Harusnya aku tidak melakukan ini, tapi rasanya tidak bisa. Mataku bergerak sendiri seperti kincir yang terkena angin. Sejak tadi, tanpa sadar, aku terus menatap Aric. Ketika dia mengusap-usap rambutnya, memainkan ponselnya, menepuk nyamuk yang hinggap di pipinya, mengangkat kakinya ke meja—aku hampir menendang kakinya yang tidak sopan itu. Padahal, harusnya aku memperhatikan kakak tiriku yang terlihat sangat mengenaskan di ruang tamu. Tapi sekarang, aku malah mengamati tingkah laku Aric yang tidak penting. Oh, jika ada yang menanyakan Pinka, dia sedang tertidur di sofa di sebelah Aric. Akhirnya cewek itu bisa diam juga. “Ric, lo nggak mau balik?” tanyaku. Aku sedang berdiri di pintu pemisah ruang tamu dan ruang tengah. Sesekali melihat ke arah Revan yang masih diam di tempat