Bab 8

2066 Kata
Anya menikmati minggu pertama liburannya dengan mengexplore resort yang ternyata sangat luas lebih dari dugaannya tersebut. The Surya Resort terbagi ke beberapa type penginapan. Ada bangunan setinggi lima lantai yang digunakan sebagai bangunan dengan tipe kamar hotel seperti pada umumnya. Terdiri kamar dari tipe standard suite hingga presidential suite.  Jika ingin menikmati menginap di kamar hotel dan modern namun tetap sambil bisa menikmati hamparan pantai yang luas, tipe kamar di bangunan ini bisa menjadi pilihan.  Lalu bergeser sedikit dari bangunan lima lantai tersebut terdapat beberapa jenis bungalau yang menghadap langsung ke kolam renang resort. Tentu saja kolam renang tersebut bukan satu-satunya kolam renang di sana, karena ada tiga kolam renang umum di The Surya Resort. Belum lagi beberapa jenis bungalau yang juga memiliki private pool di dalamnya. Lanjut ke cottage pinggir pantai. Cottage ini terdiri dari rumah-rumah yang seolah mengapung di atas laut. Hanya ada 24 buat cottage ini, terbagi lagi ke tiga tipe.  Tulip untuk tipe paling besar, berisi dua buah kamar, dapur, ruang tamu yah setipe dengan presidential suit yang dilengkapi juga dengan private mini pool dan jacuzzi.  Lalu selanjutnya ada tipe teratai, hanya ada satu kamar tidur dengan kasur berukuran king size namun disertai extra single bed terpisah, dapur, ruang tamu, mini pool dan jacuzzi.  Dan terakhir ada tipe kenanga. Tipe yang ditempati Anya. Tamu masih bisa memilih ingin berisi dua single bed atau satu bed berukuran queen size dan tentu saja Anya memesan yang kedua. Tipe ini tidak disertai dapur tetapi difasilitasi microwave. Dan meski tidak ada mini pool, Anya tetap mendapatkan fasilitas jacuzzi di kamarnya yang langsung menghadap ke hamparan laut lepas.  Tentu saja Anya tidak stay di tipe kamar ini untuk 3 bulan. Biaya sewa gedung dan tabungan pernikahannya bahkan tidak akan menutupi biaya itu. Anya hanya akan di sana selama dua minggu sesuai paket yang disediakan (dengan diskon) dan kemudian pindah ke tipe suite room standard yang kebetulan memang disediakan paket long stay bulanan yang jauh lebih ramah di kantong.  Kalau saja tidak ada tabungan pernikahan, Anya juga mungkin akan berpikir ulang untuk menghabiskan waktu liburannya selama 3 bulan di The Surya Resort. Untuk biaya menginap yang sudah sepaket dengan paket breakfast saja Anya sudah menghabiskan hampir lima puluh juta, itu pun karena The Surya Resort sendiri memang sedang ada promo dan menyediakan paket long stay yang hitungannya jauh lebih murah.  Karena jika membayar dengan harga normal, Anya bisa menghabiskan lebih dari seratus juta untuk berlibur tiga bulan di sana.  “Ada bagusnya Dirga nggak jadi nikahin gue, jadi duitnya bisa gue pakai senang-senang!” Anya berseru riang memandangi nominal uang di dalam tabungan pernikahannya yang sudah terpotong untuk biaya self-healing projectnya.  Masih ada sekitar seratus juta di sana. Anya tidak perlu takut untuk memikirkan makan apa dan hidup bagaimana selama di sana. Bahkan kalau Anya mau boros pun rasanya uang itu masih lebih dari cukup untuk menghidupinya di sana. Soal Dirga yang tidak meminta bagiannya, lelaki itu sepertinya menganggap uang itu sebagai bagian dari konspensasinya atas pembatalan pernikahan. Lagipula uang tabungan itu murni tabungan Anya dan Dirga yang mereka kumpulkan sejak SMA.  Iya, Anya tidak salah. Dirinya dan Dirga sudah menabung sejak SMA dengan mimpi penuh dongeng mereka untuk pernikahan mereka. Jika saja Dirga langsung bekerja seusai lulus dari S1 dan tidak melanjutkan pendidikannya ke S2, mungkin uang tabungan mereka jumlahnya bisa lebih banyak.  Kembali ke project liburan Anya. Selama seminggu ini Anya tidak terlalu banyak memiliki kegiatan. Aktifitas Anya bahkan tidak jauh berbeda dengan saat di rumah. Bangun tidur, Anya pergi ke resto resort untuk sarapan buffet. Lalu setelah itu berjalan-jalan santai ke sekitar private beach milik resort. Kalau tidak malas, Anya biasanya akan berenang atau fitness. Kalau malas? Anya akan menghabiskan waktunya di kamar. Berendam di jacuzzi atau menonton series di ipadnya dengan pemandangan laut di teras kamarnya. Baru di hari ketiga sepertinya Anya akhirnya berenang ke laut. Turun langsung dari teras kamarnya. Jadi Anya snorkling di sekitar kamarnya saja dengan alat yang juga sudah disediakan. Di hari ke lima, saat Anya ingin mencoba fasilitas olahraga air yang tersedia di sana seperti jet ski, banana boats, donut boats, snorkling hingga ke parasailing, sialnya Anya justru datang bulan. Dan Anya adalah tipe yang hanya bisa bed rest saat datang bulan di dua hari pertama.  Dan ini adalah hari kedua Anya merana di atas tempat tidurnya. Merasakan nyeri di perutnya yang bahkan membuatnya tidak bisa tiduran dengan tenang.  Hari sudah hampir menjelang pukul sepuluh di mana jam breakfast hotel akan ditutup. Anya benar-benar tidak punya tenaga hanya untuk berdiri meraih gagang telpon di meja untuk menghubungi service room dan meminta sarapannya diantarkan ke kamar. “Ah—sial, kenapa harus datang bulan pas gue masih nginep di kamar Kenanga sih. Buang-buang duit, tahu!” Anya mengomel pada dirinya sendiri. Ya, selain keram perut saat haid, Anya juga menjelma menjadi manusia senggol bacok selama datang bulan.  Bahkan terkadang dengan dirinya sendiri. Seperti saat ini. “RAHIM NYUSAHINNN!”  *** “Anggi,” Arya memanggil seorang perempuan dengan rambut dikuncir yang sedang sibuk berdiri mencatat sesuatu di tabletnya.  “Eh, Pak Arya, selamat pagi!” Sapa perempuan itu sopan.  “Pagi.” Arya tersenyum ramah seperti biasanya. Lalu menatap Anggi dengan ragu-ragu.  Tatapan Arya itu menunjukkan seolah diriny ingin mengatakan sesuatu. Hal itu membuat Anggi menatapnya bingung. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” Tanyanya. “Uhm…” Arya menelan ludah. Entah kenapa harus merasa gugup dan salah tingkah. “Kamar kenanga 133 apa sudah datang?” Tanya Arya pada akhirnya. Mencoba bersikap seolah bertanya tentang salah satu tamu resortnya sudah datang untuk sarapan atau belum adalah hal yang normal untuk seorang ‘bos’ sepertinya. Wajar jika reaksi pertama Anggi adalah sebuah kernyitan di dahi. Karena pertanyaan Arya terlalu spesifik. Tetapi Anggi tidak ingin berkomentar selain langsung mengecek daftar tamu yang sudah datang untuk sarapan di tabletnya.  “Belum, Pak,” jawab Anggi sambil setengah menunjukkan layar tabletnya yang menunjukkan kamar kenanga 133 belum diceklis untuk sarapan pagi itu.  Arya mengangguk. Mengintip ke jam di pergelangan tangannya. “Kalau gitu saya bantu-bantu di dalem dulu.” Sebelum menunggu jawaban Anggi, Arya sudah lebih dulu melesat masuk ke dalam restorant. Beberapa staff hotel masih tampak lalu lalang mengisi stok makanan yang akan disajikan untuk sarapan tersebut. Beberapa makanan benar-benar baru matang dan dibawa langsung dari dapur resort. Arya sendiri tadi sudah sempat mengecek ke sana dan ikut membantu. Dan biasanya, Arya memang hanya membantu di dapur saja.  Jadi jelas, kedatangan Arya saat ini di resto membuat staffnya terkejut. Untungnya tamu hotel yang datang untuk sarapan masih sangat sedikit sehingga hal itu tidak mengganggu siapapun.  “Pak Arya!” Seorang staff yang mengenakan seragam khas yang menunjukkan bahwa dirinya adalah crew dapur menyapa setengah terkejut akan kehadiran Arya. “Ada apa, Pak?” Tanyanya. Arya menggeleng. “Nggak, santai aja. Saya mau ngecheck aja, bantu-bantu. Ini weekend, biasanya ramai.” Arya menepuk bahu lelaki itu. “Sudah semuanya lanjut ke bagian masing-masing.”  “Baik, Pak.”  Arya lalu berjalan menuju bagian stand nasi goreng yang berupa open kitchen. Di sana ada dua chef yang bertugas untuk membuat makanan langsung sesuai pesanan seperti sunny side up dan omelete agar saat tamu memintanya makanan itu masih disajikan dalam kondisi panas. “Chef! Eh, maksudnya Pak Arya, pagi Pak! Mau sarapan, Pak?” Tanya chef muda bernama Bardi tersebut. Arya tertawa. Sebelum menggantikan mendiang kakeknya menjadi bos di resortnya tersebut, Arya memang sudah sering membantu di dapur resort dan lebih akrab dengan para chef di sana dengan sebutan chef. Baru saat Arya sekarang secara teknis sudah menjadi bos resmi di sana, para staff mengganti panggilannya menjadi Pak Arya.  Kecuali untuk Vega dan Gavin yang memanggilnya dengan sebutan Mas.  “Nggak, Bardi. Saya mau lihat-lihat saja. Saya bantu di sini, boleh?” “Hah?” Bardi dan rekannya Yusuf saling lirik sebelum kemudian mengangguk ragu. “Bo—boleh kok Pak.” Jujur, Bardi dan Yusuf sama-sama bingung. Karena di stand mereka sesungguhnya tidak terlalu membutuhkan bantuan karena mereka merasa berdua saja cukup. Tapi menolak permintaan bos rasanya juga tidak mungkin kan? Seperti dugaan Arya, buffet breakfast restaurantnya sangat ramai di hari weekend. Namun hingga waktu breakfast untuk tamu hotel nyaris ditutup, sosok yang dinanti dan menjadi alasan Arya berada di sana hari ini tidak kunjung tiba. Padahal beberapa hari kemarin, meski Arya tidak turun langsung seperti saat ini ke open kitchen, Arya tahu jika Anya biasanya datang di sekitar pukul delapan hingga jam sembilan.  Iya, Arya memang sedang menunggu Anya. Memang siapa lagi?  Karena stand Bardi dan Yusuf sudah semakin sepi menjelang akhir jam breakfast, Arya akhirnya pamit dan menyingkir dari sana. Menghampiri Anggi yang juga sudah duduk di kursinya karena memang sepertinya semua tamu yang datang untuk sarapan sudah datang.  “Kamar kenanga 133 masih nggak ada?” Tanya Arya meyakinkan. Anggi sampai tersentak karena Arya tiba-tiba muncul sambil melempar pertanyaan tersebut. “Eh iya, Pak. Hari ini yang nggak sarapan ada tiga kamar.” Anggi menatap reaksi Arya, menimang dari wajah lelaki itu apakah Arya ingin tahu kamar mana lagi yang tidak datang sarapan selain tamu dari Kenanga 133. Namun Anya menyimpulkan jika Arya bahkan tidak ingin tahu. “Oke, makasih Anggi. Have a good day ya, you did a good job today!” Arya melambaikan tangannya dan berlalu menuju ke ruangan khusus staff bagian service room untuk mencari tahu info tentang tamu kamar Kenanga 133 dan memastikannya sudah memesan sarapan.  *** Anya akhirnya memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur. Perutnya bukan hanya sakit karena kram haid tetapi juga karena lapar. Pantas saja, sudah lewat dari jam sarapan dan sebentar lagi bahkan jam setengah sebelas. Sesi breakfast sudah berakhir dan sekalipun Anya pergi sekarang pasti sudah tidak ada makanan tersisa lagi apalagi ini weekend.  Ya sudah. Anya tidak punya pilihan selain memesan makanan lewat layanan service room. Tetapi belum sampai Anya ke meja di mana telpon berada, suara bel kamar Anya berbunyi.  “Service room!”  “Iya, sebentar!” Dengan menahan sakit dan berjalan setengah tertatih, Anya berjalan menuju pintu. Mengintip dari peep hole dan mengernyit saat menemukan seorang staff resort berdiri di depan pintu kamarnya. “Perasaan gue belum pesen apa-apa…” Anya membuka pintu kamarnya dan staff hotel laki-laki yang mengantarnya ke kamar di hari pertama itu adalah orang yang sama dengan yang berada di hadapannya saat ini. Arya.  “Iya?” Tanya Anya bingung. Semakin bingung karena Arya datang membawa trolly berisi makanan di belakangnya. “Saya mau antar breakfast, Bu.”  Anya mengernyit. Dia tahu telpon kamarnya berdering beberapa kali sejak pagi untuk menkonfirmasi apa Anya akan sarapan ke resto atau di kamar. Tetapi tadi Anya tidak punya tenaga untuk mengangkatnya dan mengabaikan panggilan tersebut. Dan bukankah terlalu siang kalau memang sarapan ini diantar saat ini? Seharusnya breakfast Anya sudah hangus karena Anya tidak melakukan konfirmasi apa-apa dan tidak juga datang ke resto, kan? “Oh, saya pikir jatah breakfast saya hangus karena saya nggak konfirmasi.” “Tidak, Bu, justru kami minta maaf karena baru mengantar breakfast Ibu menjelang makan siang. Sebagai gantinya ada complentary dari kami yaitu satu porsi pasta carbonara dan chicken steak dan juga dessert untuk makan siang.”  Anya kini tahu kenapa review The Surya Resort nyaris sempurna di semua aplikasi dan website travel serta penginapan. Pelayanan mereka soal memanjakan tamu benar-benar luar biasa. “Untuk makan siangnya nanti akan diantar juga ya, Bu. Bisa langsung hubungi service room atau makan langsung di lounge atau resto kami. Nanti tinggal disebut saja complimentary untuk kamar Kenanga 133.” “Ah, okay. Terima kasih, Mas.”  Arya tersenyum. “Lalu ini trollynya mau dibawa masuk atau makanannya saja?” Tanyanya sopan.  Anya tiba-tiba mengernyitkan wajah ketika rasa sakit di perutnya menyerang tanpa aba-aba. Namun Anya juga terlalu malu untuk menunjukkan ekspresi itu di depan Arya, jadi Anya sekuat mungkin menahannya. Meski tentu saja hal itu gagal karena Arya sudah lebih dulu melihatnya.  “Bu Zevanya, maaf saya tidak sopan, but are you okay? Ibu kelihatan tidak enak badan.”  Anya berpegangan pada pintu kamarnya yang terbuka. Lalu menggeleng. “No, it’s okay… breakfastnya sama trollynya sekalian aja Mas. Thank you,” ucap Anya cepat. Arya hanya bisa mengangguk sopan. “Baik, Bu, permisi ya, saya izin memasukkan trollynya,” ucap Arya sebelum meminta izin untuk memasuki kamar Anya membawa masuk trolly yang penuh sarapan tersebut.  Dan meski sudah berpura-pura mengabaikan karena Anya sendiri yang memintanya, Arya tetap tidak bisa menahan dirinya untuk mencuri lirik ke arah Anya dengan pandangan cemas. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN