Setelah sampai di meja kerjanya, Vanya melihat meja Raga telah kosong, entah pekerjaan apa yang di berikan Khavi pada laki-laki itu agar tidak berada di tempat. Hal itulah yang membuat Raga muak, jika tidak karena membutuhkan uang dan pekerjaan seperti dirinya, mungkin Raga juga lebih memilih mengundurkan diri. Vanya tahu siapa Raga, dia adalah anak yang besar di panti asuhan milik Kakek Khavi dan sekolah di Yayasan mereka. Kehidupan yang di jalani tak jauh berbeda darinya, yaitu hidup tanpa orangtua.
Vanya berjalan pelan menuju pintu ruangan Khavi dan membukanya. Di dalam sana Khavi masih sibuk menekuri pekerjaannya.
"Duduk dulu sebentar ya Van, saya selesaikan ini dulu."
Vanya mengangguk, ia lalu duduk dan membuka pesan masuk di ponselnya. Dua adiknya kompak mengucapkan terimakasih karena ia sudah membayar uang semester kuliah dan sekolah mereka. Selagi dirinya masih hidup, Vanya tidak akan membiarkan mereka menderita karena masalah uang apalagi makanan.
"Mana kuncinya?" Tangan Khavi terulur meminta benda yang di titipkan pada Vanya.
"Bisa nggak, kita ngobrol di sini aja?" tanya Vanya.
"Ngobrol? Kamu lagi PMS atau nggak enak badan?"
Vanya menggeleng, sejak mengonsumsi pil kontrasepsi, tamu bulanannya tidak lagi lancar. Bisa dua bulan sekali ia baru mendapatkannya.
"Bukan, tapi...."
"Kenapa?" tanya Khavi tak sabaran.
"Aku pengin kamu berhenti sentuh aku, Khavi," jawab Vanya dalam satu tarikan napas.
"Nggak bisa, Van."
"Tapi sekarang kamu ada istri, Vi. Sejahat-jahatnya aku, masih punya perasaan tidak enak sama istri kamu."
"Pernikahanku, hubunganku dengan Zahra itu urusanku Vanya, tidak perlu ada yang berubah di antara kita."
"Tapi diantara kita tidak ada apa-apa Khavi."
Khavi menatap dalam mata Vanya.
"Kita tidak ada apa-apa, karena kamu yang menolaknya Vanya. Sejak awal kejadian itu satu tahun yang lalu, aku sudah menawarkan tanggung jawab yaitu pernikahan, tapi kamu menolak. Kamu lebih memilih tidak ada status hubungan apapun diantara kita tapi kita berbuat apa-apa."
"Karena tujuanku berada di sini hanya untuk bekerja Vi, bukan yang lain. Dan aku tidak tertarik dengan yang namanya hubungan pernikahan, masalah aku yang tidak menolak kamu sentuh, karena buatku, tubuhku, dan apa yang kamu ambil itu tidak ada artinya buatku. Kamu juga bayar aku pakai uang, aku tidak rugi apapun," jelas Vanya. Ia tidak mungkin mengatakan jika ketika Khavi menyentuhnya memberikan ketenangan tersendiri.
"Kalau hanya masalah uang, kamu tidak bekerja pun aku bisa memberimu nafkah berkali lipat dari gajimu sekarang kalau seandainya kamu mau jadi istriku, Vanya."
Vanya menggeleng. "Ini bukan hanya masalah uang, tidak sesederhana itu."
"Tapi aku tidak bisa berhenti Vanya, meskipun tahu apa yang kita lakukan adalah salah."
"Kenapa?"
"Aku mencintaimu."
Tubuh Vanya membeku. Kata-kata ini tak pernah ia bayangkan bisa keluar dari bibir Khavi. Yang ia tahu, laki-laki ini menyentuhnya hanya dengan nafsu, bukan perasaan.
"Tapi aku tidak Khavi, dan jangan bercanda, Zahra cantik dan kamu sudah menikahinya. Tidak sepantasnya kamu mengungkapkan kata cinta pada wanita lain."
Khavi menatap dalam mata Vanya, tidak berniat menjawab ucapannya sama sekali. Hatinya marah, waktu satu tahun ia menyentuh Vanya, kemudian memperlakukannya dengan spesial dan berbeda ternyata belum mampu meninggalkan kesan di hati wanita yang ada di depannya ini.
Status pernikahan yang sudah di sandangnya pun tak membuatnya memiliki dan menunjukan rasa cemburu. Padahal seandainya Vanya mau menjadi istrinya, Khavi akan memperjuangkannya meski berat.
Diam-diam dia sudah mencaritahu latar belakang Vanya, dan ya, ia tahu akan sulit mendapatkan restu jika orangtuanya tahu. Ia dan keluarganya yang hidup di lingkungan dengan agama yang kental, pasti sulit menerima jika ia membawa calon istri ke rumah yang surat al-fatihah saja tidak hafal. Vanya lahir dan besar di keluarga yang rumit dan bisa di bilang dia punya masa lalu yang kelam. Tapi Khavi menyayangi Vanya lengkap dengan kisah masa lalunya. Akan tetapi, jika bertahan dengan hubungan terlarang dengannya sudah membuat Vanya tidak nyaman, haruskah ia menyerah? Jika untuk tidur bersamanya Vanya sudah tidak mau, bagaimana ia bisa menyalurkan rasa sayangnya?
"Mau ya Vi, kita berhenti. Kamu ada istri, namanya perempuan pasti rasanya sama 'kan?"
"Ck, pulang sana!" Ucap Khavi dengan nada ketus.
"Kamu marah?"
"Aku lagi capek banget, butuh pelampiasan, tapi kamunya gini. Ya udah pulang aja sana."
"Kan kamu ada istri Vi, pulang lah, minta jatah sama istri kamu. Dia yang dapat nafkah bulanan kok aku yang mesti capek-capek layanin kamu."
Khavi menghembuskan napas lelah, tak mau berdebat panjang dengan Vanya. Dia juga sudah seharian bekerja, pasti sama lelahnya.
"Van, emangnya kamu nggak apa-apa kalau aku sentuh wanita lain?" tanya Khavi.
"Y..ya nggak apa-apa, dia istri kamu."
"Tapi aku nggak rela kalau sampai kamu di sentuh laki-laki lain, kalau kamu rehat dulu dari hubungan kita nggak apa-apa, tapi jangan pernah lakukan hal seperti itu dengan laki-laki lain."
"Aku nggak pernah jualan badan, Vi. Kamu beli tubuhku juga karena di awali dengan ketidak-sengajaan. Jadi aku nggak ada rencana buat melakukannya sama laki-laki lain karena emang aku nggak pengin nikah. Aku cuma pengin hidup dan kerja dengan tenang aja," jawab Vanya. Jujur ucapan Raga begitu membekas di hati dan otak Vanya. Dirinya bukan orang yang gemar cari masalah apalagi musuh.
"Janji ya, nanti uang jajan kamu aku tambahin."
"Nggak usah di tambah-tambahin, aku jadi nggak enak. Aku udah nggak kerja tambahan lagi, jadi aku cukup di gaji pokok dari perusahaan aja."
"Emangnya cukup?"
"Ya di cukup-cukupin, lah."
"Kalau nggak cukup bilang ya."
"Bilang mau di tidurin lagi gitu, biar nambah lagi uang gajinya?"
Khavi tertawa, begitu pun tidak masalah.
"Iya, bilang aja kalau kamu udah kangen sama kamar itu."
"Aku udah nggak jualan lagi, Vi."
"Sayang banget, padahal rasanya enak." Ucap Khavi di selingi tawa.
"Mungkin lebih enak punya istri kamu, karena harganya lebih mahal."
"Aku bisa kasih mahar lebih kalau kamu mau aku nikahi, Van."
"Nggak minat. Nggak apa-apa jadi perempuan murahan daripada harus terbelenggu dalam ikatan pernikahan yang belum tentu bisa menjamin kebahagiaan."
Khavi tak menjawab, ia paling tidak suka jika Vanya menyebut dirinya murahan. Meskipun Khavi bukanlah petualang ranjang dan hanya pernah melakukan hal terlarang itu bersama Vanya, ia tahu Vanya tidak pernah bersikap seperti perempuan murahan di ranjang.
Vanya tidak pernah benar-benar melayaninya, mutlak ia yang menggagahinya hingga puas. Khavi pun tidak pernah menuntut Vanya melakukan gaya aneh-aneh. Menyentuh Vanya hanya sekedar untuk menyalurkan rasa rindu dan sayangnya selain karena ia kecanduan merasakan nikmat ketika miliknya berada di dalam tubuh Vanya. Hangat, dan begitu menenangkan.
Pernikahannya dengan Zahra yang berlandaskan perjanjian membuat dirinya tidak merasa begitu terikat. Jujur Khavi masih berharap bisa membuat Vanya mau menikah dengannya.
Zahra memang membebaskannya, tapi Khavi lupa jika dalam pernikahan itu tidak hanya ada mereka berdua. Ia tidak bisa lepas dengan mudah dari ikatan pernikahannya dengan Zahra karena ada keluarga Zahra yang tidak akan rela anaknya bercerai dari Khavi, dan tidak menjadi bagian dari keluarga besar seorang Albara lagi.