Runa hanya diam.
"Apa.. Sembilan tahun ini tidak ada artinya?" Runa menatapnya. "Apa aku.. Lama lama akan kamu lupakan?"
"Tidak begitu," Abizar masih saja berlutut dengan kepalanya tertunduk di pangkuan Runa.
"Tapi.. Tidak ada kontak selama sepuluh hari. Itu hal yang tidak pernah terjadi.. Apa kamu sudah mulai bosan kepadaku? Abizar.." Runa kembali berkaca kaca.
Runa lalu berdiri, "Aku pusing. Ingin sendiri. Kamu bisa tidur di kamar tamu."
Abizar mengejarnya dan memeluknya dari belakang, "Jangan marah."
"Biarkan aku.. Mau pergi atau mau tinggal di sini, terserah saja.." Runa melepaskan rangkulan Abizar.
Ia melangkah dengan cepat ke dalam kamar tidur dan menutup pintunya.
Abizar meremas tangannya.
Runa akhirnya tahu kelakuanku akhir akhir ini. Hhh..
Abizar mendekat ke arah pintu dan mengetuknya.
Tok, tok, tok....
"Runa, aku masuk," ucap Abizar.
Ia pun membuka pintunya. Runa sedang berbaring menyamping memeluk guling.
"Maafkan aku. Tapi, tidak ada niat untuk melukaimu. Semua karena kesibukanku saja," jelas Abizar.
Runa masih saja diam.
"Jangan diam terus," Abizar menarik nafas panjang.
"Semua perasaan itu kembali. Aku mengingat kegundahanku," Runa menggumam. "Kamu seperti tidak lagi menganggap kita penting. Bahkan, janji yang sudah kita susun sejak lama kamu lupakan."
"Malam itu, aku dinner tanpa kamu di Grande," Runa memejamkan matanya mencoba mengingat kejadian sepuluh hari ke belakang.
Tapi, lagi lagi, air mata mengalir.
"Kamu bisa keluar," Runa menghapusnya. "Biarkan aku sendiri dulu."
Abizar sungguh merasa bersalah melihat air mata tak henti keluar dari mata indah kekasihnya.
"Kamu penting bagiku," Abizar mengelus pipi Runa, "Sangat penting. Aku tidak bisa tanpa kamu."
Runa menatapnya dan berkata tegas, "Kamu bisa.. Sepuluh hari ini tidak ada pesanku yang kamu balas, bahkan tidak ada telepon masuk satu kali pun."
"Ah.. Sudahlah. Biarkan aku sendiri," Runa membalikkan tubuhnya hingga membelakangi Abizar.
Abizar pun berdiri, "Runa, aku akan membuktikannya. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu."
"Tunggu dan aku akan pergi dulu," Abizar hanya bisa menatapnya tanpa bisa berbuat apapun.
Runa hanya diam, tidak menjawabnya sepatah katapun.
"Jangan buka pintu atau angkat telepon dari siapapun kecuali aku," Abizar mengecup pipi Runa, "Aku akan kembali secepatnya dan membuktikan ucapanku."
Abizar melangkah keluar dari kamar Runa, lalu mengambil kunci mobil dan beranjak keluar dari apartemennya.
Trek..
Pintu pun tertutup.
Runa bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke ruang tengah.
"Ka-kamu pergi kemana?" Ia bingung. "Apa yang mau kamu buktikan?"
***
Abizar turun ke basemen tempatnya memarkirkan mobil, namun ada mobil lain yang menghalanginya. Ia menunggu petugas parkir mencari si pemilik mobil.
Ah, aku pesan taksi saja, jangan sampai Runa menunggu terlalu lama.
Ia berlari dengan cepat ke lobi apartemen dan mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online. Tapi ternyata ponselnya low batt dan habis baterai.
Damn!
Tidak ada cara lain, aku gunakan kedua kakiku. Abizar mulai berlari keluar dari kompleks apartemen tempat tinggal Runa. Tujuannya adalah kantornya. Jarak dari apartemen Runa ke kantor kejaksaan sekitar tujuh setengah kilometer.
Lima belas kilometer bulak balik bukan hal sulit. Kamu bisa Abizar!
Ia pun berlari dengan cepat.
Beberapa orang menatapnya dengan keheranan. Mungkin karena lari di sore hari dengan pakaian rapi dan bukan setelan untuk lari. Tapi Abizar tidak peduli.
Sepanjang perjalanan, ia menyadari banyak yang memperhatikannya, tapi ia hanya memikirkan Runa.
Begitu banyak hal mereka lalui. Runa selalu ada di sampingnya dan menjadi sumber motivasinya yang utama.
Sepuluh hari aku menghilang tanpa kabar adalah salah. Tapi, aku bisa menjelaskannya. Kamu akan tahu segalanya setelah sembuh.
Setelah hampir tiga puluh lima menit berlari tanpa henti, ia pun tiba di kantor kejaksaan. Tanpa menyapa dan menoleh pada orang orang yang memperhatikannya, Abizar langsung naik ke lantai lima, tempat ruangannya berada.
Di usianya yang terbilang masih muda, yaitu tiga puluh dua tahun, Radhea Abizar Nuswantara memang memiliki karier moncer. Ia menjadi asisten bidang tindak pidana khusus di Kejaksaan Agung dengan pangkat jaksa utama pratama. Hal ini sejalan dengan cita citanya yang ingin menjadi Jaksa Agung.
"Pak," ada salah satu staf menyapanya.
"Iya," Abizar tidak menoleh dan terus berlari ke arah mejanya berada.
Ia menarik lacinya dan mengambil satu kotak kecil.
Aku akan membuktikan kalau aku serius. Sepuluh hari kemarin bukanlah satu gambaran perasaanku Runa.
Setelah memastikan kotak kecil itu masuk di saku celananya, Abizar kembali berlari keluar dari ruangannya. Tanpa melihat kiri kanan, ia pun keluar dari kantor kejaksaan dan mengabaikan beberapa sapaan yang memanggilnya.
Ah, untung apartemen Runa tidak jauh dari kantorku, berlari pun bisa membuatku cepat kembali lagi. Aku tidak ingin membuat Runa menunggu terlalu lama.
Abizar terus menggerakan kedua kakinya yang begitu panjang dan kokoh. Otot ototnya memang terlatih untuk berlari dengan cepat dan mengatur nafas dengan baik berkat olahraga basket kesukaannya.
Ia tidak terengah sama sekali. Kondisi fisiknya sedang berada di puncak terbaiknya. Bahkan rintik hujan yang mulai turun tidak membuatnya berhenti.
Runa, tunggu aku!
Hingga akhirnya, tepat pada saat hujan deras mulai membasahi jalanan, Abizar tiba di apartemen Runa. Pakaiannya basah, tapi ia tidak peduli. Tangannya berulang kali menyentuh saku celananya dan memastikan kotak kecil itu tersimpan dengan aman.
Abizar naik ke dalam lift dan kembali masuk ke apartemen kekasihnya.
Runa menyambutnya dengan rasa kaget.
"Ke-kenapa kamu basah kuyup begitu?" Runa mengambil handuk dan menyampirkannya di bahu Abizar. Ia juga menggosokkan handuk kecil ke rambut kekasihnya itu.
Abizar tidak menjawabnya dan membawa Runa duduk di sofa. Ia berlutut di hadapan kekasihnya itu.
"Runa, dengarkan aku," Abizar menggenggam tangan kekasihnya dengan erat.
"Sembilan tahun kita bersama. Tidak pernah sekalipun dalam hidupku memikirkan untuk mengenal perempuan lain. Kamu sudah sangat sempurna melengkapi hidupku," Abizar bicara perlahan. "Aku ingin menjalani hari hariku, hanya denganmu."
"Kenapa kamu jadi jago berkata kata begini?" Runa melepaskan genggaman tangan Abizar dan mengusapkan handuk kecil ke rambut lelaki di hadapannya itu. "Aku marah, tapi melihatmu seperti ini..."
"Jangan marah.." Abizar menatapnya.
"Sepuluh hari kemarin bukan gambaran perasaanku," ucapnya.
Abizar mengeluarkan kotak kecil di saku celananya dengan susah payah, akibat pakaiannya yang basah.
Runa langsung membelalak kaget melihat kotak kecil itu.
"Kotak ini sudah aku simpan berbulan bulan," Abizar menatap Runa. "Aku berniat memberikannya saat kasus yang aku kerjakan selesai. Tapi, melihatmu seperti tadi.. Pertengkaran ini, kesalahanku.. Membuatku ingin membuktikan..."
"Aku serius Runa.." Abizar membuka kotak kecil itu.
Satu cincin berlian nan cemerlang langsung membuat Runa terharu.
"Aku mau selamanya denganmu, menikahimu, menjadikanmu istriku," Abizar mengeluarkan cincin itu dan memasukkannya ke jari Runa. "Kamu mau bukan?"
Runa tersenyum, "Kamu sudah memasukkannya ke jariku.. Apa mungkin aku bilang TIDAK dan melepasnya lagi?"
"Indah Abizar," Runa berkaca kaca.
Abizar tersenyum, "Apapun sikapku, cincin ini menunjukkan perasaanku.."
"Kita menikah Runa," tegasnya. "Jangan lagi bersedih karena aku."
Runa mengangguk dan tersenyum.
Abizar menegakkan tubuhnya dan mendekat ke arah Runa. Ia memagut bibir kekasihnya. Keduanya saling berciuman. Awalnya pelan, lama kelamaan semakin cepat.
Tangan Abizar merangkul pinggang Runa dengan erat.
"Soon, I call you my wife.." Abizar menggumam.
Dahi mereka saling melekat, mata mereka saling menatap, senyum bahagia tersungging dari wajah keduanya.