Bab 6

1985 Kata
“PERJODOHAN?”   Zidan yang hendak menyuap makanan ke mulutnya mengurungkan niat begitu mendengar teriakan adiknya tersebut. Sepertinya membicarakan soal ini saat makan memang bukan ide yang bagus.   “Anya dengerin—”   “Mi, Pi, kalian tahu sendiri berapa lama Anya dulu pacaran sama Dirga sampai akhirnya tunangan tapi ujung-ujungnya gagal juga. Apalagi ini lewat perjodohan!” Anya tidak membiarkan orang tuanya memberikan penjelasan. Anya pikir dia hanya perlu mendengar soal desakan untuk menikah dari tante-tantenya saja, tetapi kini kedua orang tuanya tidak ada bedanya dengan mereka. “Lagian ini bukan zaman Siti Nurhaliza main jodoh-jodohan!”   “Siti Nurbaya, anjir—”   “DIEM DEH A’ZIDAN! MAKAN AJA HABISIN!” Anya membentak kakak laki-lakinya yang kemudian langsung menutup mulutnya rapat. Adik perempuannya itu kalau sudah murka bisa lebih galak dari macan sekalipun. Dan Zidan tidak mau terkena amukannya.   Karlina mengehela napas, “Mami sama Papi tahu betapa terlukanya kamu karena Dirga, tapi kami juga khawatir lihat kamu yang jadinya terus menutup diri terus. Kalau nggak ada usaha untuk disembuhin, ya lukanya nggak akan sembuh.”   “Anya juga lagi nyembuhin—”   “Dengan menutup diri kamu dari berhubungan serius dengan orang lain? Itu bukan nyembuhin, kamu hanya menghindar, Zevanya.” Kini Hardian, Papi Anya yang mulai angkat bicara. Pria paruh baya bersuara lembut itu akhirnya mengambil porsinya.   “Ya tapi nyembuhinnya bukan dengan cara jodohin.” Suara Anya semakin mengecil. Nadanya tidak lagi membentak karena protes. Karena Anya mulai sadar jika memang tujuan orangtuanya sama sekali bukan bermaksud buruk.   “Kami nggak minta kamu untuk langsung menikah kok, kenalan dulu aja. Kalau cocok, ya itu balik lagi ke keputusan kamu,” terang Karlina meyakinkan. “Setidaknya coba saling mengenal dulu, ya?”   Anya menusuk-nusuk potongan daging empal di atas piringnya yang makanannya nyaris tak tersentuh. Mendadak kehilangan selera makannya. “Enam bulan lagi.”   Karlina, Hardian dan Zidan refleks melemparkan tatapan bingung mereka kepada anggota keluarga termudanya. “Maksudnya?” tanya Karlina bingung.   “Enam bulan, Anya butuh waktu enam bulan untuk menerima perjodohan itu.”   “Kenapa harus enam bulan?” tanya Zidan ikut penasaran dengan maksud adiknya. “Kamu mau pergi ya, Nya?”   Tembakan sang kakak tepat sasaran. Anya nyaris tersentak karena tebakan kakaknya itu sangat tepat sasaran. Lalu ia memandangi wajah keluarganya satu persatu sebelum akhirnya menganggukan kepala. “Iya, Anya mau refreshing dulu, liburan.”   “ENAM BULAN?” Kini giliran Karlina yang menaikkan nada bicaranya. “Kamu mau liburan ke mana selama itu, Anya?” tanyanya tidak habis pikir.   “Ya...ke mana aja. Sesuai hati Anya mau.”   Zidan hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban adiknya tersebut.   “Jadi kamu juga sengaja resign karena ini?” tanya Karlina lagi. Masih tidak mengerti dengan jalan pikiran putrinya.   Anya mengangguk. “Nanti habis balik dari liburan ini, niatnya Anya mau kerja di pabrik Papi aja. Tapi karena Papi sama Mami juga udah ada rencana mau jodohin Anya, yaudah, nanti balik dari liburan... Anya terima perjodohan itu dan nikah.”   “What?” Zidan menatap adiknya itu setengah tidak percaya. Anya yang dia kenal bukan tipikal perempuan yang mudah pasrah. Terbukti dengan betapa keras kepalanya Anya dulu mempertahankan hubungannya dengan Dirga meski sudah ada red flag dari keluarganya. Jadi, mendengar jawaban pasrah adiknya itu benar-benar membuat Zidan shock.   “Ngg—” Karlina menghentikan ucapannya ketika tangan suaminya menyentuh pelan lengannya. Lalu pria yang sudah dinikahinya puluhan tahun itu menggelengkan kepala, memberi tanda untuknya tidak melanjutkan ucapannya dan mengambil alih.   “Memang Anya mau pergi liburan ke mana? Sudah ada tujuannya?” tanya Hardian lembut.   Anya mengangguk. “Untuk tiga bulan pertama Anya mau stay di resort pinggir pantai di Pulau Wijaya. Tapi tiga bulannya lagi nanti belum tahu, mungkin pindah tempat.”   “Pulau Wijaya?” Hardian memastikan. “Anya yakin mau pergi sendirian selama itu?”   Anya menatap balik Papinya dengan pandangan sangat yakin. “Yakin, Pi, Anya kan udah dewasa. Selama ini Anya juga di Jakarta sendirian...”   “Jakarta-Bandung itu masih deket, ini udah beda pulau loh. Kalau ada apa-apa nggak bisa semudah dan secepat itu kayak waktu kamu di Jakarta.”   Anya sekali lagi mengangguk mantap. “Anya udah mikirin risikonya. Termasuk Anya udah nyari tahu soal lingkungan di resort itu juga dan meski itu pulau pribadi, fasilitas umum di sekitarnya juga lengkap. Jarak dari pulau utama juga nggak jauh jadi nyebrangnya nggak sampai lima belas menit.”   Melihat keseriusan anak gadisnya tersebut, Hardian dan Karlina tidak bisa mengatakan tidak. Apalagi mengingat apa yang sudah dilalui putrinya itu membuat mereka semakin tidak tega. Selama ini Anya sudah mencoba menunjukkan dirinya baik-baik saja dan kembali menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Tetapi jauh di dalam itu, keduanya sadar Anya hanya sedang berpura-pura baik-baik saja. Orang tua mana yang ingin melihat putrinya menjalani hidup dengan berpura-pura? Jadi yang bisa mereka lakukan saat ini adalah memberi support atas keputusannya. Dan mungkin, Anya memang membutuhkan liburan itu untuk menyembuhkan dirinya.   “Ya sudah, tapi selama pergi kamu tetap harus keep in contact sama kami. Nggak boleh kayak dulu di Jakarta.”   Anya mengangguk cepat. “Iya Pi! Anya janji!” serunya antusias.   “Tapi gimana kalau selama liburan ini kamu coba kenalan juga sama yang mau dijodohin sama kamu, Nya. Lewat chat aja, ngobrol saling kenal dulu.”   “Nggak mau!” Anya menyahut dengan cepat gagasan dari ibunya tersebut. “Anya nggak mau direcokin sama laki-laki selama liburan ini.”   “Termasuk Papi sama A’Zidan?”   “Kecuali Papi, kalau A’Zidan tergantung kondisi.”   “Dih, nanti kangen!”   Anya hanya bisa memeletkan lidah pada kakak laki-lakinya tersebut. Padahal usia mereka berdua sudah tidak lagi anak-anak, tetapi saat bersama kelakuan keduanya bahkan lebih kekanakan dibanding anak Zidan yang berusia tiga tahun.   “Terus kapan rencana berangkatnya?” tanya Hardian lagi pada putrinya. Karlina dan Zidan juga ikut memandang Anya, menunggu jawabannya.   Anya lalu memasang cengiran tidak berdosa, “Besok...”   “ANYA!”   *** Setelah mendarat di bandara, Anya sudah disambut oleh shuttle car dari resort yang menjemputnya siang itu. Karena Anya memang mengambil flight terpagi dari Bandung menuju ke Kepulauan Riau sebelum kemudian menyebrang lagi dengan kapal boat shuttle menuju Pulau Wijaya.   Seperti yang sudah Anya baca dari review di blog-blog travel, waktu yang dihabiskan Anya untuk menyebrang dari pulau utama ke Pulau Wijaya tidak sampai lima belas menit. Katanya shuttle boat milik Pulau Wijaya juga standby selama 24 jam bolak-balik sehingga pengunjung resort tidak perlu takut kesulitan menyebrang.   Anya disambut dengan kalung bunga dan welcome drink sesampainya di lobby resort yang asri dan teduh tersebut. Aroma wewangian di lobby resort mengingatkan Anya pada tempat spa yang membuatnya langsung merasa relax meski baru sampai di lobbynya saja.   Karena Anya datang pagi, lobby yang ruangannya ditata dengan konsep open space itu tampak sepi. Hanya ada seorang laki-laki terlihat di balik meja resepsionis. Awalnya, Anya memang berniat untuk belanja dan keliling di pulau utama dulu sebelum kemudian menuju resort menjelang waktu check in yaitu pukul dua siang. Namun karena Anya sudah terlanjur tidak sabar untuk menuju resortnya, jadilah Anya di sini sekarang.   “Permisi?”   Lelaki yang semula memunggungi Anya itu menoleh. Setengah terkejut akan kedatangan Anya sebelum kemudian menyatukan kedua tangannya di depan d**a sebaga gesture ucapan selamat datang. “Selamat datang di The Surya Resort. Ada yang bisa dibantu?” tanyanya ramah.   Anya sempat sedikit terkejut melihat wajah lelaki yang mungkin bekerja sebagai receptionist itu memiliki wajah agak kebaratan. Tampan. “Saya mau early check in, bisa?”   “Baik Bu, sebentar saya cek dulu ya ketersediaannya. Apa sebelumnya sudah booking?” tanyanya ramah.   Anya mengangguk. “Sudah, saya book buat long stay.” Lelaki itu lalu mengetikkan sesuatu di keyboard. “Atas nama siapa, Bu?” tanyanya lagi.   “Zevanya Giani.”   Lalu lelaki itu memerika bookingan Anya pada komputer. Mengecek ini itu termasuk soal ketersediaan kamar karena Anya yang akan early check in. “Untuk type kamar yang Ibu pesan masih disiapkan. Menunggu kira-kira lima belas menitan apa tidak apa-apa, Bu? Nanti sambil menunggu dari kami ada complimentary food and drink di lounge kami.”   Anya mulai menoleh ke sekeliling. Dari lobby saja suara deburan air laut sudah terdengar memanggil-manggil. Sekalipun Anya menunggu hingga satu jam bahkan tidak masalah karena Anya bisa sambil melihat-lihat sekeliling. “Iya nggak masalah,” jawabnya.   Lelaki dengan name tag Gavin yang tersemat di d**a kirinya itu mengangguk lalu langsung mengurus data-data terkait check in Anya. “Boleh pinjam KTPnya, Bu?”   Anya pun menyerahkan tanda pengenalnya itu kepada Gavin. Lelaki itu lalu menyerahkan selembar dokumen yang perlu Anya isi dan tanda tangani.   “Ini kupon untuk makan dan minum di lounge kami ya, Bu Zevanya. Nanti saat kamar sudah siap, kami akan infokan. Untuk barang bawaan Ibu boleh dititip di sini sementara jika Ibu bersedia. Lounge kami ada di dekat pool, Ibu bisa jalan dari sisi kiri lobby nanti ada tanda arahnya.”   “Okay, thank you.” Lalu Anya langsung bergegas pergi menuju arah yang ditunjukkan staff resort bernama Gavin tersebut. Saking tidak sabarnya, Anya bahkan lupa tidak memasukkan kembali KTPnya yang masih ada di meja resepsionis.   Sayangnya, Gavin juga tidak menyadarinya karena posisi KTP Anya tergeletak terhalang oleh tumpukan pamflet resort. Sampai kemudian ada orang lain yang tidak sengaja menemukan KTP itu saat hendak menghampiri Gavin.   “Vin, ini KTP tamu? Ada yang early check in?”   Gavin yang semula sedang sibuk dengan layar komputernya tersentak mendengar pertanyaan tersebut dari laki-laki yang bukan lain adalah bosnya. “Eh Mas Arya, hah KTP?” Gavin mengernyit sambil memandang kartu tanda pengenal di tangan Arya. “Lah iya, punya tamu yang tadi. Jatuh itu Mas?”   Arya menggeleng. “Ini, ketinggalan di samping sini. Tamunya mana?” tanyanya sambil menoleh kiri dan kanan karena tidak menemukan siapapun di lobby tersebut.   “Lagi di longue soalnya kamarnya belum ready. Nanti saya balikin KTPnya Mas, sekalian infoin waktu kamarnya ready.”   Arya mengangguk. Lalu menyerahkan kembali benda berbentuk persegi panjang tipis itu kepada Gavin namun tangannya berhenti sejenak. Lelaki itu memerhatikan kembali KTP tersebut atau lebih tepatnya foto di KTP tersebut.   Ini kan...   “Mas?” tegur Gavin yang membuat Arya tersentak dan buru-buru kembali menyerahkan KTP tersebut. “Ahiya Mas ke sini ada apa? Ada yang bisa dibantu?”   Arya baru ingat tujuannya menghampiri Gavin. “Nanti malem ngisi live music lagi, ya? Tamu-tamu pada suka sama suara kamu.”   Gavin mendelik. Sekilas, orang lain akan menganggap Gavin tidak sopan. Tetapi hubungan antara karyawan dan bos di resort ini memang tidak seperti pada umumnya di mana tidak ada hierarki antara staff bawahan dengan atasan. Semua meski bekerja secara profesional tetapi juga seperti keluarga. Tidak heran lingkungan kerja di resort ini menjadi sangat nyaman sehingga hasilnya pun baik.   “Lama-lama saya beneran resign jadi receptionist terus fulltime jadi penyanyi aja deh!”   Arya tertawa, “Jangan dong, kami masih butuh wajah ganteng kamu buat nyambut para tamu yang dateng.” Tentu saja ucapan Arya ini hanya candaan saja.   Gavin hanya menggeleng tidak habis pikir. Lalu bunyi telpon berdering dan memutus obrolan mereka. Informasi dari cleaning service mengenai kamar milik Anya yang sudah selesai dibersihkan. “Okay, thank you,” ucap Gavin sebelum menutup telpon.   “Kamarnya udah ready?” tanya Arya penasaran.   “Iya, nih. Nitip bentar, Mas, mau ngasih tahu orangnya dulu.”   Gavin sudah bersiap untuk keluar dari meja receptionistnya sebelum Arya menghentikan langkah lelaki itu. “Sini, saya aja yang kasih tahu orangnya. Orangnya lagi di lounge, kan? Pakai baju apa?”   Meski sedikit bingung, Gavin menganggukan kepala, “Baju pink, rambutnya—”   “Panjang, tubuhnya ramping, lumayan tinggi dan punya tatapan mata tajam, kan? I know.”   Gavin ingin menyatakan kebingungannya namun Arya sudah lebih dulu menyambar KTP dan key card kamar di tangannya lalu pergi begitu saja ke arah lounge.   Sambil berjalan menuju lounge hotel, Arya memandangi sekali lagi kartu tanda pengenal di tangannya sambil mencoba mengucapkan nama itu dan menyesuaikan dengan indranya. “Zevanya Giani,” ucapnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN