"Selamat, Nyonya. Kau positif hamil," ucap dokter pribadi langganan Xander setelah meminta wanita itu untuk melakukan pemeriksaan tes urin. Meski begitu, Defnie disarankan untuk tetap memeriksakan kandungan ke dokter spesialis.
Bukannya senang, Defnie malah memasang senyum getir diiringi netra yang tiba-tiba menatap kosong ke arah sang dokter.
Beruntung Defnie tidak ada di dalam kamar karena Defnie memintanya untuk tak menginterupsi saat sang dokter memeriksa.
"Dokter ... tolong rahasiakan ini pada kakak iparku," pinta Defnie memohon.
Sang dokter mengerenyitkan dahi seakan keberatan. Bagaimanapun, Xander adalah pelanggan tetap yang loyal—yang pasti akan mempertanyakan perihal kesehatan pasien yang ia mintai tolong untuk diperiksa termasuk kondisi Defnie.
"Uhm ... kau tidak perlu khawatir. Aku, akan memberi kabar ini sebagai kejutan," lanjut Defnie yang sebenarnya berkilah, tak ingin kehamilannya diketahui oleh siapapun.
Sang dokter lantas manut. Tak lama pria paruh baya bergelar dokter umum itu pamit dari hadapan Defnie yang masih dalam posisi duduk setengah berbaring di atas ranjang.
Kau dengar, Ev. Kita berhasil. Kita berhasil memanggil malaikat kecil untuk tinggal diperutku. Tapi ... tapi mengapa kau harus pergi. Bagaimana jadinya malaikat kecil ini tanpa seorang ayah?
Defnie membatin pilu. Di saat bersamaan angannya membawa kembali ingatan saat Evan dan dirinya begitu bersusah payah ingin memiliki momongan.
"Kau siap, Def?" tanya Evan antusias.
"Aku siap. Tapi benda apa yang kau pegang, Ev?"
"Ini adalah convety pesta. Jika kali ini berhasil. Aku akan langsung meniupnya pertanda awal mula aku menjadi calon ayah," balas Evan memamerkan barisan gigi rapi miliknya.
Terhitung empat kali sudah Defnie merasakan gejala seperti wanita hamil selama tiga tahun menikah dengan Evan. Namun, sayang, semua hanyalah false alarm. Dua garis biru pada test pack yang mereka harapkan kerap berujung pada hasil satu garis saja.
"Ya Tuhan, maafkan aku, Ev," cetus Defnie pasrah saat hasil untuk yang kelima kali ternyata tak sesuai harapan.
Meski sebenarnya kecewa pada semesta yang belum mempercayakannya seorang anak, Evan tak ingin memperlihatkan gusar di hadapan istri tercinta. Baginya, Defnie adalah dunianya tanpa malaikat kecil sekalipun.
"Astaga, Def. Kau tidak perlu meminta maaf, Sayang. Kita masih bisa mengupayakannya lagi," balas Evan menenangkan dilema sang istri. "Hmm, mari kita mencoba metode yang sedang viral untuk memancing malaikat kecil ke dalam perut kesayanganku ini."
Kekehan renyah seketika menguar dari belah ranum Defnie, menggantikan kepedihan saat Evan dengan cepat membelokkan topik pembicaraan.
Defnie bersyukur bahwasanya tak pernah ada sedih berkepanjangan selama menjalani pernikahan dengan Evan. Namun, kini. Situasi seolah berkebalikan, puan itu sedang ada di fase sangat rapuh ditambah kondisi kehamilan yang kini harus ditanggung sendirian.
***
Muak dengan isi wasiat yang ditinggalkan mendiang putra bungsunya, Kenan dan Laura memutuskan mendatangi rumah tetua Carson alias rumah ayah Laura.
Kediaman utama yang berada di tengah lahan dua ribu hektar itu memiliki rute cukup jauh dari gerbang. Mobil Kenan dan Laura melewati jalan aspal mulus dalam kawasan yang di sisi kanan dan kirinya tersemat pemandangan kebun buah dan juga hamparan hijau lapangan golf pribadi.
"Kau harus bisa membujuk ayahmu kali ini, Lau. Mengerti?" tegas Kenan seraya mengemudikan mobil.
"Ergh, tanpa kau minta pun aku akan merajuk pada ayah. Tenanglah sedikit, Ken," keluh Laura pada suaminya.
Biasa disupiri, pasangan suami istri itu sengaja datang berdua saja kali ini. Terlalu banyak hal privasi yang mereka bahas sehingga tak ingin siapapun mendengarnya termasuk supir pribadi.
Sesampainya di kediaman utama serupa Mansion tua nan estetik bergaya khas bangunan Eropa lama, Kenan dan Laura langsung disambut oleh asisten pribadi sang tetua. "Selamat datang Tuan dan Nyonya. Tuan Erland sudah menunggu. Mari ikuti saya."
Beberapa saat kemudian.
"Ayah, apa kabar?" sapa Laura pada sosok Erland Carson, pria berusia nyaris kepala enam yang membelakangi sembari duduk santai mengapit cerutu mahal di sela jemari, memandang pada hamparan luas padang golf pribadi.
"Tidak perlu basa-basi, Lau. Katakan niat kalian sampai berani mengganggu sesi berharga bermain golf." Suara bariton Erland membalas to the point. Topi putih khas pemain golf sedikit ia geser untuk mengukur jarak pandang lubang di depan sana.
Giliran Kenan sang menantu yang maju bicara kali ini. Atas nama Laura dan dirinya, ia mengaku kebingungan mengapa Erland sebagai tetua mengabulkan wasiat mendiang cucunya yakni menyetujui saham dan harta atas nama Evan diberikan untuk Defnie. Padahal, Kenan tahu betul bahwa mertuanya tidak menyukai Defnie karena berasal dari kalangan status sosial rendahan. "Kau bisa saja menggugurkan wasiat Evan perihal saham karena kau pengatur utama saham Carson Enterprise, Ayah," lanjut Kenan dengan nada kecewa.
"Mengapa? Kau berharap saham Evan menjadi milikmu?" cemooh Erland seraya tersenyum miring sementara Kenan terlihat gelagapan.
"Uhm ... tidak seperti itu, Ayah. Maksud Kenan adalah Defnie tidak selevel dengan kita," timpal Laura membela suaminya.
"Aku memang tidak menyukai Defnie, tapi aku masih memiliki hati nurani untuk tidak menolak permintaan terakhir Evan. Bagaimana pun dia tetap cucuku." Kedua mata senja Erland yang masih belum melihat ke arah lawan bicara, kini mulai berangan mengingat pertemuan terakhirnya dengan Evan.
"Aku tahu kau dan yang lain tidak benar-benar menerima Defnie. Tapi kumohon, sampai mati aku tidak rela jika Defnie luntang lantung di jalanan. Izinkan wanita yang kucintai hidup bahagia, Kakek."
"Jadi ... apa yang ingin kau sampaikan, Ev?"
"Anggap saja ini permintaan terakhirku. Berikan semua hak atas namaku untuk Defnie dan jika dia menolak, aku akan menyumbangkannya pada yayasan kanker."
Napas yang sempat tertahan akhirnya dihela berat oleh Erland. Meski sebenarnya tak ikhlas, permintaan terakhir Evan yang sedang sekarat membuat hatinya terenyuh. Saat itu juga, Erland memberi akses persetujuan wasiat cucunya.
"Tapi bukankah itu berlebihan, Ayah. Sebuah rumah dan beberapa jumlah uang sudah cukup untuk gembel itu, bukan? Mengapa kau malah menyetujui tanpa berdiskusi padaku?" Laura merajuk kali ini. Namun, Erland masih terlihat santai dan mulai bangkit berdiri, mengambil stick pemukul bola golf.
"Sudahlah, aku benci berdebat. Aku tau kalian berdua akan menghadapku seperti ini," duga Erland terdengar sinis. "Begini saja. Kita tetapkan pada peraturan lama. Hanya jika kalian bisa mendapat gabungan saham mecapai tujuh puluh persen, baru kalian akan mampu mendepak Defnie."
Dengan kata lain, Kenan dan Laura harus mencari gabungan saham murni sebanyak sepuluh persen lagi untuk bisa menjadikan saham keduanya tujuh puluh persen guna menyingkirkan Defnie dari bursa pemegang saham.
Namun, sayang. Biasanya tak ada perusahaan yang mau menanam saham lebih dari lima persen hanya berdasarkan kerjasama biasa.
Sial! Tidak ada cara lain selain yang satu itu. Tunggu, Defnie. Aku pasti akan menyingkirkanmu.
Kenan membatin kesumat sembari terlintas sebuah cara yang ia asumsikan ampuh menyingkirkan mantan menantunya itu.