SYARAT

1397 Kata
“Wanita-wanita yang kotor adalah untuk lelaki yang kotor dan lelaki yang kotor untuk wanita yang kotor. Dan wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik...” ( Q.S An-Nur : 26 ) Damar, Silvi dan Bunda sudah berada di kafe. Hari ini Silvi sengaja mengajak Damar untuk bertemu, ada sesuatu yang harus dia katakan sebelum pertemuan antar keluarga dilaksanakan. Awalnya Silvi ingin berdua saja bertemu dengan Damar tetapi Bunda memaksa ikut. Pertempuran mereka dimenangkan oleh Bunda dengan mutlak sehingga Silvi mau tidak mau harus membawa Bunda pada pertemuan pentingnya dengan Damar, calon suaminya. “Silvi hendak mengajak mas Damar bertemu Bunda,” kata Silvi mengemukakan maksudnya tadi malam. “Hendak kau temui dengan siapakah Damar?” tanya Bunda. “Sendiri, Bun!” jawab Silvi. “Mengapa sendiri? Tidak bisakah Firda menemanimu?” tanya Bunda, ada sebuah kecemasan di wajah wanita paruh baya itu. “Firda harus menjaga anaknya, Bun!” jawab Silvi menjelaskan. “Tidakkah kamu sudah mengetahuinya secara jelas anakku? Jika agama kita melarang seorang gadis berdua-duaan di tempat sepi dengan seseorang yang bukan mahramnya?” ujar Bunda. Silvi mengangguk. “Silvi paham betul soal itu, tetapi mengapa demikian, Bun?” tanya Silvi. Bunda menarik napas panjang lalu membelai lembut kepala Silvi yang tertutup jilbab panjang. “Karena yang ketiga adalah setan, Sayang,” jawab Bunda. “Begitukah?” Bunda mengangguk. “Begitulah,” “Tapi, Bun. Kami tidak berduaan di tempat sepi, kami bertemu di kafe pada siang hari. Ada banyak orang di sana.” Silvi mencoba meyakinkan bundanya. “Walaupun demikian, demi Allah bukannya Bunda tidak mempercayai Silvi, hanya saja Bunda khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak-tidak.” Bunda menundukkan kepalanya, ada guratan kecemasan yang kian membesar di wajahnya. “Yang tidak-tidak bagaimana, Bun? Bunda tidak percaya pada Silvi? Silvi ini selalu menuruti kata Bunda selama 23 tahun ini, Silvi bahkan tidak pacaran.” Silvi bersikeras. “Tidak, bukan begitu. Bunda hanya mengkhawatirkanmu. Bunda khawatir kalau pertemuanmu dengan Damar akan menjadi taladzdzudz ( melihat dengan menikmati dan bersyahwat pada lawan jenis yang bukan pasangannya secara syah).” “Astaufirullah. Tidak terbesit sedikitpun niatan Silvi untuk itu, Bunda. Tetapi jika Bunda begitu khawatir, maukah Bunda menemani Silvi menemui mas Damar besok?” tanya Silvi sengaja mengalah untuk menghilangkan kekhawatiran Bunda. Bunda tersenyum tipis. “Jika Silvi tidak keberatan, Bunda bersedia,” jawab Bunda senang. Silvi tersenyum lalu memeluk Bunda. “Silvi sayang Bunda,” Bunda membalas pelukan Silvi. “Bunda juga teramat menyayangimu, anakku!” “Jadi, kamu yang namanya Damar?’ tanya Bunda sembari mengamati Damar yang sejak tadi hanya diam, gugup karena menemui calon mertua untuk pertama kalinya. “I-iya, Tante!” sahut Damar terbata, pemuda itu tidak sanggup menyembunyikan rasa gugupnya. Bunda tersenyum tipis. “Damar pernah pacaran?” tanya Bunda. Damar yang ditanya begitu seketika langsung menggeleng tegas. “Tidak pernah, Tante!” jawabnya. Bunda tersenyum. “Mengapa?” tanya Bunda lagi. “Karena saya takut,” jawab Damar sembari menundukkan kepalanya lebih dalam. “Kenapa?” tanya Bunda sekali lagi membuat Silvi yang sedari diam mencolek pelan lengan Bunda. Bunda hanya menoleh sebentar pada Silvi dan mengkerutkan dahinya. “Kenapa? Bunda kan hanya bertanya,” ujar Bunda. Silvi hanya menghela napas panjang. “Silvi mengajak mas Damar bertemu bukan untuk diinterograsi begini, Bunda!” kata Silvi mencoba menghentikan Bundanya yang selalu mengajukan banyak pertanyaan jika sudah penasaran pada sesuatu. Damar yang mendengar ucapan Silvi seketika mengangkat kepalanya. “Tidak apa-apa, Dek! Mas Damar akan menjawab apapun pertanyaan dari Bundamu jika itu bisa meyakinkannya untuk menyerahkan putrinya untuk kupersunting,” kata Damar dengan yakin. Bunda mengerutkan keningnya, wanita paruh itu merasa heran karena Damar bisa bicara selancar itu padahal sejak tadi calon menantunya itu hanya menundukkan kepalanya. Senyum Bunda terkembang dan perlahan hatinya merasa lega. “Jika begitu, bisa kamu mulai dengan memperkenalkan dirimu?" tanya Bunda. Damar tersenyum lalu mengangguk mantap. "Nama saya Ragata Damar Laksana, Tante. Saya kelahiran Jakarta, 23 Mei 1994. Saya berasal dari keluarga sederhana dengan satu ayah, satu ibu dan 2 saudara lelaki. Saya lulusan sarjana S1 Bahasa Inggris dan saat ini sedang menjadi guru honor di salah satu SMAN," kata Damar menjelaskan secara singkat tentang dirinya. "Hafal Al-qur'an?" tanya Bunda. Damar hanya tersenyum kecil. "Insya'allah sudah menguasai walau belum sepenuhnya, masih 27 juz, Tante~" jawab Damar. Bunda menaik-turunkan kepalanya. "Bisa kamu bacakan beberapa ayat sekarang?" tantang Bunda. Wajah Damar seketika memerah karena ditantang oleh Bunda. Pemuda itu tidak percaya diri dengan tajwid bacaan Al-qur'annya. "Bunda apaan sih, kok malah kayak seleksi gini?" protes Silvi. Bunda hanya melirik sebentar ke arah Silvi. "Tentu saja ini proses seleksi. Bagaimana bisa bunda menyerahkan putri Bunda pada seorang lelaki yang membaca Al-qur'an dengan benar saja tidak bisa?" sergah Bunda membuat Silvi hanya bisa diam, enggan membantah. "Jadi, apa kamu sanggup?" tantang Bunda sekali lagi. "Damar coba, Tante!" jawab Damar. Pemuda itu pun mulai membacakan beberapa ayat Al-qur'an dari surat Ar-Rahman. Silvi dan Bunda yang mendengar suara lantunan ayat Al-qur'an dari mulut Damar seketika terdiam. Suara merdu yang begitu menyejukkan hati itu telah membuat hati mereka tersentuh. Tanpa sadar Bunda meneteskan airmatanya. "Masyaallah, suaramu begitu merdu, anakku!" puji Bunda yang seketika membuat Silvi dan Damar tersentak kaget. "Bun, mas Damar belum jadi menantu bunda!" pekik Silvi tertahan. Bunda hanya senyum lebar. "Kalau calonmu ganteng dan alim begini, bunda sih yes dan langsung tak labeli menantu!" ujar Bunda lantas tertawa. Silvi yang mendengar ucapan Bunda hanya tersipu malu. "Ih Bunda apaan sih," ujar Silvi. Damar yang mendengar ucapan Bunda itu hanya menghela napas lega seraya mengucapkan tahmid dalam hatinya. Bebannya terasa diangkat karena sudah berhasil meluluhkan hati ibu dari calon istrinya. "Ah, maaf jika saya mengganggu. Tetapi Dek, bukankah kamu bilang ada yang ingin kamu sampaikan padaku?" tanya Damar membuat Silvi tersadar. "Ah, iya," ujar Silvi. Gadis itu memperbaiki letak duduknya lalu mulai berbicara setelah memantapkan hatinya. "Begini mas,  Silvi ini bukan orang Jakarta asli," terang Silvi. "Silvi orang Madura, Mas. Orang Sumenep tepatnya," imbuh Silvi kemudian. Damar mengangguk kecil. "Iya, lalu?" tanya Damar sekali lagi, belum memahami apa yang Silvi sedang jelaskan. "Apakah keluarga mas Damar bisa menerima Silvi?" tanya Silvi pelan. Damar mengerutkan keningnya. "Begini, nak Damar," Bunda mulai angkat bicara. "Dulu Silvi pernah menjalani ta'aruf dengan seorang lelaki. Namun ta'aruf mereka hanya berlangsung selama beberapa jam saja. Karena lelaki itu membatalkan niatannya untuk mengenal Silvi lebih jauh lagi." Bunda menjelaskan. "Mengapa begitu, Tante?" tanya Damar. Bunda hanya tersenyum. "Keluarganya tidak menyukai seseorang yang memiliki darah orang Madura, Mar!" jawab Bunda. "Mengapa?" tanya Damar lagi. "Karena mereka menganggap bahwa orang Madura itu keras dan kasar!" jawab Bunda. Damar tersenyum kecil. "Tenang saja, Dek! Keluarga mas Damar tidak memandang seseorang dari darah keturunannya, tetapi dari agamanya." Damar mencoba meyakinkan Silvi. "Rasanya tidak adil jika aku menjudgemu sebagai pribadi yang kasar dan keras dari darah keturunanmu. Sejujurnya, aku melamarmu karena rasa kagumku padamu yang tidak pernah pacaran." Damar menimpali. "Heh? Jadi mas mendengar percakapanku dengan Firda?" tanya Silvi. Damar mengangguk. "Iya, aku minta maaf sudah menguping pembicaraanmu. Tetapi aku tidak bermaksud melakukannya, aku hanya merasa tertarik mendengarnya saat kudengar kamu ogah pacaran. Saat itu aku bertanya, mengapa kamu berprinsip begitu dan saat kudengar alasanmu, entah mengapa hatiku tersentuh dan ingin melamarmu!" jawab Damar panjang-lebar. Bunda yang mendengar penjelasan Damar seketika tertawa membuat Silvi dan Damar menoleh pada Bunda dengan perasaan heran serta bingung. "Ada apa, Bun?" tanya Silvi. "Ada yang salahkah di ucapan Damar, Tante?" tanya Damar. Bunda hanya menggeleng pelan. "Tidak, hanya saja Bunda merasa kalau ucapan almarhum ayahmu benar, Silvi!" jawab Bunda. "Ucapan ayah? Yang mana?" tanya Silvi penasaran. "Jika jodoh bisa ditemukan dengan pacaran, mengapa Allah Subhanallahu wa Ta’ala melarangnya? Begitulah yang ayahmu sampaikan saat Bunda bertanya mengapa dia melamar Bunda tanpa mengajak Bunda pacaran lebih dulu," Silvi terdiam. "Ya, Bunda bertemu ayahmu saat kami di pondok Pesantren dan beliau langsung melamar Bunda keesokan harinya. Saat bunda tanya mengapa dia tidak mengajak bunda pacaran dulu, ayahmu menjawabnya dengan pertanyaan seperti itu," terang Bunda. Bunda menarik napas panjang lalu mengarahkan pandangannya pada Damar. "Terimakasih, Mar!" ucap bunda sungguh-sungguh. "Untuk apa, Tante?" tanya Damar heran. "Karena sudah memenuhi syarat," ucap bunda. Damar menautkan alisnya, bingung. "Ah, tidak usah dipikirkan! Mari kita rencanakan saja proses lamaran kalian!" ujar Bunda mengalihkan pembicaraan. Damar mengangguk mengiyakan. Kamu sudah mencintai putriku dengan mengikuti tata cara syariat Damar, dan tidak ada yang lebih baik dari itu sebagai syarat utama untuk menjadi menantuku, ujar Bunda dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN