D*da Laura bergejolak panas tak berkesudahan setelah pembacaan wasiat mendiang Evander beberapa waktu yang lalu. Rautnya kentara gusar hebat. Hanya kegiatan mondar-mandir resah yang ia lakukan sedari tadi.
"Ada apa kau memintaku pulang di jam kerja, Lau?" tanya Kenan yang baru saja memunculkan presensi. Ia kesal karena sang istri tiba-tiba memintanya pulang segera di tengah jam kerja.
"Aku sudah bilang ini penting, Ken. Mengapa kau tidak langsung bergegas pulang. Sudah dua jam aku menunggu." Laura malah memprotes balik suaminya.
Astaga! Aku yang sudah dia ganggu tapi mengapa dia yang marah? Dasar istri cerewet dan pengatur. Awas saja kau jika melewati batas, Laur.
"Ya sudah cepat katakan! Aku malas ribut-ribut denganmu." Kenan memutar bola matanya dan segera mengambil posisi duduk di salah satu sofa ruang kerja itu.
"Ini gawat, Ken. Aku sudah berbicara dengan pengacara tentang saham dan peninggalan Evan," ungkap Laura resah.
"Ada apa? Bukannya sudah jelas semua itu akan pindah ke saham bagianku sebagai ayahnya?"
"Tidak." Laura cepat-cepat menyanggah.
"Maksudmu?"
"Nathan diam-diam membuat wasiat dan sekongkol dengan ayah memindahkan peninggalannya atas nama Defnie."
"APA? Kau pasti bercanda, 'kan?" Kenan tersentak tak percaya.
Namun, ia tahu bahwa istrinya tak mungkin main-main apalagi menyangkut segala hal tentang uang. Pasangan suami istri itu bagai partner in crime jika sudah menyangkut harta benda.
"Mana mungkin aku main-main, Ken." Laura menggerutu tak kalah kesalnya.
"Bukankah ... ayah mertua juga tidak menyetujui pernikahan Evan dan Defnie? Tapi ... mengapa dia mengabulkan wasiat Evan?" Tubuh Kenan kini lemas diikuti raut yang berubah pucat.
Bahkan di pikirannya terbayang saat rapat dewan direksi pemegang saham nanti, Defnie akan berada di sana menggantikan Evan sebagai salah satu pemegang saham. Hanya membayangkan saja seluruh bulu kuduk Kenan bergidik jijik. Tidak mungkin dia menerima sosok rendahan seperti Defnie duduk sepadan dengannya dan juga para direksi.
"Ini tidak boleh terjadi, Lau. Kita harus melakukan sesuatu."
"Tapi kau tau ayah bagaimana, 'kan? Dia terkadang netral apalagi jika menyangkut Evan. Tidak seperti keluarga Carson yang lain," sanggah Laura.
"Aku akan pikirkan ini. Kalau perlu, aku akan menggunakan cara kotor," imbuh Kenan terdengar kesumat.
"Jangan, Ken. Kita harus mencari celah dulu. Terlebih, Xander pasti memihak penari bar murahan itu," cegah Laura.
Kenan sontak terdiam sejenak, terlihat mempertimbangkan saran dari istrinya.
"Baiklah. Jika sudah tidak ada yang ingin kau katakan. Aku akan pergi lagi."
"Tunggu. Kau tidak makan siang denganku?" tawar Laura sebelum suaminya berlalu.
"Ini hampir sore, Lau. Aku masih ada meeting penting."
"Tapi—"
Tanpa menggubris ucapan Laura lagi, langkah Kenan melesat begitu saja meninggalkan sang istri yang terpaku di tempat.
"Padahal aku hanya ingin makan siang berdua saja denganmu. Tapi, belakangan waktumu tersita lebih banyak di luar," gerutu Laura dalam hati.
***
Keesokan harinya.
Defnie terbangun seraya merasakan gejolak mual di perutnya. Beberapa kali suara khas muntah menguar di kamar mandi kamarnya. Namun, hanya saliva bening yang keluar dari belah ranumnya.
"Ergh. Apakah fase ini sudah dimulai?" gumamnya bermonolog dengan tubuh terhuyung lemas keluar dari kamar mandi.
"Apa yang sudah dimulai, An?" tanya Xander yang ternyata sudah ada didalam kamar tidur Defnie.
"Kak Xan ...." Seketika, Defnie gugup, tubuhnya membeku tak tahu seraya netra mnegerjap beberapa kali.
Kak Xander tidak boleh tahu apa yang sedang kualami.
"Apa yang kau lakukan, Kak? Mengapa kau menyeruak masuk ke kamarku? Bagaimana jika aku sedang tidak memakai apa-apa?" protes Defnie yang sebenarnya mengalihkan topik pembicaraan, berharap atensi Xander teralih.
"Aku sudah mengetuk pintu, tapi aku malah mendengar kau seperti sedang muntah-muntah. Ada apa denganmu, Def? Kau sakit?"
Belum sempat merespon, tubuh kekar Xander yang sudah mengenakan kemeja dan jas kekinian berwarna cream melesat mendekati Defnie.
"Kau pucat, Def." Tanpa izin pundak tangan Xander menyentuh bagian dahi mantan adik iparnya, meraba suhu di sana takut-takut Defnie memang sedang demam.
"Hentikan, Kak. Aku baik-baik saja. Mungkin semalam aku lupa makan," kelit Defnie mengibas tangan Xander dengan sopan.
Namun, tak berhenti sampai di sana, Xander melanjutkan aksi dengan tiba-tiba menggendong tubuh langsing Defnie ala bride style. "Kau sakit, Def. Dahimu nyaris mendidih masih saja kau mengelak." Sempat bertatap intens, Defnie membuang pandangan sedangkan Xander membawa tubuh langsing itu dibaringkan di atas ranjang.
"Aku akan memanggil dokter," tegas Xander mengambil ancang-ancang beranjak setelah membaringkan Defnie.
Namun, dengan cepat tangan Defnie sukses menggapai telapak tangan Xander. "Tidak perlu, Kak. Sungguh, aku mungkin hanya kelelahan saja," cegah Defnie memohon sembari memperlihatkan netra khas puppy eyes andalan.
Sayangnya, Defnie tak tahu betapa besarnya rasa khawatir Xander. Sekalipun dicegah, Xander tak menyerah begitu saja. Memastikan Defnie sehat adalah prioritasnya sekarang. Pria itu lantas merogoh ponsel menggunakan tangan satunya segera men-dial nomor ponsel dokter pribadi.
"Dokter Shin, aku membutuhkanmu," ucap Xander sesaat setelah panggilannya terhubung.
"Ergh ... kau benar-benar kakak ipar yang keras kepala." Defnie menyerah karena Xander lebih kerasa kepala darinya. Tangan Defnie lantas terkulai lemas.
Namun, saat hampir melepaskan tangan yang ditautkan di telapak Xander, Ana merasakan sesuatu seperti menahannya. Tanpa dapat diprediksi, jemari Xander dengan cepat masuk ke sela jemari Defnie dan kemudian menggenggamnya erat. Genggaman yang sontak membuat aliran darah Defnie berdesir hebat.
Netra puan itu pun kemudian membulat sempurna pada aksi tak terduga mantan iparnya. Perlahan, tatapan nanar mulai Defnie alihkan pada sosok pria beraut tegas nan tampan yang masih melakukan panggilan telepon itu.
Genggaman ini ... mengapa Kak Xander menggenggam jemariku seperti yang selalu Evan lakukan?
Angan Defnie lantas melambung pada ingatan masa lalu dimana mendiang suaminya sering melakukan aksi menggenggam jemari sang puan ketika menerima panggilan telepon.
"Dokter Shin akan segera datang, Def. Beristirahatlah. Akan kubawakan termometer dan kompres."
Xander melepaskan pertautan jemari lalu kemudian mengusap singkat surai Defnie sebelum akhirnya beranjak.
Di sisi lain.
Kau sudah gila, Xander. Mengapa kau menggenggam jemari Defnie? Bagaimana jika dia ketakutan lalu meminta pindah dari sini. Aku hanya tidak ingin sesuatu buruk terjadi padanya di luar sana.
Di luar dugaan, Xander pun ternyata tak kala gugup dan menyalahkan diri atas aksi lancangnya terhadap Defnie. Pria itu lantas mengusak rambutnya kasar.
Vico benar, aku hampir tidak bisa menahan diri jika menyangkut tentang Defnie. Aku harus menjaga jarak mulai sekarang.
Xander kembali membatin resah seraya meneguhkan hati meskipun sebenarnya ia tak yakin mudah menjaga sikap jika berada di sekitar Defnie, sebisa mungkin pria itu akan mencoba bersikap sewajarnya pada mantan ipar yang kini tinggal satu atap.