Arya benar. Kedai mie yang direkomendasikan Arya pada Anya benar-benar enak. Meski Anya sendiri tidak punya perbandingan karena ini pertama kalinya Anya mencicipi makanan tersebut, tetapi rasanya sesuai dengan lidah Anya. Anya bahkan berpikir untuk membeli sebungkus lagi dan membawanya ke kamar cottagenya. Sekalian mengirit untuk makan malam nanti.
Setelah membayar pesanannya yang makan di tempat dan satu take away, Anya memutuskan untuk mencari hidangan penutup. Namun saat Anya berdiri dari kursi plastik kedai yang didudukinya, Anya merasakan seperti ada air terjun deras yang mengalir di antara pahanya.
Another disaster! Kenapa Anya bisa lupa kalau dirinya termasuk orang yang ‘deras’ saat datang bulan! Dan saat ini, kenapa Anya sangat bodoh sampai nekat menggunakan celana berbahan tipis yang jelas rentan tembus jika saja pembalutnya bocor.
Anya hanya bisa berdoa dalam hati jika tidak ada sedikitpun dari aliran deras tadi yang keluar dan tidak sanggup ditampung oleh pembalutnya. Tapi takdir kadang senangnya mempermainkan seseorang, kan?
Seolah ingin hari Anya jadi lebih berwarna, Anya juga bisa melihat ada noda ‘warna’ tertinggal di atas kursi plastik berwarna oranye yang didudukinya. “Siaaal!” Anya tidak bisa lagi menahan umpatannya.
Anya melirik kiri dan kanan. Untungnya kedai sedang ramai dan semua orang sibuk dengan urusan dan mangkuk makanan mereka masing-masing sehingga tidak ada waktu memperhatikan Anya. Tetapi tentu saja, Anya tetap merasa khawatir jika ada yang menyadari apa yang terjadi padanya.
Anya meraih botol air mineral di meja sisanya minum dan membukanya untuk menumpahkan isinya ke atas kursi plastik tersebut. Untungnya lagi, Anya kehabisan tempat di dalam kedai sehingga duduk di luar kedai yang kebetulan hanya beratap terpal dan berlantaikan tanah langsung. Jadi perbuatan Anya tadi tidak membuat lantai kedai menjadi kotor dan becek karena airnya langsung meresap.
Anya dengan cepat meraih beberapa lembar tissue dan mengelap kursi itu yang untungnya langsung bersih. Tapi masalahnya saat ini adalah bagaimana cara Anya bisa berjalan melewati pasar tanpa menjadi pusat perhatian karena celananya dipenuhi noda darah yang tidak sedikit.
Anya tidak tahu siapa yang harus disalahkan saat ini. Apakah pilihan bajunya yang memilih mengenakan baju overall yang membuatnya tidak memiliki apapun untuk dapat menutupi bagian belakangnya. Atau justru menyalahkan dirinya sendiri yang memilih pergi berjalan-jalan di hari ketiganya datang bulan.
“Mbak Zevanya!”
Suara itu lagi. Anya refleks berbalik badan. Sebisa mungkin memepetkan tubuhnya pada meja agar orang yang baru saja memanggilnya itu tidak melihat apa yang sedang ditutupinya.
“Mas Arya?”
Arya menghampiri Anya, tentu saja masih dengan senyum lembut khasnya. Di tangan kiri dan kanannya kini sudah penuh dengan tentengan berisi belanjaan. “Masih di sini? Baru mau makan atau sudah selesai?” tanyanya.
“Ah—iya, ini baru selesai kok. Mas Arya ngapain ke sini?” Anya langsung mengigit bibir bawahnya. Kenapa sih Anya tidak bisa mengontrol dirinya di depan Arya? Tentu saja lelaki itu mau membeli makanan di kedai ini, kan? Mana mungkin untuk menjemputnya lagipula kan Arya tidak tahu apa Anya benar-benar datang karena rekomendasinya atau tidak.
“Mmm, sebenarnya saya mau mengecek apa Mbak Zevanya masih di sini atau tidak.” Tidak ingin membuat Anya kebingungan, Arya buru-buru menambahkan penjelasan, “Kebetulan saya ke sini bawa motor karena harus bawa belanjaan banyak jadi saya mau menawarkan pulang ke resort bersama, kalau tidak keberatan.”
Tunggu...apa Anya baru saja salah dengar? Arya? Sengaja menjemput Anya?
“Tapi hanya jika Mbak Zevanya tidak keberatan.”
“Ah, tapi memangnya nggak masalah, Mas? Maksudnya, kan tadi Mas Arya yang bilang kalau motornya dipakai bawa belanjaan. Memangnya masih ada spot buat saya? Jangan-jangan saya disuruh duduk di atas karung belanjaan?”
Arya refleks tertawa. Bukan jenis tawa menghina yang jelas. Tetapi tertawa karena pertanyaan polos Anya entah mengapa malah terdengar gemas. Karena terlepas dari penampilan dan ekspresi wajah Anya yang sebenarnya terlihat badass, Anya justru cukup manis dan menggemaskan saat bicara.
“Ada kok, Mbak, nggak mungkin saya ajak Mbak Zevanya bareng kalau nggak ada spot.” Arya tersenyum kali ini. Yah, sepertinya Ibunya Arya memang kelebihan mengkonsumsi makanan manis saat hamil Arya. Terbukti anaknya yang selalu saja identik dengan hal manis. Entah sikap, tatapan bahkan senyuman.
Dan bukan! Sikap dan senyuman manisnya bukan hanya karena dia sedang modus. Arya memang begitu kepada siapa saja. Meski dengan Anya sedikit lebih spesial, sih.
Anya lalu ingat kalau dirinya sedang terjebak masalah saat ini. Dan laki-laki di hadapannya ini sangat mungkin bisa membantunya. Tapi sebagai gantinya, itu berarti Anya juga harus jujur dan menjelaskan kondisinya pada Arya dan Anya harus bisa memutuskan mana yang lebih baik saat ini.
Malu di depan banyak orang atau malu hanya di hadapan Arya...
Ya memangnya kenapa? Memangnya Arya siapa sampai membuat Anya sampai harus takut malu? Tapi kan orang-orang di pasar juga bahkan tidak akan bertemu dengan Anya setiap hari, sedangkan Arya? Lelaki itu bekerja di resort tempatnya menginap untuk tiga bulan lamanya.
“Mbak Zevanya?” Arya menatap Anya khawatir. Sepertinya ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari ekspresi Anya yang tampak berpikir serius. “Is everything okay?” tanyanya memastikan.
Anya menatap Arya lalu kemudian menggeleng. “Mas Arya, help me...”
***
Anya tidak tahu, keputusannya untuk meminta bantuan dari Arya adalah hal yang tepat atau justru membuat Anya jauh lebih merasa malu dibanding dengan berjalan dalam keadaan ada noda darah di celananya.
Noda darah di celananya itu bahkan mungkin tidak akan terlalu disadari orang jika Anya bisa bersikap sewajarnya seolah tidak ada yang salah. Sekalipun ada, ya sudah, orang juga tidak akan memandanginya dan melemparinya dengan tatapan aneh kecuali kasihan.
Tapi saat ini, semua mata justru tertuju padanya. Tanpa terkecuali. Dan Anya ingin menghilang saja rasanya dari bumi saat ini karena selain menjadi pusat perhatian ia harus melihat pemandangan yang...
“Mbak Zevanya, kalau Mbak nggak nyaman pulang bareng saya duluan aja nggak apa-apa kok.”
Anya mengibaskan tangannya dengan cepat. “Eh, nggak kok! Aduh, sorry, emang saya kelihatan risih atau gimana, ya? Sorry, beneran saya nggak maksud!” Anya benar-benar merasa bersalah saat ini.
Meski memang sedikit memalukan harus menjadi pusat perhatian, tetapi Anya tetap merasa bersalah karena hal ini terjadi karena Arya ingin menolongnya. Dan bukan salah Arya juga kalau orang-orang memandangi Arya saat ini karena tubuh atletisnya yang terekspos, kan?
Iya. Arya saat ini sedang shirtless karena harus merelakan kemejanya melingkar di pinggang Anya. Cukup bodoh karena baik dirinya dan Anya bahkan sama sekali tidak ada yang berpikir untuk membeli kain pantai atau baju di toko yang ada di pasar dan justru berpikir jika satu-satunya cara menyelamatkan Anya adalah dengan cara ini.
Dan lagi, meski sudah ada kemeja yang melingkari pinggang Anya saat ini, Arya tetap melindungi Anya dengan berjalan dekat di belakangnya. Ya wajar saja mereka jadi pusat perhatian.
Meski sebenarnya Arya bukan satu-satunya orang yang shirtless di sana sih. Mengingat mereka berada di kawasan dekat pantai. Ada banyak orang dan turis yang datang langsung dari pantai ke pasar itu untuk sekadar jajan atau lihat-lihat masih hanya menggunakan celana renang saja. Jadi, alasan utama mata yang mengawasi Arya saat ini bukan karena aneh melihat lelaki itu tidak mengenakan atasan melainkan karena tubuhnya yang... menarik.
Anya bahkan tidak berbohong kalau tujuh puluh persen dari alasan pipinya memerah adalah bukan karena malu dilihat orang tetapi justru karena malu pada dirinya sendiri yang sudah berpikir macam-macam karena melihat tubuh tegap Arya.
Tubuh itu berotot, lengkap dengan bukan hanya six pack tetapi juga eight pack yang tercetak sempurna di perutnya. Dadanya bidang dan lengannya juga kekar. Namun ukurannya sesuai proporsi dan tampak sempurna dipadukan dengan tinggi badannya. Tidak terlalu besar hingga seperti binaragawan, tetapi jelas tidak juga bisa dikatakan kecil. Perfect. Ya begitulah kurang lebih untuk deksripsi tubuhnya.
Jadi bukan salah Anya juga kan kalau dirinya tidak berpikir jika Arya memiliki tubuh yang... hot?
Sial. Sepertinya benar kata penelitian. Jika saat menstruasi, ada perubahan level pada hormon estrogen dan progesteron seseorang dan menyebabkan perempuan jadi lebih mudah h-word.
Anya menggeleng. Nope, ini bukan karena hormonnya sehingga dirinya merasa ‘gerah’. Ini hanya karena pengaruh udara yang memang terik saat ini. Batinnya.