BUKET BUNGA

1354 Kata
Buket bunga itu jatuh ke tangan Ghea. Sepupu dari Hana dan Danis itu tersipu malu. Dari kejauhan, Darma hanya menatapnya dengan kerinduan mendalam yang menumpuk di hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya dan kemudian berbalik menjauh dari area tersebut. Darma memutuskan untuk duduk di lorong yang menghadap ke halaman tengah galeri. Pemandangan Ghea dan lelaki itu mengganggunya. Hatinya terluka. "Kenapa kamu di sini? Aku mencarimu," perempuan itu duduk di sampingnya. Darma hanya tersenyum. Perempuan di sisinya bernama Lalita Swasti, seorang selebram dan juga influencer ternama tanah air yang dikenal dengan panggilan Asti. Darma mengenalnya cukup lama dan cukup tahu kalau Asti menyukainya. Namun, ia menutup diri. Sejak hubungannya dengan Ghea berakhir, hatinya seperti tidak terbuka pada siapapun. Ada satu atau dua perempuan yang pernah mengisi hari harinya, tapi tidak pernah lama dan tidak pernah ada rasa untuk berlanjut. Begitupun dengan Asti. Tidak pernah terpikirkan untuk menerima perasaan perempuan ini, hanya saja.. Suatu hari, Danis tak sengaja bercerita kalau Ghea akan datang bersama kekasih barunya di pernikahan Daru. Ada ego yang membuatnya tidak ingin terlihat menyedihkan. Itu sebabnya, Darma mengajak Asti untuk menemaninya. Ia tahu kalau sikapnya salah, tapi tidak ada pilihan lain. Terlihat menyedihkan di mata cinta pertamanya melukai ego dan gengsinya. Itu sebabnya Darma mengorbankan perasaan Asti. Ia tidak peduli... "Aku tidak mendapatkan buket bunga itu. Sayang sekali.." Asti bicara. "Perempuan lain yang mendapatkannya. Jani bilang kalau perempuan yang mendapatkannya adalah sepupu dari Hana." Darma lagi lagi hanya tersenyum, "Itu hanya buket. Tidak ada arti apapun. Abaikan saja." Asti terdiam. "Ah.. Aku mau ke toilet dulu," Darma pergi meninggalkan Asti sendiri. Asti hanya menatapnya. Ada rasa gundah dan sedih melanda. Ia tidak mengerti dengan sikap Darma. *** Abizar menatap Runa yang mendekatinya setelah pelemparan buket bunga tersebut. "Aku tidak dapat. Kak Ghea yang berhasil mengambil buket tersebut," Runa duduk di sampingnya. Abizar merangkulnya, "Apa kamu ingin mendapatkan buket itu?" Runa terdiam. Tapi tak lama, ia menggeleng, "Itu hanya buket bunga.. Tidak masalah." Abizar menarik tubuh Runa mendekat dan mengecup puncak kepalanya. Tiba tiba saja, air mata menetes di pipi kekasihnya. Abizar kaget, "Ka-kamu kenapa?" "Entahlah," Runa lalu bangkit berdiri sambil setengah berlari. "Aku ke toilet dulu." "Tunggu aku," Abizar hendak mengejarnya, namun langkahnya terhenti karena sepasang mata menatapnya dengan penuh amarah. "Abizar, kamu kemana saja?" Rhea Adhisti, mamanya berdiri di hadapannya dan bertanya dengan ketus. "Mama malu sekali tidak tahu kamu kemana. Semua bertanya tapi bingung harus menjawab apa," Rhe geleng geleng kepala. Barra merangkulnya, "Sudahlah, anakmu ini sudah besar. Si Abi pasti punya alasan. Kamu tahu sendiri pekerjaan jaksa, polisi, semua tidak menentu." "Ah pap, thank you sudah menjelaskan. You''re the best! Aku harus mencari Runa dulu, nanti kita bicara lagi," Abizar langsung berlari ke luar ruang resepsi dan melangkah ke arah toilet. Ia bergerak dengan cepat ke arah toilet perempuan yang ada di dekat ruang resepsi, tapi Runa tidak ada. Abizar akhirnya mencari ke toilet lain yang menjadi tempatnya dan Runa sebelumnya merapikan diri. Tangga demi tangga ia lewati. Jarak dekat tapi terasa jauh. Sampai akhirnya ia tiba di toilet tersebut. "Runa, Runa," Abizar berulang kali memanggil kekasinya itu, tapi tidak ada jawaban. "Apa kamu ada di dalam atau tidak?" ia menggumam. Ia bergerak bulak balik di depan toilet perempuan dengan tak menentu. Hingga tubuhnya hampir saja bertubrukan dengan Darma yang keluar dari toilet laki laki. "Sori!" Abizar menatapnya. "Kamu datang? Aku pikir kamu absen.." Darma menyindirnya. "Jangan menyindirku. Aku mencari Runa. Dia bilang mau ke toilet tapi aku panggil panggil tidak menjawab," Abizar bingung. Darma geleng geleng kepala, "Ya sudah kamu masuk saja dan cek, aku jaga di sini." "Thanks bro.." Abizar kemudian mengecek toilet perempuan. Namun ia keluar dengan hasil nihil, "Tidak ada." "Mungkin sudah kembali ke ruang resepsi," ucap Darma. "Rasanya tidak. Kalau iya, pasti aku berpapasan," Abizar tak tenang. "Bantu aku mencarinya!" "Kenapa tidak kamu telepon saja?" tanya Darma. "Ini," Abizar menunjukkan tas tangan Runa yang ada di genggamannya. "Tadi saat mengambil buket bunga, dia menitipkannya kepadaku. Ponselnya ada di dalam tas." "Ya sudah," Darma mengangguk, "Kita cari." "Runa." "Runa." Abizar dan Darma bergantian mencari sosok Runa hingga ke area taman. Langkah Abizar terhenti ketika melihat sesosok perempuan tergeletak di atas rumput. "RUNA!" Abizar dengan kaget berteriak ketika mengenali pakaian kekasihnya itu. Tubuhnya gemetar. Runa berbaring tidak sadarkan diri. Abizar dengan cepat mengecek nafas dan denyut nadinya. Sedangkan Darma hanya bisa diam. Tubuhnya seperti membeku. Ia menatap tak percaya sepupunya yang berbaring tak berdaya. "A-ada. Runa hidup," Abizar merasa suaranya berubah sengau. "Bro.. Bro.. Help.. Panggil papaku. Jangan dulu ribut," Air mata keluar dari matanya. "Papa, papa, bisa memeriksa Runa. Cepat!" Darma berubah kaget dan gugup, tapi ia langsung tersadar, "Aku panggil Om Barra." Ia berlari dengan cepat ke dalam ruang resepsi. Abizar hanya bisa menggenggam tangan Runa dengan erat, "Runa, aku sayang kamu. Oh please.. Jangan terjadi apapun padamu." Abizar merasakan tubuhnya bergetar hebat. Bayangan jelek takut kehilangan kekasihnya langsung muncul di pikirannya. Tapi tak lama, papanya dan mamanya muncul. "A-apa yang terjadi?" Rhe menatapnya dengan terkejut. "Mam.. Pap.. Runa," Abizar tak sanggup berkata kata. "ABIZAR! Biarkan papa memeriksanya," Barra berteriak. "Kamu ke mobil, ambilkan kotak medis dan tas dokter papa! Cepat!" Rhe langsung menarik putranya yang terlihat masih gemetar. Mereka bergerak ke arah parkiran. Rhe lalu mengeluarkan semua peralatan Barra yang selalu tersedia di dalam mobil. "Kamu lari! Cepat!" Rhe menyadarkan putranya. Abizar tak lagi menunda dan langsung berlari cepat kembali ke lokasi. Ia menyerahkan semuanya pada papanya. Kondisi Runa masih tergeletak tak sadarkan diri. Air mata kembali mengalir di mata Abizar, menggambarkan kesedihan yang tak tertahankan. Darma menatap sahabatnya dan merangkulnya, "Runa akan baik baik saja. Kamu tadi sudah cek sendiri kalau nafas dan nadinya masih kamu rasakan." Abizar memejamkan matanya. Rasa pun bersalah muncul. Tujuh hari aku tidak memberikan kabar pada Runa. Kekasih yang selalu setia menantiku. Susah dan senang, Runa selalu ada. Oh no! Aku... Aku bahkan belum sepenuhnya berbaikan. "Pap, Runa harus baik baik saja.." Abizar mendekat ke arah Barra. Saat itu, ia menyadari kalau ada darah di pelipis Runa. Abizar merasakan tubuhnya lemas. Ia ambruk ke rerumputan itu. Barra dengan tenang memeriksa Runa. Ia melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh dan mencari tanda tanda cedera, baik itu memar ataupun luka. Barra juga mengecek mata Runa dengan membukanya untuk menilai tingkat kesadaran kekasih putranya itu. "Runa baik baik saja. Dia kehilangan kesadaran sementara," ucap Barra. "Kita langsung bawa ke rumah sakit untuk citiscan." "Tidak ada luka selain di pelipisnya, sepertinya itu benturan," Barra menegaskan. "Be-benturan.." Abizar tak bisa berpikir jernih. "Om, apa bisa Runa dibawa ke Rumah Sakit Besari?" tanya Darma. "Iya, itu lebih dekat daripada dibawa ke RSHN. Nanti om dampingi," jawab Barra. Darma lalu menelepon Rumah Sakit Besari untuk mengirimkan ambulan dan memintanya masuk galeri tanpa membunyikan sirine. Tak lama, ambulan pun tiba. Barra dan Abizar naik ke dalamnya menemani Runa. "Nanti aku menyusul sambil membawa mobil," ucap Rhe pada suaminya. "Iya, aku tunggu di Rumah Sakit Besari," ujar Barra. "Bro, titip Runa, aku harus mengatur situasi di sini," Darma menatap sahabatnya, "Selain itu, aku harus bicara pada Om Danu." "Pasti," Abizar mengangguk. Pintu ambulan tertutup dan pergi menjauh dari galeri. Darma lalu menelepon seseorang, "Keamanan bocor! Periksa dengan ketat siapapun yang keluar masuk. Sweeping setiap titik galeri dari depan ke belakang! Sekarang juga!" "Sepupuku terluka. Ini parah dan tidak bisa ditolelir! Apalagi terjadi di galeri!" Darma merasa geram. Rhe memperhatikan tempat kejadian perkara, "Darma, biarkan tante mengambil foto area ini terlebih dahulu." Nalurinya sebagai pensiunan polisi pun muncul. "Baik tante," Darma mengangguk. Rhe mengambil foto foto sebanyak banyaknya. Ia juga meneliti secara seksama. "Darma, apa ini milik Runa?" tanya Rhe sambil menunjukkan sebuah anting anting berlian yang tergeletak di rerumputan. Ia mengambilnya menggunakan saputangan. "Aku tidak tahu," Darma menggeleng. Rhe lalu mengeluarkan plastik kecil yang digunakan untuk menyimpan tissue dari tasnya. Ia meletakkan anting anting berlian tersebut ke dalamnya. "Ini bisa jadi petunjuk," Rhe menggumam. Rhe lalu melangkah ke area sekitar taman dan memeriksa dengan teliti. Darma memperhatikannya dengan bingung karena tidak paham cara kerja aparat hukum. Setelah beberapa saat, Rhe menghampirinya, "Sudah." "Kita harus segera bicara pada Danu dan Mitha," Rhe menarik nafas panjang. "Iya tante," Darma menarik nafas panjang. Bagaimana mungkin terjadi musibah di hari bahagia Daru dan Hana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN