udara mereka telah usai. Saatnya kembali ke realita masing - masing.
Tidak ada percakapan di antara mereka saat penumpang mulai berdiri, mengambil bagasi kabin, dan bersiap turun. Dhannis hanya sesekali melirik ke arah Ina yang berjalan di lorong yang sama menuju terminal kedatangan, tapi segera mengalihkan pandangannya dengan cepat ke depan, berusaha menjaga ekspresi datar, seolah tidak terjadi apa - apa dalam penerbangan tadi. Entah karena masih jengkel atau malah terlalu banyak yang berkecamuk di kepala.
Setelah melewati lorong garbarata dan jalan yang cukup panjang di terminal 3 ini, kini mereka memasuki area imigrasi, mereka pun terpisah dalam antrian yang ada. Tapi anehnya, mereka keluar dari area imigrasi nyaris bersamaan, dan kembali berdiri di tempat yang sama di area kedatangan, sama - sama mencari taksi bandara.
Dhannis sebenarnya sudah berniat jalan lurus tanpa menoleh, berpura - pura tidak melihat. Tapi suara ceria yang khas itu muncul lagi dari belakangnya.
"Mas Montir ganteng, see ya when I see ya..." ujar Ina sambil memberi cengiran lebar, khas gayanya yang seenaknya tapi entah kenapa sulit dibenci.
Dhannis menoleh pelan. Kali ini ia tidak lagi repot menjaga sikap. Ia menatap Ina sebentar, lalu menjawab datar, "Nggak akan!"
Alih - alih tersinggung atau kikuk, Ina justru tertawa lepas seperti barusan mendengar candaan paling lucu hari ini.
"Yah, yang penting saya udah pamit baik - baik," ujarnya sambil berjalan ringan menuju taksinya, lalu dengan santai melambaikan tangan ke arah Dhannis. Tak peduli meski tak dibalas.
Dhannis berdiri terpaku, setengah bingung, setengah jengkel sendiri. Ia menoleh sebentar ke arah taksi Ina yang mulai melaju menjauh, lalu menghela napas pelan.
"Aneh banget sih tuh orang..." gumamnya sambil berdiri menunggu taksi berikutnya datang.