Not a Cinderella

1642 Kata
Cinderella Wedding shoes. Aku mengamati sepatu yang terinspirasi dari salah satu Princess Disney kembali tren di Indonesia sejak di pakai salah satu artis cantik dan terkenal pada pernikahannya, sampai sekarang banyak yang custom sepatu model ini di kami. Aku sudah pasti jatuh hati setiap kali melihat Cinderella Wedding shoes ini, dari kisah Disney satu ini, yang paling ditonjolkan adalah sepatu kacanya selain ibu peri. Jadi komponen penting dalam ceritanya. Bayangkan kalau Cinderella tak pakai sepatu itu, yang berbeda, maka dia tak akan menjadi pendampingnya pangeran. Dari sepatu yang tertinggal, hidupnya berubah total. Kalau sekarang, aku pakai ini lalu tertinggal. Tidak akan mungkin ada yang mau keliling Jakarta cuman buat cari pemiliknya, warga Jakarta terlalu banyak. Si pangeran ini akan tua di jalan kalau memaksa cari pemiliknya, lagi pula belum tentu pria tampan dan mapan yang akan menemukan. Kalau jatuh pada tangan gelandangan, sudah pasti sepatu mahal yang ada di tangan ini akan di jual. Jelas ada perbedaan dongeng dan realita. Sepatu, alas kaki yang dirasa selalu saja kurang banyak oleh perempuan. Hal ini makin terasa menjelang kondangan atau ketika berada di mal melihat salah satu toko sepatu yang sedang diskon. Dan aku termasuk di dalam kriteria itu. Namanya sudah suka. Aku meletakkan kembali Cinderella Wedding shoes yang baru selesai finishing ke kotaknya, besok siang akan diambil sang pemilik. "Mesya, kakak keluar sebentar." Ketika aku keluar kamar, Mesya sedang duduk di sofa depan televisi sambil ngemil, diatas meja juga bertebaran kertas dan alat-alat gambar miliknya. Setengah tahun belakangan ini dalam sebulan toko kami dapat custom empat puluh sampai lima puluh pasang sepatu. Ada yang khusus memang buat Wedding, pesta, atau buat dipakai sehari-hari. Kalau yang di pakai sehari-hari modelnya sengaja dibuat simpel, tanpa manik mencolok seperti Wedding shoes. "Hm, pulang bawa makanan kak" Mesya menjawab, tapi tidak menoleh tetap fokus dengan pensil dan kertas. "Iya, mau dibawakan apa?" Padahal Mesya baru makan malam tadi jam tujuh, sekarang dia juga sedang ngemil. "Martabak manis red velvet toping keju aja." "Iya, ada lagi?" Tanyaku lagi sambil memakai sepatu kitten heels milikku, sepatu kesayanganku. Mesya menggeleng "nggak itu aja, Terima kasih.." "Ya udah kakak jalan sekarang." "Kak!" Teriakan Mesya menghentikan langkahku Aku berbalik "kenapa, Sya?" "Nanti Mbak Hani atau Saujana Suruh naik ke sini temani aku." Aku mengangguk lalu turun ke lantai dasar Kami memang sekarang ini tinggal di ruko dua lantai, Ruko cukup luas karena dua gedung dijadikan satu. Bagian bawah khusus toko, ruang khusus klien, dan di bagian belakang tempat produksi sepatu, sementara lantai atas ada dua kamar tidur, dapur tanpa sekat dengan ruang televisi dan ruang kerja kami. Sementara rumah orang tua di sewakan untuk bantu modal bisnis. Setelah orang tuaku meninggal, kami seakan tak sanggup buat tinggal di sana, terlalu banyak kenangan. Ini permintaan Mesya juga, dia mau kami mulai hidup baru. Mandiri yang benar-benar keluar dari sarang dimana kami lahir dan besar. Membelah jalanan padat Jakarta malam ini, saat sendiri seperti sekarang banyak hal yang aku pikirkan. Makin kesini aku paham perbedaan pola pikir serta menyikapi suatu hal tiap orang berbeda. Wajar, bentuk proses pendewasaan tiap orang berbeda. Aku tak akan ambil contoh orang lain, mulai dari diriku yang dibentuk oleh tragedi dan air mata berbeda dari orang lain. Ada masa bahagia, tapi tak sebanyak dulu saat masih jadi anak-anak dan hanya tahu berlindung dipelukan orang tua. Sejak memulai kerja di usia kepala dua, sudah berbagai macam orang aku temui, apalagi semenjak bangun M2 bersama Mesya. Aku bertemu banyak karakter. Aku pernah dengar bahwa... your response is matter. Kenapa? karena kita tak bisa kontrol sikap, cara bicara atau respons orang lain ke kita. Kita tak selalu harus dan bisa satu pemikiran sama orang lain. Semua orang punya latar, nilai dan situasi hidup yang berbeda. Hormati pemikiran mereka, tapi itu berlaku juga untuk kita yang tak perlu menjadi diluar diri kita hanya untuk bahagiakan orang lain sedangkan kita pura-pura bahagia. Dulu mungkin, aku akan bicarakan orang lain yang sikapnya tak sesuai dengan pemikiran ke temanku yang lain. Lantas emosi, menyalahkan karena tak sesuai kuharapkan. Aku kecewa. Namun, apa yang aku dapat, selain kesal, emosi, dan uring-uringan? Aku yakin, belum tentu sikap aku pun sesuai harapan mereka. Bukan tak mungkin kini mereka sedang jadikan aku bahan di grup pesan yang mereka buat tanpa ada aku. Bagaimana seharusnya sikapku? Sikapku menentukan nilai siapa aku. Cara aku menanggapi, menunjukkan level kedewasaanku. Dewasa adalah orang yang tahu harus memosisikan diri, bisa kendalikan diri, bisa merasakan posisi orang lain seperti apa. Aku tak bisa bilang kalau diriku baik, tak ada cacat. Tapi, lagi-lagi karena sering di kecewakan akhirnya aku pilih untuk menata diri dulu. Besok adalah hari Jumat, di pekan pertama bulan ini. Aku dan Mesya sepakat semenjak memulai usaha, mau pemasukan besar atau kecil. Kami mewajibkan untuk sebulan sekali menyisihkan bagi yang membutuhkan. Karena siang tadi terlalu banyak klien yang datang, aku baru sempat pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan diaper anak-anak angkat kami di rumah yayasan khusus anak-anak yatim dan piatu. Popok bayi, perlengkapan bayi seperti bedak, minyak telon, s**u, dan deterjen jadi buruan belanjaku malam ini. Setelah memastikan semua kebutuhan anak-anak sudah ada di keranjang besi belanja, aku mendorong troli menuju bagian buah-buahan. Aku memilih beberapa buah segar, sekiranya punya masa simpan yang lumayan. Kalau buah ini buat sarapan aku, kebetulan di kulkas juga sudah kosong. Aku harus rajin-rajin mengatur makanan. Aku ini tipe berat badan gampang naik tapi susah turun. Pagi hari aku rutin yoga sendiri dirumah, karena memiliki b****g dan d**a besar kalau tidak olahraga akan mudah kendor. Berbeda dengan Mesya, makan sebanyak apa pun berat badan tidak berubah, walau belakangan ini dia terlihat lebih berisi, karena dia lebih tinggi dari padaku dengan tubuh seperti itu justru lebih proporsional. Cukup dengan beberapa kantung belanjaan, ada juga yang sengaja aku minta di bungkus dengan kardus, penuhi troli. Mendorong menuju mobilku dengan langkah yang sedikit cepat, terus mendorong sampai.. "Aduh!" Aku memekik, kakiku tidak seimbang hampir jatuh karena hak Kitten Heels-ku patah. "Ya ampun! Sepatu kesayangan!" Rasanya mau menangis sekarang, ini sepatu kesayangan yang dibeli dengan dua bulan gajiku dulu waktu masih kerja. Pantas aku merasa sudah tak nyaman pas pilih sepatu ini. "Mbak nggak apa-apa?" Ternyata tidak hanya ada aku di sini. "Ya?" "Tadi saya dengar orang teriak." "Oh, ini mas.. hak sepatu saya patah" mengangkat sepatuku, menunjukkan pada Pria itu. "Oh, Saya kira sesuatu sudah terjadi." "Nggak ada apa-apa sih mas" kataku kikuk, untung tadi aku berpegangan pada troli kalau tidak, aku bisa tersungkur jatuh dan parahnya disaksikan oleh orang lain. Tragedi yang menimpa mantan bosku, Jihan Salim hampir terjadi padaku. Aku tersenyum tipis mengingat wanita sekelas Jihan Salim pernah bermasalah juga dengan sepatu. Lalu aku mencopot sepatu satunya, terpaksa aku berjalan tanpa alas. "Kenapa dilepas, mbak?" Pria itu masih berdiri di depanku. Kenapa kamu banyak tanya? Batinku. "Ya, habisnya mau bagaimana mas? Nggak nyaman kalau jalan dengan sepatu tinggi sebelah." "Tidak bawa cadangan sepatu atau sandal?" Aku mengerut, kenapa dia bertanya "hm, kebetulan nggak mas" tapi, aku tetap menjawab dan tersenyum tipis. "Tunggu sebentar, saya ada sandal." Tanpa menunggu jawabanku, Pria jangkung itu berjalan cepat ke mobil pajero sport hitam yang tak jauh dari posisiku. Dia kembali dengan bawa sepasang sandal jepit pria, dengan membungkuk dia menaruh tepat di dekat kakiku. "Eh, Mas... ya ampun. Makasih Lho!" Aku benaran kikuk sekarang. Matanya mengamati kakiku terlihat sangat kecil disandalnya, khas ukuran pria "sandal agak kebesaran, tapi Mbak perlu alas kaki untuk terhindar dari duri." "Terima kasih sekali lagi, mas..." Senyum manisnya menjawab ucapan terima kasihku dan aku terpaku. Setelah itu aku segera berlalu darinya, namun dilangkah pertama aku merasakan ada yang salah di pergelangan kakiku. Aku paksakan jalan malah semakin sakit. "Aw, Aduh!" Aku meringis kencang, hampir jatuh tapi seseorang memegang bahuku. "Mbak, nggak apa-apa?" Pria itu bertanya dengan sikap siap memberi bantuan "sepertinya kakimu terkilir" masih pria yang sama. "Iya, ini sakit sekali!" Aku mengeluh. "Saya minta maaf." Untuk apa? "Hah?" Lalu tanpa persetujuan, dia mengangkat tubuhku. Aku mengerti ini tujuan dia minta maaf, sopan sekali. Aku diam karena memang hanya dia yang bisa membantu, tapi kedua tanganku sudah melingkar di lehernya. Posisi melekat membuat aku bisa menghirup aroma parfum yang membuat jantung berdebar kencang. Setelah sampai di dekat mobil, dia menurunkanku dengan hati-hati banget, dia membuka pintu mobil bagian belakang, memintaku masuk. "Tunggu sebentar, troli Mbak harus di pinggirkan" seperti orang dihipnotis aku mengangguk saja, dia membawa troliku mendekat. Setelah memastikan troli mengangkut belanjaanku sudah tidak menghalangi jalan mobil lain, dia ikut masuk. Ada kotak putih P3K ditangannya, memberi obat pereda nyeri otot yang langsung aku oleskan di pusat sakit. Memijat-mijat. "Coba gerakkan, sekarang pasti sudah lebih baik" pria di depanku memerintah. Walau ragu tapi aku tetap mencoba mengerakkannya. "Sudah lebih nyaman. Terima kasih." "Sama-sama, Mbak udah bilang dari tadi" dia tersenyum. Aku terpaku, memperhatikan wajahnya yang serius melakukan itu semua, Pria ini punya pesona yang tidak bisa aku remehkan. Mungkin tinggiku hanya sebatas dagunya jika nanti berdiri dan berani mendekatkan diri kepadanya. Pria dengan garis wajah memancarkan peraduan ketangguhan, karismatik. serta mata tajam sekaligus kesepian, dengan rahang terlihat dipahat tegas dan sempurna. Tak berhenti disitu, mata kurang ajarku beralih pada tubuh yang menyimpan magnet kuat yang sulit kutolak, kemeja berwarna marun berlengan panjang digulung sesiku yang dikenakan tidak begitu ketat, mampu memancarkan maskulinitas yang kuat. Garis tubuh dan lekuk otot tetap tercetak, Aku sempat membayangkan otot-otot dibalik kemeja dan cel-- Astaga! sadar, apa yang baru Gue pikirkan. Sadarlah Maya! Aku selalu lemah kalau sudah lihat cowok model seperti ini. Imanku yang memang pada dasarnya sudah lemah, bisa semakin goyah. Aku langsung berpaling hampir tertangkap basah saat membayangkan tubuhnya. Astaga, apa yang baru aku lakukan dengan pikiranku! Aku menyingkirkan pikiran nakal itu, dan tidak mau menunjukkan warna wajahku yang sudah berubah merah. "Hm, Mbak ingat nggak kalau sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya, tapi lupa.." "Oh, ya? Kapan?" Perkataan Pria itu berhasil membawa wajahku menatap dia, saat mata kami bertemu dalam jarak sedekat ini. Aku mengingatnya..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN