5. Tanda Merah

1426 Kata
Hari-hari Zahra sebelum dan setelah menikah dengan Khavi tak berbeda jauh dari saat ia masih berstatus lajang. Yang membedakan hanya saat ini ia tidak lagi tinggal bersama orangtuanya. Sebulan setelah menikah ia di bawa Khavi tinggal di sebuah rumah yang laki-laki itu beli. Sebuah rumah yang berada di luar area pesantren agar lebih dekat dari kantor juga kampus tempatnya melanjutkan pendidikan. Zahra dan Khavi juga tidak tinggal di satu kamar yang sama sejak pindah dari rumah orangtua Khavi. Di rumah pun mereka jarang berbincang layaknya suami istri. Zahra tidak mempermasalahkan itu, ia sudah terlanjur berjanji tidak akan menuntut apapun pada suaminya. Saat ini ia akan fokus meneruskan pendidikan dan cita-citanya sebagai dokter. Ini kesempatan langka mengingat ia yang tidak bisa sepaham dengan orangtuanya. Mereka menginginkan ia cukup menjadi ibu rumah tangga dan melayani suami saja, tapi Zahra tidak bisa menerimanya. Usianya masih terlalu muda, ia akan menjalankan kodratnya sebagai wanita yang nantinya mengabdi pada suami, hamil, dan melahirkan. Tapi itu nanti, seumur hidup hanya menjadi istri dan Ibu rasanya terlalu lama. Ia juga ingin menikmati dunia dan menjalani apa yang inginkannya, toh hidup hanya sekali. Ia tidak ingin menyesal di kemudian hari. Siapa tahu seiring berjalannya waktu, Khavi bisa mencintai dan menerima dirinya sebagai istri yang sesungguhnya, tanpa syarat. Karena hari ini Zahra libur kuliah, setelah Khavi berangkat ke kantor dan ia meminta izin. Zahra datang ke pesantren dan menemui kedua orangtuanya yang tinggal di sana. Di sebuah rumah khusus yang di peruntukkan bagi suami istri yang mengabdi di sana. Sayangnya karena sudah lumayan siang, Zahra hanya menjumpai Ibunya di rumah. "Assalamualaikum, Umi," sapa Zahra pada Ibunya. "Pagi Zahra, kamu kesini? Khavi mana?" "Dia kerja Mi, udah berangkat ke kantor tadi. Kebetulan aku lagi libur kuliah jadi kesini." Terdengar hembusan berat napas Uminya. "Kenapa sih kamu harus kuliah lagi segala, apa nantinya nggak bikin Khavi terlantar?" tanya Uminya khawatir. "Nggak kok Mi, aku masih sempat buatkan dia sarapan, bekal, dan makan malam. Masih sempat urus rumah juga, kalau urusan pakaian kita memang pakai jasa laundry" jawab Zahra. Jika urusan rumah masih boleh ia yang mengerjakan, tapi tidak dengan pakaian-pakaian Khavi. Suaminya itu melarang ia mencucinya. "Seharusnya meskipun Khavi mengizinkan, kamu tidak perlu kuliah. Kalau kamu suntuk dan butuh kegiatan di luar rumah 'kan bisa datang aja kesini, bantu-bantu ngajar di sini kalau Khavi lagi di kantor. Apa sih artinya gelar kedokteran kalau rumah tangga kamu dan Khavi akhirnya tidak harmonis." "Umi, siapa yang nggak harmonis sih?" Zahra kesal, selalu begini jika ia bertemu dan berbincang dengan Ibunya. Ujung-ujungnya berdebat. "Mas Khavi tidak keberatan dan kita baik-baik saja, Mi." "Umi cuma khawatir kalau kesibukan kamu mengganngu rumah tangga kalian. Hidup itu pilihan Ra, Umi takut kalau kamu serakah begini, Allah justru mencabut nikmat yang sudah di takdirkan untukmu." "Takdir yang Umi maksud itu Mas Khavi 'kan? Kita sudah menikah, apalagi yang perlu Umi khawatirkan?" "Kita orangtua hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Ingin anak-anaknya memiliki masa depan yang jelas. Saran Umi, sebaiknya kamu berhenti kuliah aja, cukup tinggal di rumah, hamil dan merawat anak-anak Khavi. Bukan malah menunda punya momongan dan sibuk sendiri. Membuat Khavi mau menikah denganmu itu bukan perkara mudah Zahra, ada Abi yang rela menebalkan muka demi mengutarakan keinginan kita agar Khavi mau menikah sama kamu." Zahra mengembuskan napas lelah. Ia heran dengan pikiran sempit Ibunya. Padahal jika dulu mereka mau menuruti keinginannya untuk melanjutkan kuliah, ia tidak perlu menikah muda dan menunjuk Khavi-lah yang ia inginkan. Jika di bilang ia serakah memang benar, ia memilih Khavi karena tahu laki-laki itu tidak tertarik dengannya dan bisa membuat kesepakatan dengannya. Semua ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya Abi dan Umi tidak menentang keinginannya. Bukankah dengan berpendidikan tinggi justru ia akan memiliki masa depan yang lebih cerah? Ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung harta suami. Tidak terpuruk seandainya ada hal buruk terjadi, seperti perceraian, atau lebih buruknya ketika suami menghadap Tuhan lebih dulu? Ia tidak berharap hal buruk itu terjadi, tapi apa salahnya berpikir panjang. Ia juga wanita normal yang ingin memiliki anak, tapi nanti, paling tidak empat tahun lagi. "Zahra juga pengin punya anak Mi, tapi nanti." "Anak itu penguat sebuah tali pernikahan Zahra, meningkatkan rasa sayang seorang suami pada istrinya. Jujur Umi tidak setuju sama sekali dengan keputusan kalian menunda momongan." "Mas Khavi aja nggak keberatan, kenapa Umi keberatan?" "Khavi yang tidak keberatan dan nurut-nurut saja apa maumu justru membuat Umi tidak tenang Zahra. Umi takut kalau dia punya wanita lain di luar sana." "Astaghfirullah, Umi, nggak ada." "Tidak ada atau kita yang tidak tahu." Zahra tidak bisa menjawab, karena kalaupun ada, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah termakan janjinya sendiri. "Zahra pulang dulu ya Umi, mau ke kantornya Mas Khavi." Zahra tidak bisa berlama-lama di sana, takut ia membongkar rahasianya sendiri. *** Tidak menyentuh Vanya berminggu-minggu membuat Khavi di landa rasa rindu. Ia bisa melihat Vanya setiap hari, tapi tanpa adanya hubungan apa-apa di antara mereka, Khavi tidak bisa berbuat apa-apa. Jika bukan karena sayang, mungkin Khavi akan tetap memaksakan keinginannya. Tapi melihat mata Vanya yang memerah seperti habis menangis ketika mengutarakan keinginannya untuk berhenti ia tidak tega. Khavi memejamkan matanya, memutus kontak matanya pada tubuh Vanya yang sedang serius mengerjakan pekerjaannya. Ia sengaja menyuruh Vanya masuk keruangannya dan meminta dia bekerja di sofa saja untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Manik di leher Khavi bergerak naik turun, saat ia mengatakan tubuh Vanya membuatnya kecanduan itu benar. Dulu ia tidak pernah se-ingin ini ketika belum pernah merasakannya, masih bisa menahan diri walaupun melihat banyak wanita dengan baju terbuka. Tapi ketika dengan Vanya, ia khilaf dan tak bisa menahannya. Sialnya sejak menyentuh dan merasakan tubuh Vanya, bayangan rasa nikmat itu sulit hilang dari otaknya. Khavi sadar apa yang ia lakukan adalah hal b******k dan memalukan. Apalagi jika mengingat siapa Kakeknya, siapa Ayahnya. Khavi terkadang bingung, ia mendapatkan darah b******k ini dari siapa. Orangtuanya tak pernah mencontohkan sesuatu yang buruk. Memperlihatkan kemesraan berlebih di depan anak-anaknya pun tidak pernah. "Pak!" "Iya, Sayang." Sudah dua kali Vanya memanggil Khavi dengan lembut tapi tak di dengar, sehingga ia memanggilnya dengan nada keras "Ck, ini jadwal meeting buat besok. Satu di dalam kantor dan satu lagi di luar. Saya sudah atur waktunya supaya tidak bentrok," ucap Vanya. Ia tahu tidak sopan karena berbicara keras pada Bosnya, tapi kalau tidak keras, sepertinya Khavi tidak akan mendengar dan masih tenggelam dalam lamunannya. "Jangan panggil Sayang, saya bukan istri Bapak." "Zahra tidak saya panggil dengan sebutan sayang." "Apa? Cinta?" "Rahasia." "Sudah masuk jam makan siang, saya keluar dulu sudah lapar." Ucap Vanya berpamitan. "Makan di sini aja Van, saya bawa bekal." "Bekal dari istri Bapak 'kan? Lebih baik nggak usah, nggak sopan kalau saya yang makan." "Kamu lagi pengin makan apa?" "Lagi pengin makan makanan yang ada di kantin kantor." "Saya pesenin ya biar di antar kesini?" "Jangan!" "Kenapa sih?" "Nggak enak sama Raga kalau saya kelamaan di sini." "Kenapa tiba-tiba nggak enak sama dia? Kalian pacaran?" "Jangan berpikiran terlalu jauh, saya tidak berniat pacaran dan menawarkan barang bekas pada laki-laki lain. Tapi apa Bapak tidak malu, dia tahu apa yang kita lakukan selama ini." "Emang nggak mungkin nggak tahu Van, tapi ya udah biarin." "Saya malu, karena Bapak sekarang suami orang." "Saya udah turutin lho Van, nggak sekap kamu di kamar itu lagi. Masa cuma minta kamu makan di sini aja nggak mau?" "Aku mohon, Khavi." "Kamu lebih memilih makan di sini, atau saya makan Van?" "Tidak dua-duanya." "Potong gaji." "Jangan, Pak." Khavi menatap mata sedih Vanya, ia lupa jika uang adalah sesuatu yang sensitif untuk Vanya. "Ya udah nggak tiga-tiganya. Tapi coba deketan dikit sini." Vanya mendekat, berharap Khavi menepati kata-katanya. Ia lalu berdiri di dekat kursi Khavi dan laki-laki itu pun berdiri sejajar di depannya, menyentuh dagunya. "Cium dikit boleh?" "Vi?" "Dikit banget Van, biar kamu bisa cepat keluar buat makan." "Jangan di bibir." "Oke." Khavi menurut, memang dia tidak mencium Vanya di bagian bibir. Tapi ke bawah lagi, lebih tepatnya di bagian leher Vanya. "Eumhh, pengin Van," desah Khavi. Vanya langsung mendorong tubuh Khavi. "Udah cukup, katanya sedikit." Tanpa menunggu apa-apa lagi Vanya segera berjalan menuju pintu untuk keluar dari sana. Namun begitu pintu ia buka, tubuhnya membeku, ada Zahra yang berdiri di sana dengan tangan mengepal dan tergantung di udara, sepertinya tadi hendak mengetuk pintu. "Mbak Vanya?" "Maaf Zahra, silahkan masuk. Saya buru-buru, takut jam makan siang keburu habis." Vanya berlalu dari sana tanpa menunggu jawaban dari Zahra. Sedangkan Zahra sendiri tidak fokus mendengarkan ucapan Vanya, matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang terlihat jelas karena tubuh Vanya lebih tinggi darinya. Zahra melihat ada tanda merah di leher Vanya, dan itu baru jika di lihat dari warnanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN