6. Bara dan Keputusannya

1220 Kata
"Zahra? Ada apa?" tanya Khavi begitu wanita yang berstatus sebagai istrinya itu masuk ke ruangannya. "Nggak ada apa-apa, aku cuma pengin mampir aja. Apa mengganggu?" Khavi menggeleng. "Tidak, ini jam makan siang. Saya mau istirahat kerja dan makan dulu." "Oke, kalau begitu aku numpang duduk aja." "Kamu sudah makan?" "Sudah, tadi dari rumah Umi." Jawab Zahra berbohong. Hatinya tiba-tiba tidak tenang mengingat apa yang ia lihat ada di tubuh Vanya tadi. Zahra mengamati ruang kerja Khavi, tertutup. Bayangan buruk tiba-tiba terlintas di kepalanya. Apa saja yang biasa Khavi dan Vanya lakukan di tempat tertutup ini? Mungkinkah mereka? Tapi untuk menanyakannya, Zahra merasa malu. Ia pernah berkata tidak akan mencampuri urusan Khavi tentang wanita, meski hatinya penasaran, ia harus menahannya. Zahra masih sedikit berharap jika mereka berdua tidak ada hubungan apa-apa dan apa yang ia temukan di leher Zahra bekas laki-laki lain, bukan suaminya. Ia tidak mengenal Vanya, pun tidak tahu sekretaris suaminya itu wanita bersuami atau bukan. Mata Zahra terpaku pada sebuah pintu di ruangan itu, bukan pintu toilet karena ia tahu di mana letak toilet di ruangan Khavi. "Mas, pintu itu di dalamnya ada ruangan apa?" Tanya Zahra. "Perpustakaan, Ra." "Oh, boleh aku masuk? Mau baca-baca kalau emang perpustakaan, siapa tahu ada buku yang aku suka." "Kuncinya ada di Vanya, nanti saya minta." "Vanya?" "Iya." Zahra tersenyum sumir, kenapa sebelumnya ia tak pernah berpikir kalau mungkin saja ada sesuatu di antara mereka? Zahra memutuskan berpamitan dan keluar dari ruangan Khavi. Tujuannya datang kesana memang pada awalnya bukan untuk bertemu Khavi, melainkan berbincang dengan Vanya. Tapi sepertinya mulai hari ini semuanya tidak akan sama lagi. Ia menikahi Khavi memang di landasi sebuah perjanjian yang menguntungkannya, tapi jika sampai Khavi ternyata berbuat yang tidak-tidak dengan orang lain di luar sana, terasa sedikit menyakitkan, meski untuk menuntutnya ia tidak akan bisa. "Mbak Zahra, tunggu." Zahra menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Laki-laki itu kemudian mendorongnya masuk kedalam lift dan mengikutinya. "Maaf, kalau saya tidak sopan." "Saya tidak suka kamu menyentuhku, dan jujur doronganmu membuatku takut." "Sekali lagi maaf, tapi apa yang ingin saya sampaikan, bisa jadi lebih menakutkan." *** Jantung Vanya berdetak cepat ketika sedang berada di toilet dan menangkap sesuatu ketika bercermin. Ciuman Khavi meninggalkan jejak dan ini terlihat sangat jelas. Salahnya memang, seharusnya ia tegas melarang Khavi untuk tidak menyentuh tubuhnya barang se-cuilpun. Bagaimana kalau Zahra melihatnya tadi? Sekembalinya Vanya untuk bekerja, Zahra sudah pulang. Sampai jam pulang tiba, ia menolak masuk ke ruangan Khavi dan lebih memilih menyuruh Raga jika harus ada dokumen yang perlu di antar. Perasaannya hari ini tidak karuan. "Tobat lo?" tanya Raga setiap ia baru keluar dari ruangan Khavi untuk menyampaikan sesuatu. "Bukan urusan lo." "Percuma Van, telat." Vanya tak menggubris ucapan Raga, ia segera berkemas dan pulang ke tempat kostnya. Ya, hanya sebuah kamar kost biasa yang menjadi tempat tinggal Vanya. Gajinya tidak sedikit tapi kebutuhannya banyak. Daripada uangnya di pakai menyewa apartemen, Vanya lebih memilih membeli mobil sederhana untuk pulang pergi sejak naik pangkat menjadi sekretaris Khavi. Ia butuh kendaraan yang aman karena sering lembur dan pulang malam. Malam ini Vanya di buat dilema dan susah tidur. Jika masih terus bekerja di dekat Khavi, rasanya untuk menghindari hal seperti tadi tak terulang lagi sulit. Tapi jika ia resign, harus bekerja di mana lagi untuk memenuhi biaya hidup serta melunasi hutangnya. Mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang cukup, tidak semudah itu. Terkadang terselip rasa lelah di hati dan tubuh Vanya, raga dan otaknya sudah di paksa bekerja keras sejak masih anak-anak. Adakalanya ia ingin berhenti dari semua beban hidup ini, tapi ada adik-adiknya, mereka harus jadi 'orang' dan punya masa depan yang lebih baik. Ia tidak akan menyerahkan mereka pada orang yang ia benci seumur hidupnya. *** Khavi buru-buru pulang ke rumah saat orangtuanya mengabarkan ia di minta datang ke rumah Kakeknya. Khavi takut terjadi hal buruk pada orang pertama di keluarganya. Khavi baru bisa tenang saat melihat beliau baik-baik saja dan duduk di kursinya dengan tubuh tegak. Sayangnya ketenangan itu hanya bersifat sementara saat sorot mata tak terbaca dari Kakeknya mengarah padanya, Khavi tahu ada sesuatu. "Kalian semua keluar, saya ingin berbicara dengan Khavi saja dulu." Ya, yang berada di ruangan itu tak hanya Kakek-Neneknya, tapi ada orangtuanya juga Zio, Om-nya, orang yang memiliki jabatan paling tinggi di perusahaan. Kedua orangtua Khavi pergi meninggalkan ruang keluarga di rumah Eyangnya, meninggalkan Bara dan Zio di sana. Selama Bara masih hidup mereka masih menyerahkan keputusan padanya. "Ada apa, Eyang?" Tanpa menjawab, Bara melemparkan ponsel yang ada di tangannya. Khavi mengambilnya, mengamati apa yang ada di sana. Aibnya, hubungan terlarang yang ia lakukan dengan Vanya di kantor, siapa yang merekam dan mengirimkan pada Eyangnya? "Kantor perusahaan itu adalah tempat untuk bekerja dan mencari nafkah, kenapa kamu memgotorinya dengan cara seperti ini Khavi?" Tanya Bara dengan suara tercekat. Apa yang di lakukan Khavi mengingatkan ia akan masa lalu kelamnya. Tentang perilaku Ayahnya, yang akhirnya menurun padanya karena rasa dendam. Ia merasa gagal mendidik Khavi karena hal seperti ini sampai terjadi dan terulang kembali. Padahal, tidak ada yang pernah menceritakan hal buruk itu pada cucu-cucunya. Semua masa lalu buruk itu du simpan rapat oleh orang yang mengetahuinya. "Khavi minta maaf, Eyang, aku khilaf." "Khilaf? Apa kamu hanya melakukannya sekali?" Khavi menggeleng jujur. Kakeknya bukan orang yang mudah di bohongi. "Tidak, Eyang." "Apa alasanmu melakukan ini? Kalau kamu menginginkan hal seperti itu, seharusnya kamu menikah muda saja Khavi, berhubungan dengan halal, tidak berzina seperti ini!" "Maaf, Eyang." "Ini bukan masalah Eyang memaafkanmu atau tidak Khavi. Saat ini kamu adalah laki-laki beristri, Eyang menyerahkan hukumanmu pada Zahra, dia yang akan memutuskan akan memaafkanmu atau tidak. Eyang hanya bisa melakukan satu tindakan, yaitu memecat wanita itu dari perusahaan kita. Dia bukan perempuan baik-baik." Bara bisa membayangkan seperti apa perilaku sekretaris yang bisa sampai tidur dengan Bosnya, kalau mereka benar-benar datang untuk bekerja seharusnya menjadi seperti Danira, istrinya. "Jangan Eyang!" Ucap Khavi terkejut dengan keputusan Kakeknya. "Kenapa? Kenapa kamu mempertahankan wanita seperti itu? Om Zio bisa mencarikanmu orang yang lebih baik lagi, dan mungkin harus berjenis kelamin laki-laki." "Berikan hukuman apapun padaku, tapi jangan pecat dia dari perusahaan kita." "Kamu mencintainya Khavi? Lalu kau anggap apa Zahra? Kenapa kamu tetap menikahinya kalau kamu memiliki wanita lain? Kenapa tidak kau perjuangkan saja dia?" Khavi terdiam, apa yang di katakan Eyangnya benar. Tapi ia sudah terlambat untuk melakukannya. "Maaf, Eyang." "Zio, besok kamu berhentikan Vanya dari pekerjaannya dan keluarkan dia dari perusahaan kita." "Jangan Eyang, atau aku akan menikahinya!" Bara terkejut dengan ancaman cucunya. Ia membangun pesantren, tapi bukan orang yang mendukung praktek poligami. Baginya, orang yang beriman adalah orang yang bisa mengendalikan nafsu dunianya, bagi laki-laki dengan tidak berpoligami salah satunya. Baginya, tidak mungkin ada orang yang benar-benar bisa membagi hati. Mungkin akan terlihat adil di luar, bisa membagi waktu, nafkah lahir juga batinnya, tapi tidak mungkin dengan hati. Seberapa banyak pun istri yang di miliki seorang laki-laki, dia pasti hanya benar-benar mencintai satu wanita, entah seumur hidup, atau berganti setiap waktunya. "Eyang tidak menyukai poligami, Khavi." "Aku akan menceraikan Zahra." "Khavi!" Zio sudah tak tahan lagi dengan sikap kurang ajar Khavi. Bukan hanya terhadap Kakeknya saja, tapi juga terhadap Zahra dan Vanya. Pernikahan bukan sesuatu yang boleh di permainkan. Zio iba terhadap Kakaknya, Bara pasti sangat terluka dengan sikap Khavi, mengingatkannya pada seseorang di masa lalu, juga masa lalunya sendiri. "Semua keputusanada di tangan Zahra, dia yang akan menentukan nasib wanita itu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN