Sandal Biasa, Bukan Sepatu Kaca

1404 Kata
"Apa yang Kakak pikirkan? Serius sekali!" Aku kaget saat Mesya menyentuh pundakku, "ya ampun bikin kaget aja sih, kamu!" "Lah, lagian kakak, aneh deh dari pulang tadi melamun terus.. baru lihat hantu tadi di jalan?" "Mana ada hantu ganteng gitu!" lirihku. "Apa?" Tanya Mesya bingung, tak terlalu jelas dengar suaraku. "Nggak. Udah makan yang benar. Jangan makan sambil bicara." Mesya kembali diam, menikmati martabak pesanannya. Aku masih memikirkan pria tadi. Dan belum sempat aku menjawab praduganya, pria itu terima telepon. Terlihat penting, jadi dia buru-buru pergi tentunya setelah memastikan aku baik-baik saja dan bisa menyetir mobil sendiri. Tadinya dia memaksa akan mengantar, aku jelas menolak. Walau tampang meyakinkan, mirip pangeran bukan penjahat apalagi penjahat kelamin.. lupakan yang terakhir! Hm.. Aku tetap saja harus waspada, apalagi dia punya magnet membuat perempuan mana pun ingin mendekat, dan aku takut lupa diri. Jadi, sebenarnya aku lebih tidak yakin pada diri sendiri bukan Pria baik tanpa nama itu. Aku sekarang mengingatnya. Dia benar, kami pernah bertemu sebelumnya. Dua hari lalu di Restoran siap saji. Dia adalah pria dermawan itu, membawa anak-anak penjaja koran. Serta yang tak sengaja aku menabrak bahunya saat berjalan keluar resto.. "Astaga.. Dunia benaran sempit, ya?!" Gumamku kecil, ternyata Mesya sejak tadi dengan matanya memperhatikan yang aku lakukan. "Kakak benaran udah nggak apa-apa? Nggak sebaiknya panggil Mbak Imah aja?" Mbak Imah yang dimaksud Mesya adalah tukang urut yang biasa kami panggil, rumahnya tidak jauh dari sini. "Nggak usah, ini udah nggak sakit." Mesya tadi langsung sadar ada yang salah dengan cara jalan dan alas kaki yang kebesaran, jelas bukan punyaku. "Orang yang bantu kakak, untung buru-buru kasih obat pereda nyeri. "Apa?" Aku tak mendengar terlalu jelas. "Yang bantu kakak, bagus langung kasih obat pereda nyeri. Ibu-ibu?" Tanya Mesya penasaran. Aku malah tersenyum, "mas-mas ganteng." Sial aku kelepasan! "Ganteng? Lho yang bantu laki-laki.." Tanyanya terkejut Aku mengangguk, buat apa di tutupi lagi. "Pantes kayak kesambet gitu, maskap kak?" "Menurut kamu?" "Mana aku tahu, aku nggak lihat! Tapi, lihat kakak banyak melamun gini sih kayaknya memang maskap!" "Maskap itu apa sih, Sya? Bahasa apa?" Mesya mengedikan bahu "bahasa bencong, mas-mas kelas kakap" Katanya cuek. Aku memutar bola mata dan berdecak.. Ya ampun! Yang benar saja! "Itu sepatu kesayangan kakak, kan?" Mesya menunjuk sepatu Kitten Heels milikku yang haknya patah. Tergeletak naas dilantai dekat kaki meja Menghela napas aku mengangguk lemas "Iya, sedih deh." "Tinggal benarkan aja, minta orang Belakang, cuman hak patah gitu mah urusan kecil kali kak. Punya Brand sepatu sih bingung." Oh iya, Mesya benar. Pekerja kami yang di belakang. Para ahli sepatu pasti bisa membenarkan ini. "Iya yah, kok aku enggak ke pikiran." Aku mengelus puncak kepala Mesya "Tumben kamu pintar." Mesya berdecak, menjauhkan tanganku. "Baru tahu?" Aku terkekeh berhasil membuat Mesya yang cerewet ini kesal "Eh Kak, itu sandal yang di pakai punya laki-laki yang tolong kakak?" Tanya Mesya yang kini sudah berhenti makan martabak. "Iya, punya laki-laki itu." Entah aku salah jawab atau ada hal yang lucu, Mesya malah tertawa "Ya ampun, Kak!" "Apa? Kenapa sih kamu!" "Kayaknya dia benaran pangeran yang diturunkan langit buat kakak deh." "Hah? Apa hubungannya sama sandal itu?" Tanyaku bingung, adikku ini wanita unik, saking uniknya isi yang ada di otaknya itu tidak bisa aku tebak. Terlalu absurd. "Aku ingat Cinderella, sepatu kaca yang tertinggal, melalui itu dia dan pangeran bertemu lagi setelah terpisah. Berjodoh." "Terus hubungannya sama Kakak?" "Yah ada dong, lihat aja nanti. Melalui sandal milik orang itu, yang sangat kebesaran di kaki kakak. Hubungan kalian mulai terjalin." Kan absurd? Memangnya Mesya siapa? Ibu peri? Ada-ada aja! Aku bangkit, "ngaco kamu, memang kamu ibu peri, apa?" Dari pada ikutan aneh, lama-lama aku bisa kayak Mesya mending aku rapi-rapi pekerjaan dulu. Merekap pengeluaran dan pendapatan Toko kami bulan ini. "Fairy Godmother, It's me!" Aku menatap Mesya, menunggu apa yang akan dia lakukan, ternyata dia mengambil pensil kesayangan yang biasa buat gambar. Menunjukku dengan itu. "Dengan sihir pensil kesayanganku, Jadilah Cinderella." Hal absurd itu, yang di lakukan Mesya membuat kami tertawa bersama. Ada-ada aja tingkah Adikku ini. Tapi, begini cara kami menghibur satu sama lain. Hidup kami yang tinggal berdua tak terlalu sepi. *** Aku menghentikan mobil di sebuah panti asuhan. Melalui kaca mobil depan, kumenatap ke halaman panti tampaknya sedang menggelar acara karena di halamannya ramai dengan anak-anak. Tidak biasanya, pikirku. Aku turun dari mobil dan membuka pagar panti asuhan itu. Salah satu pengurus panti yang kebetulan melihat, langsung menyambut. "Eh Mbak Maya, Ayo Masuk." "Iya.. Pak, Saya bawa sesuatu buat anak-anak. Ada di mobil, tolong bantu ya.." Pengurus tersebut mengangguk, "tentu, Mbak." Kami berjalan kembali ke mobilku, buka bagasi belakang sambil mengambil plastik-plastik besar dan beberapa kardus, aku bertanya. "Ini lagi ada acara, Ya pak?" Tanyaku melihat keramaian yang ada. "Iya, sponsor terbesar panti kami hari ini datang, membawa banyak makanan dan hiburan sambil belajar untuk anak-anak" jelasnya Kami dibantu salah seorang lain, membawa barang-barang yang aku bawa. Setelah memastikan bagasi mobil sudah kosong, tak ada yang tertinggal. Aku menutupnya, berjalan mengikuti mereka. Aku bertemu pengurus utama panti, beliau menghampiriku. Kami bersalaman dan mengobrol seputar menanyakan kabarnya dan panti. Dia sosok Ibu yang hangat, sangat menyayangi anak-anak panti. Hubungan kami juga sudah sangat akrab, aku sering ke sini selain menengok anak-anak pantiku, tidak jarang saat aku butuh seseorang pendengar, Ibu panti menjadi tempat curhatku, sudah seperti ibuku sendiri. "Mesya apa kabar, Nak?" "Alhamdulillah Sehat bu, Dia tadinya mau ikut. Cuman Karena lagi banyak pesanan, salah satu dari kami harus tetap stay di toko." Kami duduk di teras panti, mataku tidak lepas dari anak-anak yang begitu bahagia, bernyanyi, berlari dan bermain di halaman sana. Aku Menyerahkan amplop cokelat "Ini nggak ada rezeki buat bantu-bantu beli bumbu dan garam dapur panti." Ibu panti menerima sambil tersenyum lebar. Berapa dan apa pun yang aku bawa. Mau Banyak atau sedikit, beliau selalu terima dengan hangat. "Alhamdulillah, diterima yah nak Maya. Semoga Gusti Allah ganti kebaikan kalian dengan yang lebih" ucapnya "Amin, sama-sama Bu, kalau butuh bantuan jangan sungkan Telepon Maya atau Mesya." "Tentu.. Nak." Kami kembali memandang halaman panti, kali ini aku ikut tertawa saat beberapa anak mengelilingi dan menggoda badut yang mengenakan Kostum Beruang dengan Warna biru cerah. "Ayo Nak, ikut gabung sama anak-anak!" Ajaknya tahu-tahu sudah berdiri. "Nggak apa-apa, bu? Maya takut ganggu anak-anak." Wanita paruh baya tersebut tersenyum, tangannya menarikku. "Justru Anak-anak pasti senang, mereka selalu tanyakan kamu, kapan datang." Kami berjalan menuju halaman panti yang luas. "Anak-anakku, ini ada Kak Maya datang. Siapa yang mau main sama Kak Maya?" Bu panti berteriak, membuat semua mata terpusat padaku. Beberapa anak langsung mengacungkan tangan dan mendekat. Aku langsung duduk bersila di atas rumput, dikelilingi anak-anak. "Kak Maya, enggak datang sama Ibu Peri Mesya?" Tanya seorang anak perempuan, dia juga sama seperti Mesya. Punya keterbatasan, bedanya sejak lahir. Dan beranjak harus menggunakan tongkat karena kedua kakinya tidak bisa berjalan normal. Adara, dipanggil dara. Dia anak Panti kesayangan Mesya, yang membuat Mesya bangkit dan percaya diri. Melihat Dara, bocah lima tahun yang memiliki kekurangan sejak lahir, dibuang orang tuanya namun tetap ceria dan semangat membuat Mesya Malu kalau harus mengeluh selalu. "Aku nggak mau kalah dari Dara, Kak! Kalau Dara bisa aku pasti bisa" kata Mesya saat itu. Mereka sangat akrab, dan Dara punya panggilan khusus untuk Mesya. Ibu peri, aku juga tak tahu apa yang membuat Dara dan anak panti lain memanggil Mesya dengan sebutan itu. Aku menarik Dara mendekat, mendudukkan di pangkuanku. "Maaf Yah sayang, Kak Mesya-nya lagi Sibuk. Besok kalau udah ada waktu luang pasti main ke sini." Dengan anggukan kecil, Dara terima penjelasanku "pasti Kak Mesya lagi jadi ibu Peri yah, kak?" Aku mengangguk "Hm, kok Princess Dara bisa tahu?" "Iya, Kerjaan Kak Mesya kan kayak Ibu Peri di Film Cinderella. Tangan Kak Mesya ajaib bisa buat sepatu secantik punya Cinderella. Katanya, aku juga bisa jadi Ibu peri Kayak Kak Mesya kalau besar nanti asal aku semangat dan rajin belajar!" "Ya, Ka Mesya benar!" "Kami tercipta Spesial. Tongkat ini." Dia menunjuk tongkat kayu yang di cat merah muda miliknya, yang dibeli dan dipilih oleh Mesya sendiri "lebih hebat dari tongkatnya Ibu Peri." Aku tersenyum, mataku berkaca-kaca. Panti ini punya pelita, sebagai penerang harapan untuk gadis kecil ini, yang ada di pelukanku, gadis seceria dan secantik Dara, sesuai arti namanya Adara artinya Cantik. Saat sedang bersama Dara, aku merasa seseorang sedang memerhatikan kami ditengah ramai anak-anak bermain. Aku terdiam, bertemu tatap dengan mata yang asing namun pernah bertemu denganku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN