Bab 5

1715 Kata
Sejak menerima undangan pernikahan Dirga, Anya langsung pulang ke Bandung begitu saja yang nyaris membuat orang tua dan kakak laki-lakinya terkejut karena kedatangan perempuan itu.   Meski keluarga Anya sempat curiga karena perubahan rencana Anya, tetapi tidak dari satupun dari mereka membahas alasan Anya tiba-tiba muncul malam itu di Bandung. Dan salah satu dugaan terkuat Zidan, kakak laki-laki Anya ini ada hubungannya dengan mantan kekasih adiknya yang akan menikah dalam waktu dekat. Lingkup pertemanan Zidan yang luas membuatnya tidak sulit mendapatkan informasi soal laki-laki kurang ajar yang sudah menyakiti adik perempuannya itu.   Anya sendiri bukannya belum move on. Demi apapun di hatinya sudah tidak ada sedikitpun lagi rasa cintanya untuk Dirga. Tetapi meski sudah tidak cinta, bukan berarti Anya bisa baik-baik saja mendengar laki-laki yang dulu pernah hampir menikah dengannya itu kini sudah menemukan penggantinya. Mengapa Dirga yang secara teknis sudah menghancurkan hati Anya dan menyakitinya justru bisa lebih dulu menjalani kembali kehidupannya dan menikah.   Bukankah itu tidak adil? Bahkan Anya di sini ditinggalkan dengan trauma hingga sulit untuk jatuh cinta lagi, lelaki itu justru sudah siap untuk membangun kehidupan barunya.   Tapi Anya jelas bukan pulang ke Bandung untuk mendatangi undangan tersebut apalagi menghancurkan acara pernikahan mantannya itu. Selain tidak sudi bertemu dengan keluarga Dirga yang sudah menyakitinya itu, Anya juga tidak mau dianggap menyedihkan di sana. Anya hanya pulang karena sadar dirinya butuh healing dan rumah adalah salah satu tempat Anya untuk mendapatkannya. Meski risikonya adalah cepat atau lambat, Anya harus berhadapan dengan tante-tante cerewetnya dan ditanya soal pernikahan.   Dan inilah harinya. Setelah satu minggu menyembunyikan keberadaannya di Bandung, pada akhirnya keberadaan Anya terendus juga oleh tante-tantenya. Yah mau bagaimana lagi, rumah mereka memang tidak terlalu jauh dan meski Anya menghabiskan satu minggu hanya di dalam rumah saja, kedatangannya itu akhirnya ketahuan juga.   Siang ini, tante-tante Anya pun sudah mengabarkan soal niat mereka yang akan berkunjung dan makan siang bersama. Anya sudah siap-siap untuk kabur, tapi sayangnya tante-tante Anya datang lebih cepat dari waktu yang mereka infokan karena sudah memiliki ‘firasat’ bahwa keponakannya itu pasti akan kabur.   Maka ketika Karlina—ibunya—membuka pintu kamar Anya untuk meminta Anya menemui tante-tantenya, perempuan itu memasang wajah memelas. “Mi, bilang aja atuh Anya lagi sakit. Males ketemu.”   Karlina menggeleng. “Kamu mau sampai kapan ngindarin bibi-bibi kamu sendiri, udah sana temuin aja. Makin dihindarin malah makin pusing, udah hadapin aja.”   Akhirnya Anya hanya bisa pasrah saat menghadapi tante-tantenya yang langsung menyapa Anya dengan heboh begitu perempuan itu menghampiri mereka di ruang tamu. Pipi Anya habis diciumi kiri dan kanan dengan gemas.   Seperti biasa, obrolan basa-basi tentang betapa makin cantiknya Anya mulai dilemparkan. Namun kemudian disusul dengan komentar bahwa tubuh Anya terlihat lebih kurus dari yang terakhir mereka lihat.   “Atuh Nya, jangan kurus-kurus ih kamu. Udah cantik yang waktu terakhir ke sini tuh, sekarang lihat nih... meuni tulangnya sampai nonjol!” Komentar pertama diluncurkan.   Tante kedua Anya lalu ikut menyahut, “Iya bener. Omong-omong sekarang gimana, neng? Udah ada belum gantinya si Aa yang dulu?” Dibanding komentar, tante Anya yang kedua memilih langsung melemparkan boomerang.   Anya baru akan menjawab namun tante ketiganya lebih dulu melemparkan serangan, “Kalau belum ada juga, mau nggak dikenalin sama Bibi bungsu? Bibi bungsu ada calon yang cocok buat kamu...”   Anya memaksakan sebuah senyuman, menahan sekuat diri untuk tidak menggertakan giginya. Sabar Zevanya, sabar... “Nggak usah, Bi, Anya belum mikirin ke sana.”   “Heh, jangan gitu, geulis! Kamu tuh kan bentar lagi tiga puluh tahun, di sini coba lihat, mana ada umur segitu belum nikah. Atau minimal punya pacar. Mau aja ya Bibi kenalin? Baik kok anaknya, kasep.”   “Emang siapa, Cu?” tanya tante kedua Anya pada adiknya itu. “Ada gitu?”   “Itu lohhh si Aslan! Anaknya Pak Haji Dani. Kemarin si Pak Haji lagi ngobrol-ngobrol sama Aa, terus katanya Dani lagi nyari calon.”   “Si Aslan bukannya nggak mau sama perempuan yang kerja di Jakarta? Katanya kalau udah kerja di Jakarta gaya hidupnya suka hedon.”   Anya nyaris tersedak. Bukan soal merasa tersindir, tapi justru ingin tertawa karena bisa-bisanya ada laki-laki yang berpikir sesempit itu. Belum resmi dikenalkan saja Anya sudah ilfeel duluan.   “Halah, mau-mau aja tapi pasti dia. Atuh Anya mah geulis, sekali ngeliat juga nggak bakal mikir lagi kerja di mana.”   “Anya emang sekarang kerjanya lagi di mana? Masih di tempat yang dulu tea? Yang perusahaan sabun itu?”   “Life Care, Bi.” Anya menyahut singkat. Malas menjelaskan perihal perusahaannya yang bukan hanya perusahaan sabun tetapi juga berbagai brand produk kebersihan lain. “Tapi sekarang udah nggak,” lanjut Anya.   Karlina yang juga baru bergabung di ruang tamu bersama Anya dan tiga saudara perempuannya itu menatap putri satu-satunya itu dengan tatapan terkejut. Pantas saja Anya hanya menjawab singkat saat ibunya itu bertanya mengapa Anya tidak pulang ke Jakarta untuk bekerja dengan jawaban bahwa dirinya cuti.   “Kamu bilang cuti?”   “Kemarin memang cuti, tapi sekarang resign.” Anya lalu bangkit dari duduknya dan mengucap permisi pada ketiga bibinya tersebut untuk kembali ke kamar. “Anya masuk dulu ya Bi, mau mandi.” Dan tanpa menunggu reaksi dari ketiga tante dan juga ibunya, Anya langsung melesat pergi.   Sejujurnya sampai tadi malam, Anya masih belum juga memutuskan soal rencana resignnya tersebut. Masih banyak pertimbangan yang Anya pikirkan, apalagi Anya juga harus memikirkan apakah ada pekerjaannya yang mungkin belum beres dan bisa ditinggalkan jika Anya resign begitu saja.   Tapi semakin Anya menghabiskan waktunya di rumah saja, semakin Anya merasakan bahwa kehidupannya di Jakarta saat ini tidak bergerak maju. Anya hanya berjalan di tempat, membiarkan waktu terus bergerak sedangkan dirinya tidak sekalipun beranjak.   Bahkan kecerewetan ketiga bibi Anya soal pernikahan semakin menyadarkan Anya kalau dirinya bahkan tidak tahu apa yang diinginkannya saat ini.   Anya akhirnya membuka laptopnya yang bahkan tidak tersentuh selama seminggu belakangan. Membuka account emailnya yang sudah dipenuhi banyak pesan soal pekerjaan. Termasuk surat peringatan karena Anya yang mengambil cuti sembarangan tanpa izin.   Kini Anya semakin yakin untuk mulai mengetik surat pengunduran dirinya. Anya bahkan sudah tidak peduli lagi kalau dirinya bahkan harus dipecat karena sikap tidak profesionalnya. Anya sendiri sudah muak dan ingin segera keluar dari gelembungnya.   Jadi setelah menekan tombol kirim, Anya langsung membuka sebuah website travel, secara random mencari rekomendasi tempat berlibur sementara yang bisa dijadikannya tujuan untuk self-healing. Dari villa di daerah pegunungan hingga resort pinggir pantai masuk ke dalam list Anya yang ia namai self-healing project.   Tapi tangan Anya akhirnya berhenti mengulirkan kursor pada salah satu resort pinggir pantai yang lokasinya tampak baru untuk Anya. Bukan di Bali seperti resort lain yang masuk ke listnya. Resort itu berada di Pulau Wijaya yang Anya ketahui adalah pulau pribadi milik konglomerat Wijaya.   Anehnya, resort dengan nuansa kayu yang tampak teduh meski berada di pinggir pantai itu benar-benar mengunci perhatian Anya begitu saja. Anya sepertinya sudah menemukan tujuan barunya.   Healing Getaway at The Surya Resorts. 20% Off and many special promos for this month! Book yours, now!   Tanpa pikir panjang, Anya langsung menekan tanda booking untuk resort tersebut. Dan tidak tanggung, Anya langsung menekan untuk 3 months stay di sana. Anya bahkan tidak peduli dengan jumlah yang harus dibayarnya. Anya masih punya uang tabungan pernikahan di rekening bersamanya dengan Dirga dan Anya akan menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dan memanjakan dirinya.   Saat selesai bertransaksi, pintu kamar Anya diketuk dan kepala Zidan, kakak laki-lakinya menyembul. “Nya, lagi sibuk?” tanya Zidan. “Idih, ngapain senyum-senyum?”   Anya yang suasana hatinya kini sedang sangat bagus menggeleng dan justru semakin tersenyum. “Mau ngapain?” tanyanya sambil menutup layar laptop.   “Ngobrol, yuk? Sama Mami-Papi juga. Ada yang mau diomongin.” *** “Mas Arya, tadi ada telpon dari Ibu Shinta, katanya sore ini beliau mau ke sini. Minta dijemput ke dermaga, kalau nggak dijemput Ibu ngambek.”   Arya tertawa mendengar informasi dari pegawai perempuannya tersebut. Lelaki yang sedang sibuk memisahkan daun basil itu menganggukan kepala, “Kalau gitu nanti tolong konfirmasi sama asistennya Mama saya, ya, mereka flight yang jam berapa jadi biar saya jemput ke bandara aja langsung.”   “Baik, Mas.”   “Thank you, Vega.” Arya tersenyum lembut pada perempuan yang hari itu mengenakan blouse santai berwarna biru muda.   Meski Arya sudah menjadi atasannya selama hampir setahun belakangan ini, Vega masih saja terpesona setiap lelaki bertubuh tegap itu melemparkan senyum. Bahkan seterik apapun matahari di luar sana, senyuman Arya memiliki daya magis yang seolah membawa kesejukan pada siapa saja yang melihatnya.   Oke, berlebihan memang, tetapi Vegalia hanyalah wanita normal pada umumnya yang tidak mungkin tidak lemah akan sosok makhluk Tuhan yang indah berupa Aryadi Surya Wijaya itu. Sudah tampan, bertubuh seksi, lembut, ramah dan jangan lupa skill memasaknya yang sudah tidak bisa diremehkan. Meski Arya punya kekurangan yaitu pembawaannya dan ucapannya yang terkadang terkesan lebih tua dari usianya, nilai plus lelaki itu jauh lebih dominan. Jadi jangan salahkan kalau perempuan yang usianya hanya dua tahun di bawah Arya itu naksir pada lelaki yang juga dulu merupakan kakak tingkatnya di kampus meski secara teknis mereka tidak benar-benar saling kenal saat masih kuliah.   “Ada lagi, Vega?” tanya Arya karena sadar perempuan berambut panjang itu masih tidak kunjung beranjak dari tempatnya. Seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak kunjung melakukannya.   Vega memasang senyuman canggung, “Uhm, Mas Arya...udah lunch?” tanyanya ragu. Pipinya sudah semerah tomat sepertinya. Padahal Vega yang biasanya bukanlah tipikal perempuan malu-malu seperti ini.   Arya seperti tersadar bahwa kini sudah masuk jam makan siang. Lelaki itu melirik ke jam tangan di pergelangannya. “Ah, hampir aja saya lupa. Yaudah kamu telfon asisten Mama saya nanti aja habis lunch.” Arya lalu kini benar-benar meninggalkan keranjang berisi daun basil yang sedang dipetikinya.   Meski kini Arya secara teknis adalah bos di resort tersebut, dibanding duduk diam di ruang kantornya, lelaki itu masih saja senang turun tangan langsung ke dapur untuk memasak atau sekadar menyiap-nyiapkan bahan masakan seperti yang dilakukannya saat ini. Arya mencuci tangan sebelum kemudian berjalan menghampiri Vega, “Mau lunch bareng?” tanyanya yang membuat Vega hampir saja berteriak tidak menyangka.   Dan tentu saja tanpa membuang waktu, Vega langsung menganggukkan kepalanya excited. Dan meskipun yang Arya maksud dengan makan siang bersama adalah makan di kantin karyawan bersama-sama dengan karyawan lainnya dan bukan makan berdua saja, Vega tetap menganggap ajakan Arya hari ini adalah salah satu pertanda baik. Yah, semoga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN