Vanya mendongakan kepalanya saat melihat sebuah tangan yang terulur padanya. Telapak tangan berkulit putih bersih itu ternyata milik dari Zahra, istri Khavi.
"Assalamu'alaikum." Sapaan lembut itu mengalun indah di telinga Vanya.
"Wa... wa'akaikumsalam." Vanya menjawabnya dengan sedikit tergagap.
"Kenalin Mbak, aku Zahra, istrinya Khavi."
"Hai, salam kenal. Saya Vanya, sekretarisnya."
Dari perkenalan singkat itu, Vanya yang awalnya tidak terlalu suka Zahra datang ke kantor dan ke mejanya, akhirnya mulai terbiasa. Vanya adalah tipe orang yang tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang yang tidak memiliki kepentingan dengannya, tapi dengan Zahra ia tidak mungkin menolak dan mengusirnya.
Di mata Vanya, Zahra wanita yang baik, dia tidak pernah bersikap angkuh layaknya istri seorang atasan padanya. Bahkan dia tak mau di panggil dengan embel-embel 'Ibu' dan menyuruhnya memanggil nama saja saat tahu usianya terpaut cukup jauh dengannya. Zahra juga suka membawa makanan ke kantor dan membaginya pada ia dan Raga selain untuk suaminya, seperti hari ini.
Walaupun pada awalnya Vanya segan untuk menerima karena merasa ada jarak yang tak seharusnya terkikis diantara mereka, rasa tidak tega mengganggu hatinya. Vanya akhirnya menerima makanan-makanan itu dan terkejut dengan rasa makanan yang di bawa Zahra, terasa tak asing di lidahnya.
"Gimana Mbak, masakanku kali ini enak nggak? Ini pertama aku masak makanan ala-ala Korea begini soalnya. Biasanya aku cuma masak makanan rumahan aja, tapi kata Ibu takut Mas Khavi-nya bosan."
"Enak kok, Zahra," jawab Vanya dengan tenggorokan tercekat. Bagaiamana seandainya Zahra tahu kalau yang sering memakan bekal makan siang yang di bawakan Zahra untuk suaminya adalah dirinya?
"Syukur deh, aku suka takut kalau makanannya nggak enak dan bekalnya nggak Mas Khavi makan dan malah beli di restoran."
Vanya menanggapinya dengan senyum, tapi tak berani menatap mata Zahra, hatinya selalu di liputi rasa bersalah. Tak sepantasnya wanita sebaik Zahra mendapatkan rasa sakit dengan perbuatannya dengan Khavi.
Sejauh ini hubungannya dengan Khavi masih seperti biasa meski rutinitas bercinta mereka beberapa bulan terakhir ini sedikit berkurang, hanya di lakukan satu atau dua minggu sekali saja karena tak jarang Zahra datang ke kantor untuk mengantarkan makan siang.
"Mbak, aku pulang dulu ya, nanti kalau Mas Khavi udah pulang, tolong kasih makanan ini buat dia."
"Iya Zahra, terimakasih untuk makan siangnya."
Vanya lalu melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu Khavi pulang dari bertemu seseorang di luar kantor. Mungkin bertemu temannya karena baik ia maupun Raga tak di libatkan.
"Nggak usah terlalu dekat sama istrinya Khavi Van, kalau sampai perbuatan kotor lo terbongkar nanti dia sakitnya berlapis-lapis." Raga yang sejak tadi diam di mejanya tak tahan untuk tidak menyuarakan isi hatinya.
"Apa lo melihat ada indikasi gue yang mendekati dia, Raga?" tanya Vanya membela diri.
"Enggak, tapi seenggaknya jaga jarak, jangan buat dia nyaman dekat sama lo. Nggak pantas tahu Van, seorang selingkuhan pura-pura baik di depan istri sahnya, tapi di belakang dia, lo mau aja di tusuk pakai rudal suaminya," jawab Raga sarkas.
Vanya tak lagi menyahuti ucapan Raga, ia menundukkan kepala sambil melanjutkan pekerjaannya, tapi airmatanya tak bisa ia tahan. Ia sangat sadar akan kesalahannya.
"Nangis lo Van? Playing victim banget."
"Mau lo apa sih, Ga?" tanya Vanya sambil mengusap airmatanya. Ia sudah mengenal Raga lebih dari tiga tahun, dari ia masih bekerja di divisi lain dan menjadi bawahannya, sampai setahun terakhir ini menjadi satu lantai dengan posisi hampir setara. Diantara mereka tidak pernah ada persaingan pekerjaan sama sekali, dan baru kali ini Raga berkata kasar padanya meski yang di katakan adalah benar.
"Mau gue, lo jadi orang yang lurus Van, kerja ya kerja aja yang bersih nggak usah nyambi jualan! Nggak ada laki-laki yang bisa memaksa kalau emang perempuannya nggak mau. Lagian apa gaji halal dari kantor masih kurang buat biaya hidup lo?"
"Tahu apa lo Ga tentang hidup gue?"
"Gue emang nggak tahu karena lo nggak pernah cerita, tapi gue ingetin lo karena lo udah kelewatan. Waktu Khavi belum nikah gue masih bisa maklum, tapi saat tahu hal kotor itu masih berlanjut padahal dia udah punya istri, gue muak, Van. Jujur gue kecewa sama perilaku lo."
Vanya bangkit dari kursinya, masuk ke ruangan Khavi dan meletakkan makanan yang di berikan Zahra tadi di mejanya. Ia lalu ke luar dari lantai khusus Khavi untuk mencari udara segar dan mencegah airmatanya jatuh lagi. Apa yang di katakan Raga tidak salah, tapi ia benci menangis!
***
Mencari ketenangan dan udara segar versi Vanya bukanlah di tempat yang bersih dan ramai, melainkan di sebuah bangunan kosong berdebu yang tak jauh dari kantor milik Khavi. Mengenang kesunyian yang pernah ia rasakan puluhan tahun yang lalu. Mengingatkan bahwa sebanyak apapun manusia di bumi ini, tidak semua harus tahu seberapa besar apa penderitaannya.
Vanya mengambil ponsel di tasnya ketika merasakan benda itu bergetar, Khavi mencarinya.
[Balik, Van. Kamu di mana?"]
Vanya menghembuskan napas berat, ia harus kembali. Pekerjaan yang ia dapatkan saat ini bukan sesuatu yang kecil untuknya, ada perjuangan panjang dan berdarah-darah agar ia bisa sampai di titik ini. Vanya tidak akan membuat kesalahan kecil yang bisa menyebabkan ia kehilangan pekerjaan, baginya sekeping koin saja asal itu uang sangatlah berharga.
Vanya melirik ponselnya saat benda itu kembali bergetar, pesan dari Khavi lagi.
["Aku capek banget Van, kunci kamar kamu bawa 'kan?"]
Khavi menginginkannya, di saat ia sudah berpikir dengan matang jika semua ini harus benar-benar di akhiri.