HARAPAN

1915 Kata
“Allah’ Azza Wa Jalla Berfirman,’Mereka yang saling mencintai karena KeagunganKu mempunyai mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan oleh para Nabi dan para Syuhada’.”  ( H.R At Tirmidzi dari Mu’adz ibn Jabal ) Damar berjalan pelan memasuki ruang guru. Wajahnya berseri-seri karena akan segera mempersunting seorang wanita yang sudah memikat hatinya. Damar duduk di bangkunya dan segera mempersiapkan dirinya untuk mengajar di jam pertama. “Pak Damar,” Panggilan itu membuat Damar menoleh. Seorang wanita berdiri di depan Damar dengan tersenyum tipis. “Ya, Bu Heny?” sahut Damar sembari menundukkan sedikit pandangannya. “Pak Damar ada waktu nanti sore? Bisa makan bareng?” tanya Heny. Damar hanya terdiam, enggan menanggapi. “Bisa? Saya ingin sekali mentraktir bapak,” bujuk Heny lagi. “Janganlah kamu ganggu Damar, Heny. Dia tidak tertarik padamu!” celetuk seorang lelaki berpakaian olahraga. “Pak Hendy ini, jangan bilang begitu! Apa salahnya? Pak Damar single, saya juga single pula,” sanggah Bu Heny. “Iya, tetapi kira-kira napa, masak wanita yang mengejar lelaki?” sergah Hendy. Heny menekuk wajahnya dengan kesal. “Emang apa salahnya? Sekarang zaman Emansipasi, wanita dan lelaki memiliki hak yang sama,” kata Heny mengajukan alasan. “Emansipasi bukan alasan untuk menyamakan kodrat, hanya memberikan sebuah kesempatan untuk kaum wanita agar bisa memperolah pendidikan sehingga bisa mengembangkan dirinya di zaman globalisasi. Kamu kan guru Sejarah, memangnya kamu tidak pernah membaca latar belakang emansipasi?” sanggah Hendy yang membuat Heny seketika diam karena tidak bisa membantah apa yang baru saja Hendy katakan. “Sudah jangan bertengkar di pagi hari yang cerah begini,” tegur Hodri, seorang lelaki paruh baya yang sudah memasuki usia senja. Usianya sudah memasuki lima puluh enam tahun dan akan segera pensiun. Damar, Heny dan Hendy seketika menoleh pada Hodri. Hodri yang ditatap oleh tiga orang hanya tersenyum tipis. “Seorang wanita mengejar lelaki itu tidaklah dilarang, beberapa syuhada pernah melakukannya seperti istri Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wassalam, Siti Khadijah yang melamar Nabi lebih dulu. Namun, ada sesuatu yang harus digarisbawahi, baik mau lelaki atau wanita lebih dulu yang maju, mereka harus mengikuti tata cara yang sudah diajarkan oleh agama,” terang Hodri membuat Heny hanya tertunduk, merenungkan perbuatannya. “Maaf,” ucap Heny pelan. “Janganlah terlalu lama menyalahkan diri sendiri, hanya benahi diri setelah menyadari kesalahan. Itu lebih baik daripada sekadar berucap salah tetapi masih melakukan kesalahan yang sama.” Nasehat Hodri dengan lembut. “Maaf.” Damar yang sejak tadi diam akhirnya mengeluarkan suaranya. Hodri, Hendy dan Heny menautkan alis mereka seolah merasa heran untuk siapakah kata maaf itu ditujukan. “Maaf jika saya terkesan memberikan harapan padamu, Bu Heny karena saya selalu diam setiap kali anda mendekati saya. Saya sungguh berterimakasih karena anda menyukai saya, tapi.” Damar menggantungkan kalimatnya.             “Hah? Siapa yang menyukai bapak? Saya sering mengajak bapak pergi itu hanya sebuah kebaikan saja,” elak Heny dengan wajah yang merah karena merasa malu.             “ Sudahlah, semua orang di sini sudah mengetahui rasa ketertarikanmu pada Damar. Sekali lihat saja sudah ngerti,” ucap Hendy.             Heny yang mendengar pernyataan Hendy hanya memalingkan wajahnya.             “Kalian saja yang mudah berprasangka,” ucap Heny pelan.             “Apakah aku dianggap telah berprasangka padahal sudah jelas? Meski penampilanku begini, aku telah tahu jika sebagian prasangka itu adalah dosa karena dalam surat Al-Hujarat ayat 12 diterangkan demikian!” Hendy menyanggah kembali ucapan pelan Heny itu.             “Jika kamu sudah tahu, bukankah seharusnya kamu tidak mengambil sebuah kesimpulan yang berdasarkan asumsimu semata?” Heny kembali mengajukan argumennya.             “Aku ini manusia, tentu saja adalah manusiawi jika aku melihat gelagatmu dan berpikiran demikian bukan? Jika kamu tidak ingin aku menyimpulkan begitu, jagalah sikapmu! Lihat? Damar saja berpikiran begitu, apa kamu tidak malu sudah ketahuan begitu?” sergah Hendy.             “Sudah, sudah, mengapa kalian yang berdebat? Ini soal perasaan bukan pertanyaan debat,” lerai Hodri sekali lagi.             “Lagipula Heny, benarkah tidak ada sedikitpun getaran di hatimu saat kamu menatap Damar? Sejauh mata tua ini melihat, ada sesuatu yang berbeda disana.” Hodri berpendapat.             “Sa-saya hanya mengagumi kegantengan mas Damar saja, Pak!” elak Heny dengan wajah yang bersemu merah.             “Kamu merasa kagum dan ingin memilikinya bukan?” tanya Hendy.             “Hah? Ti-tidak aku-.” Heny tergagap.             “Saya akan segera menikah!” ujar Damar tegas membuat ketiga orang di hadapannya menganga kaget.             Hening untuk beberapa saat mereka berempat hanya terpaku dalam diam.             “Dengan siapa?” tanya Hodri.             “Seorang wanita pilihan saya, Pak!” jawab Damar.             Heny masih diam, mencoba sekuatnya menahan rasa keterkejutannya.             “Tapi, belum pernah kudengar kamu bertunangan atau berpacaran dengan siapapun Damar,” ujar Hendy tidak percaya.             “Saya baru mengenalnya,” sahut Damar.             “Kamu baru mengenalnya dan hendak menikahinya? Kamu sudah sinting?” Heny yang entah mengapa menjadi kesal mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat ketiga lelaki yang mendengar pernyataan dari Heny merasa sedikit terkejut.             “Bu Heny, terkejut dan kecewa sih boleh, tetapi bukankah ucapanmu barusan terlalu kasar?” tegur Hendy.             “Cinta akan lenyap dengan lenyapnya sebab,” gumam Hodri.             “Maksud bapak?” tanya Hendy penasaran.             “Ibnul Qayyim berkata demikian. Maksudnya adalah sebab adalah nyawa dari cinta. Sebab yang sembarang dari seseorang yang mencintai, menyukai atau mengangumi orang lain juga menumbuhkan cinta yang pendek. Saat dia mencintai karena kegantengan atau kecantikannya saja, maka cintanya akan luntur seiring hilangnya kegantengan atau kecantikan itu. Demikian pula jika hanya dilandaskan kekayaan atau peringai semata, akan cepat pula hilangnya. Saat cinta itu mulai hilang, amarah akan menguasai dan membuat hati jadi membenci,” jawab Hodri menjelaskan.             Heny terdiam.             “Saya tidak marah,” elaknya.             “Selamat, Pak! Saya ngajar dulu,” pamitnya lalu buru-buru meninggalkan ruang guru.             Hendy menekuk alisnya.             “Bukankah belum bel? Lalu siapa yang hendak dia ajar?” gumam Hendy.             Hodri yang mendengar gumaman Hendy hanya tersenyum geli.             “Selamat atas rencana pernikahanmu, Mar!” kata Hodri sebelum akhirnya meninggalkan Damar.             Damar hanya mengangguk sembari menghela napas panjang.             “Aku tidak melukai siapapun bukan?” bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar.   *** Malam ini rumah Bu Maryam, Bunda Silvi tampak ramai. Seluruh anggota keluarga datang dan berkumpul bersama untuk membicarakan proses lamaran yang akan digelar besok malam. Damar telah mengabari Silvi bahwasanya keluarganya telah setuju untuk segera melaksanakan proses lamaran esok hari untuk mempercepat proses pernikahan. Bunda yang memang sudah ingin melihat Silvi, anak bungsunya menikah tentu saja segera setuju dan mengabarkan anggota keluarga yang lain. “Jadi, siapa calon Silvi, Bun?” tanya Roni, putra sulung Bunda. “Ragata Damar Laksana, sarjana S1 Bahasa Inggris,” sahut bunda dengan senyum lebar. “Pemuda ganteng dan alim lho, lebih segar dari Roni,” kata Bunda menimpali. Silvi yang mendengar ucapan Bunda terbatuk sehingga membuat Hanum, istri Roni tersenyum geli sembari menyentuh lembut lengan suaminya yang hendak menyanggah ucapan Bunda. “Bun, mas Damar bukan sayuran kok dibilang segar sih?’ protes Silvi. Bunda masih tersenyum lebar karena merasa puas telah berhasil menggoda Roni. Muhammad Busroni, 29 tahun, anak tertua Bunda. Bekerja sebagai seorang pegawai BUMN. Lelaki bijaksana yang sudah menikah dengan Hanum Sa’diyah, 20 tahun. Sudah memiliki seorang anak perempuan bernama Afifa  yang berumur 3 tahun. “Anak Bunda ada tiga, satu lelaki yang sudah memiliki istri yang cantik dan anak yang lucu. Sedangkan dua diantaranya perempuan dan salah satunya adalah seorang gadis yang akan segera menikah tetapi masih saja pengangguran meski sudah sarjana. Bunda sudah terlalu sering melihat kalian, jadi kehadiran Damar di keluarga kita, akan menyegarkan mata Bunda,” kata Bunda seraya tersenyum lebar. Roni menghela napas sembari memegangi bagian belakang kepalanya. “Bunda ini, hanya karena dia melamar Silvi dengan niatan menikah di perjumpaan pertama lantas Bunda langsung setuju? Kamu juga Silvi, mengapa tidak konsultasi dulu dengan kakakmu ini?” keluh Roni merasa sedikit kecewa. Bunda menepuk pelan lengan Roni. “Kamu ini, bisakah kamu bersikap tenang dan bijak seperti biasa? Kamu pikir Bunda akan menyerahkan anak Bunda satu-satunya pada seorang lelaki yang tidak baik?” sergah Bunda. “Iya,” sahut Roni mengiyakan. “Bukankah Bunda juga terburu-buru menerima lamaran lelaki itu sehingga membuatnya begitu?” ujar Roni sembari menatap seorang wanita bercadar yang sejak tadi hanya diam. Bunda terbatuk sebentar. “Apa maksudmu? Apa yang salah dengannya?” tanya Bunda sembari mencoba melempar senyum pada putrinya. “Bunda lupa? Karena Bunda mengijinkannya menikah dengan lelaki sembarangan, hidupnya jadi berantakan. Suaminya suka main wanita, berzina sana-sini dan dia jadi harus menafkahi suaminya yang b******k itu!” ucap Roni geram. “Mengapa tidak kamu ceraikan saja suami seperti itu? Apa kamu masih mencintai lelaki terkutuk itu?” Roni menimpali. “Ron, hentikan!” ucap Bunda agak keras. Semua orang diam. Hafsah, seorang wanita berusia dua puluh enam tahun. Bukan anak kandung bunda akan tetapi sudah diangkat dan dianggap sebagai anak sendiri sejak berusia tiga tahun. Meski begitu, dia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Roni dan Silvi karena merupakan anak dari adik Bunda Maryam, Fatimah yang meninggal karena penyakit jantung. Hasfah sudah menikah dengan seorang lelaki pilihannya sejak dua tahun lalu. Akan tetapi ternyata suaminya tidaklah sebaik penampilannya, lelaki itu hanya mengincar uang Hafsah. Hafsah merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses dan sejak tahun lalu, dia memutuskan untuk bercadar. “Mas.” Hafsah mulai mengangkat suaranya. Suara lembutnya seketika menurunkan nada bicara Roni yang sempat meninggi. “Janganlah kamu samakan kisahku dengan Silvi. Karena suamiku dan calon suaminya bukankah orang yang sama. Jika kamu melakukannya, itu suatu ketidakadilan bagi Silvi.” Hafsah menimpali. “Mengenai suamiku, aku tengah bersabar dari apa yang sedang Allah ujikan kepadaku. Aku meyakini kalau wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, Mas. Jika mas mengatakan seperti apa yang mas katakan barusan, itu sama halnya mas mengatakannya padaku bahwa aku bukan wanita yang baik pula,” ujar Hafsah kalem. “Bukan begitu maksudku, Hafsah. Aku hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik dan berhenti mengabdi pada suami yang seperti itu,” sanggah Roni. “Mas, suamiku menikahi wanita-wanita itu. Walaupun itu tanpa sepengetahuanku, secara agama, baik sebagai istri pertama, kedua atau ketiga pun, aku tidak berhak melarangnya. Karena agama kita memperbolehkan seorang lelaki menikah dengan empat orang wanita.” “Tapi Hafsah kamu terima diperlakukan begitu oleh suamimu? Walaupun diperbolehkan, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu rasa adil. Apakah adil bagimu diperlakukan seperti itu?” sanggah Roni lagi. Hafsah tersenyum tipis. “Jika aku begitu mencintai suamiku, tentu saja aku akan merasa cemburu dan merasa ini tidak adil, Mas. Namun, Aku mencintai Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bukan suamiku lagi mas. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk merasa tidak adil jika takdir yang sudah Allah tetapkan bagiku adalah demikian. Bukankah Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah berfirman ‘Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar dan janganlah kamu minta disegerakan (azab) bagi mereka’ (Al-Ahqaaf : 35)?” Roni menghela napas panjang. “Dari siapakah kamu belajar menyanggah ucapan orang lain? Apa kamu senang dengan bersikap keras kepala begitu?” tanya Roni setengah menyindir. Hafsah tergelak mendengar ucapan mengalah Roni, itu artinya kakak lelakinya itu sudah berniat menyudahi perdebatan mereka. Bunda, Silvi dan juga Hanum yang berada di ruangan itu pun tersenyum lega. “Kalau begitu, mari kita mulai menyiapkan segala sesuatu untuk lamaran besok,” ajak Roni. Semua yang berada di ruangan itu pun mengangguk setuju. Setiap orang memerlukan sesuatu yang disebut harapan walaupun itu hanya sebesar atom di udara. Harapan memberikan kekuatan agar seseorang mau bertahan dalam keadaan apapun dan tidak ada yang lebih baik dari menggantungkan harapan kita pada Allah SWT, bukan pada manusia. Begitulah keyakinan Hafsah selama ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN