KELUARGA DAMAR

1470 Kata
“...Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui sedang kalian tidak mengetahui.”  (Q.S Al- Baqarah : 216 )             Damar sedang duduk termenung di depan rumahnya, hatinya masih merasakan debaran sang cupid yang telah membuatnya melakukan sesuatu yang sesungguhnya bukanlah sifat seorang Damar. Untuk sesaat, lelaki pemalu yang suka menutup diri itu menjadi kehilangan logikanya ketika tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri dan menghampiri seorang gadis yang baru dia temui hari ini. Dasyatnya lagi, dia mengajukan sebuah lamaran yang sampai saat ini masih digantung jawabannya. Hal itu membuat hatinya menjadi resah dan sedikit gelisah.             Kyai Ramli selaku ayah Damar pun menangkap keresahan yang ditunjukkan oleh putra bungsunya. Dengan pelan, lelaki paruh baya yang baru saja datang dari langgar itu berjalan mendekat dan duduk di samping anaknya. Untuk beberapa saat Kyai Ramli hanya diam, membiarkan Damar larut dalam lamunannya.             “Damar,” panggil Kyai Ramli sembari menyentuh sedikit pundak Damar.             Damar yang memang sedang melayang pikirannya terperanjat kaget dan segera mencoba menguasai dirinya tatkala mengetahui bahwa ayahnya sudah duduk di sampingnya tanpa ia sadari.             Kyai Ramli tersenyum tipis, mencoba menerka apakah gerangan yang tengah dipikirkan oleh anaknya.             “Ada apa, Damar?” tanya Kyai Ramli mencoba mencari jawaban atas keingintahuan yang tengah dirasakannya.             Damar hanya tersenyum, tidak memberikan sebuah jawaban.             “Ada yang tengah kamu pikirkan?” tanya Kyai Ramli sekali lagi.             Lagi-lagi Damar hanya tersenyum. Pemuda itu hanya mendongakkan kepalanya, menatap langit malam.             “Ah, betapa indahnya langit malam ini, Ayah!” gumam Damar.             Kyai Ramli yang mendengar gumaman anaknya menautkan alisnya. Bibirnya hendak tergerak, menanyakan sebuah pertanyaan besar yang ada di pikirannya saat ini.             “Ayah, Rafli, Jaka, Damar, ayo makan! Ke ruang makan segera ya!”             Teriakan itu membuat Kyai Ramli mengurungkan niatnya, lelaki itu kembali mengatubkan bibirnya rapat-rapat.             “Ayah, Ibu sudah memanggil. Mari kita makan!” ajak Damar lalu bangkit dari duduknya.             Kyai Ramli mengangguk.             “Duluan saja kesana, ayah menyusul!” sahut kyai Ramli.             Damar mengangguk. “Baiklah,” Damar pun beranjak dari duduknya lalu melangkah pergi ke ruang makan. Sementara itu Kyai Ramli menghela napas panjang. Lelaki itu menatap langit di atasnya. “Langit begitu gelap malam ini dan sepertinya akan segera hujan, lalu dimana keindahan langit yang Damar utarakan barusan?” gumamnya merasa heran. ***             Semua telah berkumpul di ruang makan, tengah menyantap hidangan mereka dengan nikmat dan penuh syukur. Makanan telah habis dan piring telah dibereskan, keluarga kecil itu pun masih duduk di meja makan, menurunkan nasi yang masih dalam perut sembari mengobrol, menanyakan aktivitas hari ini. Ini memang sudah kegiatan rutin keluarga kecil itu. Sebagai sebuah metode pendekatan, begitulah alasan kyai Ramli ketika salah satu anak lelakinya bertanya mengapa mereka tidak langsung bubar setelah makan malam.             “Bagaimana pekerjaanmu di kantor, Rafli?” tanya Kyai Ramli pada putra sulungnya.             “Alhamdulillah lancar, Yah!” jawab Rafli. Mohammad Rafli, anak tertua yang bekerja sebagai seorang pengusaha properti. Usianya telah mencapai 35 tahun, masih lajang. Kepribadiannya baik, tegas dan menyenangkan. Belum menikah karena terlalu fokus pada pekerjaan. "Kapan kamu akan menikah, Rafli?" tanya Dahlia, ibunda Rafli. Rafli terbatuk mendengar pernyataan ibundanya. "Rafli masih belum mau menikah, Ibu!" sahut Rafli sembari tersenyum tipis. "Lalu kapan kamu akan menikah anakku?" tanya Dahlia lagi dengan sedikit kesal. "Jika sudah waktunya, Ibu!" jawab Rafli dengan santai. Dahlia menekuk wajahnya. "Waktunya itu kapan? Ibunda sudah ingin menimang cucu. Anak lelaki tiga tetapi belum ada satupun yang menikah!" gerutu Dahlia kesal. Kyai Ramli yang melihat kekesalan di wajah istrinya pun berusaha menengahi. "Jangan merasa kesal begitu, Sayang. Biarlah anak-anak kita sendiri yang memutuskan kapan mereka akan menikah. Jangan kamu paksakan kehendakmu!" nasehat Kyai Ramli. Dahlia terdiam mendengar nasehat sekaligus teguran dari suaminya itu. "Kalau kamu Jaka? Masih belum berniat menikah juga?" tanya Dahlia setengah menyindir. Wanita itu kini beralih menatap putra keduanya. Jaka Laksana Agung yang disindir pun hanya tersenyum, menunjukkan deretan serangkaian giginya yang putih. "Jaka masih belum bekerja ibu, mau Jaka nafkahi apa istri dan anak Jaka nanti?" jawab Jaka dengan tenang. Dahlia sekali lagi menekuk wajahnya, kecewa. "Itu salahmu yang keluar dari pekerjaanmu. Kamu sudah nyaman menjadi pegawai Bank, tetapi baru sebulan keluar. Kamu tidak berniat bekerja tidak?" sanggah Dahlia. Jaka terkekeh pelan mendengar pernyataan ibundanya. "Bukan begitu, Bu. Hanya saja Jaka merasa pekerjaan itu tidak cocok untukku!" sahut Jaka masih dengan sikap tenangnya. Jaka Laksana Agung, lelaki tenang dan tampan yang masih berusia 30 tahun. Pernah bertunangan tiga kali tetapi gagal semua. Sama halnya dengan kisah cintanya, masalah pekerjaan juga tidak berjalan lancar. Sudah empat kali berhenti dan keluar pekerjaan karena merasa tidak cocok. "Sudahlah, Jaka masih mencari jati dirinya!" sekali lagi Kyai Ramli mencoba melerai perdebatan antara istri dan anak keduanya. Bu Dahlia hanya terdiam, mencoba meredakan kekesalan dalam hatinya. "Jati diri? Jaka sudah dewasa, sudah waktunya dia menikah!" gerutu Dahlia pelan. "Sudahlah, dia akan menikah jika sudah waktunya," kata Kyai Ramli lembut. Dahlia hanya menghela napas panjang. "Kalau ibunda sudah tidak sabar, bagaimana jika Damar saja yang menikah lebih dulu?" usul Jaka. "Heh?" Dahlia menautkan alisnya lalu mengarahkan pandangannya pada Damar. "Jangan bercanda, Damar baru wisuda setahun lalu dan masih jadi guru honor di SMA." kilah Dahlia. "Kenapa tidak? Dari kami bertiga bukankah dia yang selalu mau menuruti perintah Ibu dengan segera?" Rafli menimpali. Dahlia hanya diam, menatap Damar yang hanya diam saja sejak tadi. Damar memang tipe lelaki yang pemalu dan sedikit bicara. "Kalian ini, Damar ini anak ibu yang paling enggan bicara dengan wanita. Bagaimana bisa dia menikah lebih dulu padahal yang pandai bicara seperti kalian saja belum?" kilah Dahlia merasa ragu. Kyai Ramli yang mendengar pendapat istrinya hanya tersenyum. "Boleh jadi yang pendiam itu lebih berani dari yang kita perkirakan sayang, benar bukan Damar?" tanya Kyai Ramli bermaksud menggoda anak bungsunya. Damar hanya diam, bukan mengabaikan pertanyaan ayahnya tetapi merasa bingung karena tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan semacam itu. "Damar, mau kakak jodohkan dengan adik dari teman kakak?" tanya Rafli menawarkan. Damar menggeleng tegas. "Tidak usah, Kak!" jawabnya dengan sopan untuk menolak penawaran dari Rafli. "Lihat? Damar saja enggan aku jodohkan, Bu. Kami bertiga belum mau menikah, Ibu." Jaka berpendapat. "Benar, kami masih ingin fokus pada pekerjaan kami." Rafli menimpali. "Selalu saja pekerjaan menjadi alasan. Tidak tahukah kalian kalau pernikahan itu membuka pintu rejeki?" tanya Dahlia setengah menyindir, tidak mau kalah dengan anak-anaknya. Rafli dan Jaka hanya diam, enggan berdebat lagi dengan ibunya. Karena apa yang ibundanya katakan barusan memang benar adanya. Sebenarnya alasan mereka belum menikah bukanlah karena pekerjaan semata, tetapi mereka belum menemukan seorang wanita yang membuat mereka berkeinginan untuk melepas masa lajang. Drt.. Drtt.. Handphone Damar bergetar, lelaki muda itu pun mengambil handphone dari kantong baju Taqwanya dan melihat siapa yang mengirim pesan. Damar tersenyum setelah membaca pesan itu. Lelaki itu memandang ibundanya dengan bahagia membuat Dahlia terheran-heran. Demikian pula kyai Ramli dan kedua kakak lelakinya. "Ada apa, Mar?" tanya Rafli. "Iya, mengapa kamu tersenyum begitu?" tanya Jaka penasaran. "Ada berita gembira?" tebak Dahlia. Damar mengangguk kecil sembari tersenyum. "Alhamdulillah, Bu. Damar akan segera mewujudkan keinginan ibunda," jawabnya dengan suara gemetar karena terlalu bahagia dan sedikit tidak percaya. "Maksudmu kamu akan segera menikah?" tanya Rafli menanyakan maksud ucapan Damar, adik bungsunya. "Menikah sungguhan?" tanya Jaka tidak percaya. Damar mengangguk mengiyakan. "Menikah dengan seorang wanita?" tanya Jaka lagi yang langsung disambut cubitan gemas dari ibundanya. "Aw, sakit Bu!" rintih Jaka. "Apa maksud pertanyaanmu itu? Tentu saja Damar akan menikah dengan seorang wanita!" Dahlia menegaskan. "Jaka hanya menggodanya, Ibu! Bercanda!" sanggah Jaka. "Candaanmu tidak lucu." sergah Bu Dahlia. "Maaf," ujar Jaka merasa bersalah. "Jadi, apa benar ucapanmu itu anakku?" tanya Kyai Ramli. Damar mengangguk sekali lagi. Lelaki muda itu meletakkan handphonenya di tengah meja, menunjukkan pesan yang baru saja dia dapatkan dari Silvi. Silviana Gunarsih Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Mas Damar, terkait dengan lamaran mas Damar tempo hari, Silvi sudah memikirkannya dengan matang dan memiliki jawabannya. Bismillah, Silvi menerima lamaran mas Damar. Semoga mas Damar segera mempercepat proses lamaran sehingga niat ini bisa segera terlaksana. Jaka dan Rafli terdiam, masih terkejut dengan berita gembira dari Damar. Mereka masih belum percaya walaupun sudah melihat sendiri pesan dari Silvi, calon istri dari adik bungsu mereka. "Kamu kenal dengannya dimana, Damar?" tanya Jaka. "Di kafe, Mas!" "Kapan?" tanya Rafli. "Tadi, Kak!" "Dan kamu langsung melamarnya?" tanya Kyai Ramli. Damar mengangguk. "Iya dan alhamdulillah diterima," sahut Damar dengan senyum cerah. Dahlia tidak bisa berkata apa-apa, hanya menangis dengan penuh rasa syukur seraya melantunkan tahmid berulang-ulang kali. Rafli dan Jaka menghela napas panjang. Keduanya tersenyum tipis seraya menatap Damar. "Ternyata benar kata pepatah," gumam Rafli. "Kenapa?" tanya Jaka. "Air tenang itu menghanyutkan," sahut Rafli yang langsung disambut tawa Jaka dan kyai Ramli. Damar hanya tersenyum sembari terus memandang pesan Silvi. Lelaki itu pun mengetikkan pesan balasan. Me Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, terimakasih, Dek. Secepatnya mas Damar akan berkunjung ke rumah adek untuk meneruskan niatan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN