Anya terkadang bingung dengan tubuhnya sendiri, baru saja kemarin dirinya nyaris tidak bisa berjalan karena keram perut akibat haid, kini dirinya bahkan sudah bisa berlarian atau mungkin jungkir balik jika dirinya mau. Iya, Anya benar-benar sudah kembali pulih dan bugar seperti saat pertama kali tiba di resort.
Tetapi karena ini masih hari ketiga Anya datang bulan, meski penelitian sudah membuktikan bahwa saat datang bulan tidak akan ada masalah jika seseorang tetap berenang, Anya memilih untuk tidak bermain air dulu, baik itu di pantai, kolam renang tidak pula di jacuzzinya.
Oleh sebab itu, Anya memutuskan untuk berjalan-jalan keluar dari resort hari ini keliling sekitar Pulau Wijaya. Katanya, tidak jauh dari resort, ada pasar lokal milik warga asli Pulau Wijaya yang menjual bermacam-macam. Termasuk makanan khas daerah sana.
Berita soal Pulau Wijaya saat baru pertama kali dibeli oleh Abraham Wijaya sempat heboh di berita. Bukan karena rusuh atau bentrok antara Abraham Wijaya dan warga lokal, melainkan justru karena Abraham Wijaya yang setuju untuk membangun bisnisnya berdampingan dengan warga lokal sana. Bahkan, Abraham menjamin untuk membuka lapangan pekerjaan bagi warga lokal di sana.
Anya sendiri belum tahu persis apa staff yang bekerja di resort memang warga lokal sana, namun untuk Gavin si staff receptionist jelas bukan karena wajah lelaki itu lebih seperti ‘bule’ dibanding warga lokal. Dan karena penasaran ingin tahu bagaimana hidup berdampingan yang dimaksud di berita hampir sepuluh tahun lalu yang silam itu, Anya pun memutuskan untuk berjalan-jalan dan menyaksikannya sendiri.
Benar saja, lokasi pasar lokal itu tidak jauh dari resort, yah hanya berjalan sekitar seratus meter saja Anya sudah tiba di pintu masuk pasar yang tampak ramai dari kejauhan.
Sepertinya pasar ini memang menjadi salah satu pusat perekonomian di Pulau Wijaya. Bukan hanya ramai oleh warga lokal, pasar tersebut juga ramai oleh pelancong baik domestik maupun luar negeri. Tentu saja, hampir sebagian orang di sana sepertinya tamu The Surya Resort. Termasuk Anya.
Selain menjual berbagai macam bahan makanan seperti pasar pada umumnya, di sana juga ada toko yang menjual makanan khas daerah sana serta toko souvenir. Semua souvenir tersebut adalah karya buatan warga lokal Pulau Wijaya. Kebanyakan dibuat oleh ibu-ibu dan juga lansia. Sedangkan anak mudanya, mereka kebanyakan bekerja di resort. Tentu saja mereka bekerja setelah mendapatkan pendidikan dan training sesuai dengan posisi mereka nantinya di resort.
Melihat keramaian pasar, anehnya Anya sama sekali tidak merasakan risih. Berbeda saat dirinya berada di tengah keramaian club. Di sini, semuanya membuat Anya justru merasakan perasaan tenang sekaligus bersemangat.
Kalau dipikir-pikir lagi, Anya bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya sekalipun di pasar saat tinggal di Jakarta atau pun di Bandung. Untuk apa juga? Anya bisa membeli semuanya lewat online atau di supermarket. Tanpa harus kerumunan dan kegerahan.
Tapi di sini, meski matahari terasa cukup terik saat ini, Anya tidak merasa risih. Mood Anya benar-benar bagus sampai dirinya lupa kalau sedang datang bulan. Setidaknya sampai seorang turis asing bertubuh jangkung menubruknya dengan ransel besar hingga membuat Anya terdorong dari tempatnya.
“Excuse me!”
“What the—” Anya nyaris saja mengumpat karena senggolan pria bule itu cukup keras hingga membuatnya nyaris jatuh. Kalau saja tidak ada sepasang lengan kekar yang memegangi sikunya dan menariknya sebelum Anya benar-benar jatuh mencium tanah. “Terima kas—Arya?”
Lelaki yang baru saja menyelamatkan Anya itu memasang ekspresi terkejut. Terlihat dari pupilnya yang melebar saat Anya menyebut namanya.
Lucunya, Anya sama terkejutnya dengan Arya karena sudah tidak sengaja menyebut nama lelaki itu. Well, itu memang nama Arya. Dan nama itu jelas-jelas ada di name tag dan id card lelaki itu, jadi Anya seharusnya tidak perlu malu karena mengetahui nama staff yang sudah beberapa kali membantunya tersebut, kan? Tapi gengsi Anya sayangnya berkata lain.
“Siang, Bu Zevanya.” Arya lebih dulu memecah kecanggungan di antara mereka dengan menyapanya ramah.
Anya berdeham, tidak tahu mengapa dirinya malah refleks menyelipkan rambutnya yang hari itu terurai ke belakang telinga. Sadar kalau gerakannya seolah seperti perempuan yang sedang malu-malu kucing di depan gebetan, Anya segera mengatur ekspresinya. “Oh, iya, siang. Kok bisa di sini, Mas?” tanya Anya basa-basi.
“Iya, lagi belanja bahan dapur, ada yang kurang sedangkan kiriman stock bahan biasanya baru datang besok kapalnya.”
Anya mengangguk karena sebenarnya tidak benar-benar penasaran dengan detail tersebut. Tapi jawaban Arya justru membuat Anya menyadari satu hal. “Mas ini job desknya apa, sih? I thought you’re bell boy, tapi ternyata kemarin juga jadi service room. Sekarang belanja buat kebutuhan dapur? Jangan bilang kamu yang masak juga?” Anya jadi benar-benar penasaran soal identitas lelaki ini. Dan sialnya, hari ini Arya sedang tidak memakai id card karyawannya yang membuat Anya tidak bisa mengintip jabatan lelaki ini.
Arya berkedip. Sepertinya tidak menyangka jika Anya akan penasaran dengan dirinya. Apa mungkin sikap Arya sejak kemarin memberikan Anya treat dan perhatian yang sedikit spesial dibanding tamu pada umumnya memang terlalu jelas? “Uhm, actually saya nggak punya specific job desk sih, Bu—”
Anya mengangkat sebelah tangannya, menyela. “Please, saya belum nikah dan punya anak. Jangan panggil Ibu terus, dong.”
Arya tertawa, yang malah ikut membuat matanya menyipit. Lucu. “Alright, Mbak Zevanya? Begitu?” tanya Arya memastikan.
Anya sebenarnya ingin protes. Tetapi tentu saja akan terdengar aneh jika dirinya ingin dipanggil dengan nama panggilannya saja. Sedangkan Arya ini adalah staff yang bekerja di tempatnya tinggal untuk sementara, kan? Dan juga, Anya bahkan baru bicara beberapa menit dengannya kenapa rasanya langsung ingin sok akrab begini?
Anya diam-diam mengutuk batinnya sendiri. Habis bagaimana ya, mendengar suara dan tutur lembut Arya saat bicara dengannya benar-benar membuat Anya merasa...nyaman? Tipe suara Arya ini sama dengan wajahnya, sama-sama ganteng. Wait, apa tadi Anya bilang?
“Mbak Zevanya?”
Panggilan Arya berhasil mengembalikan kesadaran Anya. “Ah, uhm iya. Ka—kalau gitu saya nggak akan gangguin Mas Arya kerja, deh. Pasti sibuk, kan? Saya mau keliling dulu.” Ya betul, Anya sedang mencoba menghindar. Berlama-lama dengan Arya bisa membuat pikiran Anya semakin kacau.
Arya sebenarnya tidak ingin cepat-cepat berpisah dengan Anya. Karena sepertinya baru kali ini mereka bicara lebih banyak dari biasanya. Bukan salah Arya kan kalau dia memanfaatkan kesempatan yang ada? Tetapi Arya juga tidak mau membuat Anya tidak nyaman plus dirinya memang di sana karena sedang ada keperluan.
“Baik kalau begitu. Enjoy your day, Mbak Zevanya. Oh iya, di dalam pasar, ada warung makan yang jual Mie Lendir enak, you must try! Mie Lendir khas pulau sini sedikit berbeda dengan yang asli.” Setelah memberikan informasi tersebut, Arya memberikan senyum sopannya sebelum kemudian mereka berpisah.
Anya bahkan tidak tahu Mie Lendir yang asli bagaimana karena ini bahkan pertama kali dirinya berlibur ke Kepulauan Riau. Tapi kalau Arya bilang begitu, tidak ada salahnya Anya mencoba, kan? Sekalian Anya memang butuh makan siang dan pastinya makanan di pasar jauh lebih murah dibanding makanan yang dijual di resort.
Namun selama berjalan menyusuri pasar sambil mencari kedai mie yang dimaksud Arya tadi membuat Anya berpikir, bagaimana jadinya ya kalau Anya tidak gengsi dan Arya juga sedang tidak bekerja, apa mungkin Anya akan memiliki nyali mengajak lelaki itu pergi menemaninya?
“Wait, mikir apaan sih lo Zevanyaaa!” Anya dengan cepat menggelengkan kepalanya.