INI SOAL PRIORITAS

1121 Kata
Abizar keluar dari toilet laki laki. Ia menunggu Runa di depan toilet perempuan. Tak lama, kekasih cantiknya itu keluar dengan make up yang kembali sempurna. Abizar tersenyum, "Cantik sekali Runa. Andai bidadari itu ada, pasti seperti kamu." "Abizar, jangan banyak merayuku. Kamu tahu tidak mudah meredakan kemarahanku," Runa menatapnya lalu memperbaiki dasi kekasihnya. "Kemana sikap malu malumu dulu?" Runa tersenyum. "Menghilang ditelan bumi." "Sembilan tahun Runa.. Kamu sudah membuatku merasa nyaman," Abizar bicara apa adanya. "Sikapku tidak pernah berubah. Hal lain yang tidak pernah berubah adalah kekagumanku ketika melihatmu." Runa tergelak, "Kamu semakin pandai bicara." Abizar melingkarkan kedua tangannya di pinggang Runa. Ia menundukkan kepalanya hingga beradu dengan kening kekasihnya itu. Matanya menatap lembut perempuan di hadapannya, "Aku kangen sekali.." Runa tersenyum melihat ketulisan di mata kekasihnya itu. Ia membelai rambutnya. Ah, aku tidak pernah bisa marah terlalu lama. Abizar, aku tahu kamu sayang aku. Hanya saja mengesalkan kala pekerjaan mengalahkan rasa sayangmu itu. Ini soal prioritas. "Kita bicara lagi setelah acara hari ini," ucap Runa perlahan. "Iya," Abizar menggenggam tangan Runa dengan erat. Keduanya melangkah masuk ke ruang resepsi. Sebagian tamu sedang menikmati makan siang, ada juga yang sedang mengobrol. Beberapa pandang mata menatap keduanya. Tapi, baik Runa dan juga Abizar tidak memerdulikannya. "Temani aku," Abizar berbisik. "Aku harus menghindar dari si Daka dan Jani." Runa tergelak, "Kenapa dengan mereka?" "Kamu lihat lipstikmu ada di kerah kemejaku. Si Daka bisa meledekku terus terusan," jelas Abizar perlahan. Runa sedikit melirik ke area kerah kemeja kekasihnya dan tersenyum, "Kamu terlalu membabi buta menciumku. Aku terbawa suasana." Abizar tergelak, "Miss you so much." Runa meremas lengan kekasihnya. "Lalu Jani kenapa?" tanya Runa lagi. "Dia dan kesetiakawanannya. Kamu tidak bisa menebaknya? Sudah jelas si Jani akan mengomeliku," Abizar geleng geleng kepala. "Kamu layak mendapatkannya," Runa tergelak. "Aku tahu. Dan aku akan menerimanya. Tapi tidak di acara ini. Aku berutang permintaan maaf pada Daru dan Hana," Abizar menarik tangan Runa ke arah Daru dan Hana yang sedang mingle. "Akhirnya muncul juga jaksa kebanggaan kita ini," Daru tersenyum. "Jangan menggodaku," Abizar memeluknya, "Congrats bro." "Ehm," Abizar berdiri sambil menatap Daru dan Hana. "Daru.. Hana, I'm, sorry.." "Hana, maafkan aku datang terlambat .." Abizar kemudian juga memeluknya, "Dan, selamat.." Daru dan Hana hanya tersenyum. "Urusanmu pasti penting, aku mengerti," Daru bersikap bijak. "Tapi don't mess up with my sister." Abizar mengangkat kedua tangannya, "Aku sudah menyerah pada perempuan di sampingku ini. Tidak mungkin aku mengacaukannya." Ia lalu menoleh ke arah Runa dan tersenyum, "Semua soal pekerjaan." Daru tersenyum, "Syukurlah." "Makan dulu sana," Hana mempersilahkan keduanya makan, "Kamu juga Runa." "Iya, iya," Abizar tersenyum, "Tapi sebelumnya aku mau ketemu Om Keenan dan Om Danu. Dimana ya?" Abizar celingukan mencari mereka. "Ayo kita cari dulu," Abizar menarik tangan Runa. Sampai akhirnya, ia menemukan Keenan Rasyid dan istrinya Shanum Jingga Maheswari yang sedang mengobrol. Di usianya yang sudah menjelang senja, Keenan dan Jingga masih terlihat mesra. Aku ingin hubunganku dengan Runa seperti mereka. Ia meremas jari jemari Runa dan mengajaknya menemui keduanya. Abizar pun menyapanya, "Om, tante," "Abi.. Kamu kemana saja?" Jingga menepuk nepuk bahunya. "Maaf tante saya telat. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan," jawabnya. "Tidak apa apa. Tanggung jawabmu pada masyarakat luas. Om mengerti," Keenan dengan bijak menjawabnya. "Te-terima kasih atas pengertiannya om," Abizar mengangguk. "Saya ikut senang dan bahagia atas pernikahan Hana dan Daru." "Sama sama. Sedikit sedih melepas putri kesayanganku itu, tapi.. Hana mendapatkan pasangan yang baik," Keenan terlihat berkaca kaca. Jingga menepuk nepuk punggung Keenan, "Sudah, sudah." "Om sedikit mellow," Keenan tersenyum. "Saya juga beluim menemui Om Danu, saya mau mencarinya dulu om," ucap Abizar. "Iya silahkan," Keenan mengangguk. "Om Danu kemana?" Abizar melihat sekeliling ruangan. "Itu dekat buffet minuman," Runa menarik tangan Abizar mendekat ke arah ayah dan ibunya. "Ayah," Runa berubah manja dan merangkul lengan Danu. Mitha dan Danu hanya tersenyum melihat putrinya. "Kamu sudah dua puluh tujuh tahun, masih saja manja pada ayahmu," Mitha menggelengkan kepalanya. Runa hanya tersenyum. "Ayah, ibu, ini ada yang telat datang," Runa menatap Abizar. Kekasihnya itu langsung berubah gugup, "Maafkan saya telat om, tante. Tadi sampai melewatkan prosesi akad nikah." Danu tergelak, "Kamu sibuk sekali akhir akhir ini." Abizar menggaruk rambutnya, "Mmm.. Ada kasus khusus om." "Iya om mengerti. Tidak masalah, itu sudah menjadi tanggung jawabmu," Danu mengangguk. "Terima kasih atas pengertiannya," Abizar membungkuk. Daru dan Mitha hanya tertawa. "Sudah sana kalian makan dulu," Danu mengusirnya. Runa menatap Abizar dan mengajaknya pergi. Mereka pun menikmati makanan yang tersedia. Namun, makan siang mereka terganggu dengan kedatangan dua perempuan yang memasang wajah kesal. Abizar langsung ciut. Ia tahu kalau dua perempuan ini akan mulai mengomel. Runa mengatupkan bibirnya menahan tawa. "Radhea Abizar Nuswantara," suara Jani terdengar kesal. "Iya, kamu," Gema menambahkan sambil memasang ekspresi tidak suka. "Sudah telat, malah enak enak makan," Jani geleng geleng kepala. Abizar menyimpan piringnya dan berpura pura takut. Sekilas ia melirik ke arah Jani. Ia tahu dari semua orang di ruangan ini pasti yang paling marah adalah sepupu kekasihnya itu. "Anjani.. Please.. Runa sudah memaafkanku.. Kamu jangan marah marah seperti itu.." Abizar merajuk. "Runa bisa jadi memaafkanmu, tapi aku tidak semudah itu. Tujuh hari tidak ada kabar dan membuat Runa menangis," Jani menekuk tangan di pinggang. "Terus sekarang muncul tanpa dosa." "Iya," Gema ikut ikutan. Abizar menoleh ke arah Runa. Kekasihnya ini menangis karena dirinya? "Aku tidak mau membuat keributan di sini, tapi setelah selesai, kita harus bicara empat mata," Jani menegaskan. Gema mencoleknya, "Aku juga..." "Sori, enam mata!" Jani mengkoreksi ucapannya. "Setelah selesai, kita bicara ok?" Jani lalu menarik tangan Gema pergi. Runa hanya menahan senyumnya dan melanjutkan menikmati makan siangnya. Abizar memperhatikannya, "Kamu menangis gara gara aku?" "Entahlah," Runa memalingkan muka. Abizar menggenggam tangan kekasihnya, "Maafkan aku. Ya?" "Nanti kita bicara lagi," Runa bicara perlahan. Abizar mengangguk, "Iya." "Runa," Anin memanggilnya, "Hana mau melempar buket bunga..." "Aku ke sana dulu ya," Runa hendak melangkah ke area lempar buket. Abizar menahannya sambil meremas jari Runa, "Aku sayang kamu." "Iya Bi, titip tasku," Runa menitipkan tas tangannya lalu melangkah pergi. Abizar memperhatikan kekasihnya itu dengan rasa bersalah. Ia menatap makanan di piring dengan tidak selera. Naya menghampiri dan merangkulnya, "Kamu kemana saja?" "Ah, jangan ikut ikutan ceramah," Abizar menarik nafas panjang. "Tante Rhe mencarimu," Naya berbisik. "What? Aku lupa mama papa juga diundang," Abizar celingukan mencari orang tuanya. Naya hanya tergelak. Abizar memperhatikan dari kejauhan kalau Hana bersiap melempar buket bunga. Para perempuan di hadapannya mencoba maju ke depan dan mencari posisi terbaik untuk mengambilnya. Ia melihat kalau Runa hanya diam dan tidak berusaha untuk ikut ikutan maju. Kerongkongannya tercekat. Apa Runa tidak menginginkan buket itu? Entah kenapa, matanya berkaca kaca. Ia tidak peduli kalaupun Naya mungkin melihatnya. Buket bunga pun terlempar... Tamu undangan perempuan berebut hendak mengambilnya. Abizar memperhatikan gerakan bunga tersebut yang melambung tinggi lalu perlahan jatuh ke tangan seorang perempuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN