Darma dan Rhe langsung masuk ke ruang resepsi. Suasana semakin sepi karena tamu tamu sudah mulai pulang.
Sekilas Darma melihat kalau tinggal satu dua orang saja. Daru dan Hana memang tidak mengundang banyak orang, hanya teman teman dekat saja dan. Bahkan, meminimalisir relasi relasi dari kedua orangtuanya yang sangat banyak.
Untunglah.. Setidaknya tidak akan menarik perhatian banyak orang.
Tamu terakhir tersebut berpamitan pada Om Danu dan Tante Mitha hingga akhirnya ruangan resepsi tersebut kosong.
Darma langsung menghampiri Daru, "Bro kita harus bicara."
"Ada apa?" Daru langsung tidak enak hati.
"Tunggu," Darma mengajak Daru menghampiri Danu dan Mitha yang sedang mengobrol dengan Bisma dan Dara.
Hana mengikuti langkah suaminya karena penasaran.
"Om, saya harus bicara," Darma memasang ekspresi serius.
"A-ada apa?" Mitha merasa tidak enak hati.
Apalagi ketika melihat sosok Rhe di belakang Darma.
Hana berulang kali menatap orangtuanya yang berada tak jauh dari posisi mereka. Keenan dan Jingga pun ikut menghampiri mereka.
"Ada apa ini?" Jingga ikut merasa tidak enak hati.
"Runa om.." Darma menarik nafas panjang. "Dia diketemukan tidak sadarkan diri di taman dekat toilet luar. Tak jauh dari lorong masuk galeri."
"A-Apa!" Mitha langsung gemetar. Ia menggenggam tangan Danu dengan kuat, "Sayang.."
"Runa lalu bagaimana?" Mitha mulai menangis. "Dimana dia? Bagaimana kondisinya?"
"Bro, apa yang terjadi?" Daru ikut merasakan ketegangan luar biasa.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Dia diketemukan sudah terkapar di rerumputan," Darma menjelaskan.
"Ohh.." Mitha langsung berurai air mata.
"Dimana RUNA sekarang?!" Danu mulai panik.
"Om tenang, tadi Om Barra sudah memeriksanya dan kondisinya baik. Katanya hanya kehilangan kesadaran sementara. Om Barra dan Abi sudah pergi ke Rumah Sakit Besari," ucap Darma. "Aku juga sudah meminta tim keamanan untuk sweeping area galeri."
Mitha langsung menatap Danu, "Kita.. Kita pergi ke rumah sakit sekarang juga."
"Iya," Danu mengangguk.
"Aku ikut," Daru menoleh ke arah Hana, "Kita ke rumah sakit."
"Iya," Hana mengangguk.
"Apa yang terjadi pada Runa?" Jani tiba tiba menangis. "Ke-kenapa Runa?"
"Sudah sayang, kita ikut ke rumah sakit sekarang," Dara memeluk putrinya.
"I-iya," Jani mengangguk.
"Aku dan Darma cek situasi di sini dulu. Bro, nanti aku menyusul ke rumah sakit," ucap Bisma pada Danu.
"Iya," Danu mengangguk. Ia dan Mitha pun bergegas pergi.
Hana, Daru, Keenan, Jingga, Dara dan Jani mengikuti di belakangnya.
"Kita juga pergi," Danis mengajak Anin untuk pergi ke rumah sakit.
"Iya," Anin mengangguk.
Asya, Aksa dan Ara juga ikut pergi. Semua sahabat Runa bergegas menuju rumah sakit. Meninggalkan Bisma, Darma dan Rhe di ruangan besar itu bertiga saja.
"Menurutku, kita cek cctv terlebih dahulu," Rhe memberi masukan.
"Iya," Bisma mengangguk.
"Ini keterlaluan yah. Di galeri terjadi hal seperti ini dan Runa menjadi korban! Tim keamanan tidak berguna!" Darma merasa kesal.
Bisma tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Ketua tim keamanan galeri masuk ke ruang resepsi, "Sir."
Bisma mendekat dan menampar lelaki di hadapannya.
PLAK!
Bunyi tamparan terdengar keras di ruangan sepi tersebut.
"Kamu layak mendapatkan tamparan ini!" Bisma berteriak marah.
Orang itu berlutut di hadapan Bisma, "Maafkan saya sudah lengah."
"Gosh! Runa jadi korban! Kamu pikir untuk apa ada tim keamanan di sini?" Bisma bicara dengan keras. "Kalau Danu ada di sini, kamu akan mendapatkan lebih dari sekedar tamparan. Putrinya menjadi korban, tidak ada kata maaf."
"Berdoalah Runa baik baik saja!" Bisma begitu emosional.
Rhe memperhatikan kalau lelaki itu mengenakan name tag bernama Adam. Kepala keamanan galeri yang bernama Adam itu memang layak mendapatkan kemarahan Bisma. Meski hati kecilnya merasa kasihan dan simpatik kepada lelaki itu, tapi nyawa Runa bisa saja melayang.
Ia cukup bisa memahami kepanikan Bisma.
"Apa yang bisa kamu ceritakan?" tanya Bisma.
"Semua yang masuk dan keluar tidak ada selain dari yang ada di daftar tamu. Sensor sudah dipasang di gelang setiap tamu yang hadir. Tidak akan ada orang asing yang masuk atau keluar tanpa pengawasan kami. Tim katering juga sudah melewati pemeriksaan. Mereka semua masih kami tahan di area belakang. Hanya tamu undangan saja yang sudah pulang," jelasnya. "Mereka sedang kami mintakan kesaksiannya."
"Saya mencurigai kalau pelaku adalah salah seorang dari tamu," jelasnya.
"Bagaimana dengan rekaman cctv?" Bisma memastikan.
"Area tempat Miss Runa ditemukan tidak terekam cctv," Adam bicara perlahan.
Ia sudah pasrah menerima amukan majikannya ini.
Tapi Bisma hanya diam. Ia menggertakkan giginya.
"Kamu tahu, Danu pasti akan langsung mengganti tim keamanan saat ini juga. Tapi, saya akan memberikan kesempatan kedua, selama kamu bisa memberikan petunjuk berarti! Dismiss!" Bisma merasa kesal luar biasa.
Keponakanku menjadi korban di tempat pribadi milik keluarga besar. Hal di luar nalar!
Adam pun berbalik dan keluar dari ruangan.
"Apa ada hal yang bisa menjadi petunjuk," Bisma bicara pada Rhe.
"Aku sudah mengambil foto di lokasi kejadian, nanti kita telusuri lebih lanjut. Lalu ada bukti lain yang aku temukan, yaitu anting berlian. Tapi hanya satu," Rhe membuka plastik tissue dari dalam tas.
"Kita bisa coba periksa sidik jari, tapi harus melewati pemeriksaan forensi," Rhe menatap Bisma.
Bisma menatap anting berlian tersebut. Ia memicingkan mata.
"Dara bisa mengetahui ini keluaran mana. Dari situ, kita bisa cek pembelinya. Ini berlian mahal, mudah saja menelusuri pembelinya," ucap Bisma.
"Apa kita tidak akan melibatkan kepolisian?" tanya Rhe. "Agar bisa bergerak cepat memeriksa sidik jari dari anting ini."
"Tidak dulu melibatkan kepolisian," ucap Bisma. "Tamu tamu yang hadir hari ini high profile semua. Aku tidak mau menarik perhatian."
"Kita ada tim yang bisa melakukan forensik," lanjutnya. "Apa boleh aku minta anting tadi?"
Rhe mengangguk dan menyerahkan anting tersebut pada Bisma.
"Kalau tidak ada sidik jari, nanti kita lihat dari model perhiasan ini dan mencari tahu pembelinya secara langsung," Bisma menatap Rhe.
Rhe kembali mengangguk.
"Entah laki laki apa perempuan.." Bisma menggumam.
"Darma, laki laki juga bisa mengenakan anting seperti ini bukan?" Bisma memastikan pada anaknya.
"Iya," Darma tersenyum, "Ini seperti yang si Daka kenakan. Dia pernah berbuat kegilaan dua tahun lalu dengan menindik telinga dan hidungnya. Sampai si Mila marah besar, akhirnya dia kapok."
Bisma hanya geleng geleng kepala mengingat sahabat putranya itu.
"Apa kamu akan memeriksa tamu tamu yang hadir?" Rhe memastikan.
"Kita harus bicara dulu pada Danu. Dia yang akan memutuskan," Bisma menegaskan.
"Ayah, artinya pelakunya tamu undangan?" Darma meyakinkan dirinya.
"Sesuai yang dikatakan Adam, ayah berpikiran sama kalau pelaku adalah tamu undangan," jawabnya. "Tidak ada yang keluar masuk tanpa gelang. Gelang itu kita berikan hanya pada tamu undangan."
"Adam benar, impossible kalau ini orang luar," Bisma menarik nafas panjang.
"Semoga Runa cepat sadarkan diri, kita bisa bertanya langsung," ucap Darma.
"Iya, tapi bagaimana kalau si pelaku sudah melarikan diri? Dia sudah berani melukai anggota Keluarga Abisatya. Si pelaku tahu kalau dia tidak akan selamat," Bisma menyeringai. "Jadi, ayah yakin dia sudah dalam rencana untuk pergi entah kemana."
"Kita harus bergerak cepat," tegas Bisma. "Sayangnya, tidak ada rekaman cctv."
Darma terdiam.
Ayah benar. Kita sudah membuang waktu setidaknya satu jam. Bisa saja si pelaku melarikan diri dan menghilangkan apapun jejak yang dia tinggalkan. Tapi setidaknya ada bukti anting berlian tersebut.
"Kita ke rumah sakit sekarang," Bisma mengajak Darma dan Rhe pergi. "Semoga ada saksi yang melihat kejadian tersebut."
Dari balik jendela ruangan tersebut, ada seseorang meremas jari jemarinya dengan cemas.